Pangeran A Wan dari kerajaan langit

1467 Words
Yang Rou We menatap punggung pemuda bernamq A Wan itu, dia sedang sibuk berbicara dengan seseorang yang dia panggil dengan sebutan bunda melalui ponsel yang dia pegang, senyumannya merekah dan itu terlihat tulus, dan Yang Rou We tidak tahu mengapa menyukai senyuman yang hanya di berikan kepada orang yang dia sayangi, sedang untuk orang asing seperti Yang Rou We dia memasang wajah datar dan cenderung dingin. "Bunda, maaf. Sepertinya A Wan tidak bisa datang tepat waktu," ucap A Wan dengan nada begitu lembut penuh hormat tanpa di buat-buat. A Wan terdiam sebentar menunggu pihak lain menyelesaikan bicaranya dan kemudian A Wan kembali menyahut. "Tapi liburan ini, insyaallah A Wan pulang, jika A Wan tidak jadi nanti malam mungkin besok," lanjut A Wan. Yang Rou We begitu terkesima saat seorang pemuda begitu sopan santun berbicara dengan orang tuanya, dia nampak buka seorang anak mama namun terlihat jelas jika pemuda ini cukup dekat dengan ibunya. "Maaf, merepotkan mu," ucap Yang Rou We saat A Wan kembali tidak jauh dari Hanan. "Tidak apa-apa," jawab A Wan, dia sudah kembali seperti semula tanpa senyuman di wajahnya. "Kamu bisa pergi, dan aku tidak masalah di sini sendirian?" "Lalu bagiamana dengan biayanya?" tanya A Wan sambil menatap Yang Rou We. "Aku akan membayarnya sendiri," jawab Yang Rou We dengan berusaha menyembuhkan kegugupannya. "Dengan apa?" "Tentu saja dengan uang," jawab Yang Rou We. "Mana? Bukannya aku tidak percaya denganmu Mbak, tapi kamu tidak membawa apapun, tidak uang dangidka ponsel, lalu bagaimana kamu akan menghubungi seseorang untuk membantumu?" "Tidak perlu menghawatirkan aku," ucap Yang Rou We, senyumannya sudah hilang juga, karena Yang Rou We tidak menyukai bagaimana cara A Wan ikut campur dengan urusanmu. "Maaf, mungkin aku lancang," kata A Wan. Yang Rou We tidak menjawab, bukankah seharusnya dia yang harus meminta maaf, karena sudah merepotkan pemuda yang baru saja dia kenal. ***** Satu Minggu setelah pertemuan Yang Rou We dan A Wan. Yang Rou We menatap pemandangan gelap yang ada di luar jendela, bus ini melaju cukup setabil di tengah malam, mungkin Yang Rou We sudah gila namun ini benar-benar dilakukan oleh Yang Rou We saat ini dan Yang Rou We tidak bisa lagi mundur. Saat ini Yang Rou We sedang naik bus dengan tujuan pulau Jawa paling timur yaitu Banyuwangi, dan di sebelahnya ada pemuda yang dia temui satu Minggu yang lalu, saat ini A Wan sedang memejamkan matanya namun Yang Rou We tidak tahu dia tidur atau tidak. Jika orang lain mengetahui apa yang sedang di lakukan oleh Yang Rou We, keputusan yang baru saja dia ambil mungkin orang akan menganggap Yang Rou We ceroboh bahkan gila, bagaimana tidak, Yang Rou We dengan mudahnya percaya dengan orang asing yang baru saja dia temui, Yang Rou We tidak percaya A Wan 100% namun Yang Rou We percaya bunda A Wan lebih dari 100%. Beberapa hari yang lalu saat Yang Rou We di rawat di klinik, Ternyata hari itu sebenarnya A Wan harus pulang untuk cuti kuliah, dia sudah hampir dua tahun terakhir tidak pulang, namun karena A Wan merasa bertanggung jawab pada Yang Rou We jadi A Wan menunda kepulangannya demi untuk menjaga Yang Rou We, A Wan tidak bisa meninggalkan Yang Rou We begitu saja sebelum Yang Rou We menceritakan sesuatu yang membuat A Wan punya alasan kuat untuk pergi. A Wan gagal mendapatkan informasi tentang Yang Rou We sedikitpun, Yang Rou We bersikukuh jika dia baik-baik saja sendirian, tentu saja A Wan akan gagal membujuk seorang wanita dengan wajah dinginnya. Bunda A Wan ingin A Wan segera pulang namun A Wan menceritakan tentang sesuatu yang menahannya di sini, dan itu Yang Rou We. Karena informasi dari Yang Rou We, bunda A Wan meminta A Wan memberikan ponselnya dan bunda A Wan melakukan panggilan video call dengan Yang Rou We, pada awalnya Yang Rou We menolak karena itu cukup aneh untuk Yang Rou We. Namun A Wan memastikan jika ibunya hanya ingin mengetahui keadaan Yang Rou We dan A Wan akan keluar sebentar untuk mencari makanan untuk mereka berdua, alasan itu juga yang di gunakan A Wan agar mereka bisa bicara leluasa. "Mbak tidak perlu takut, Bunda saya baik. Saya akan pergi sebentar untuk mencari sesuatu yang bisa di makan," kata A Wan sambil menaruh ponselnya yang sudah terhubung dengan bundanya. "Tapi ... A Wan?" A Wan tidak mau mendengar penolakan dari Yang Rou We, setelah menaruh ponselnya di dekat Yang Rou We dia pergi begitu saja keluar dari ruangan itu, dan mau tidak mau Yang Rou We harus mengambil ponsel milik A Wan yang sudah terhubung dengan bundanya. "Hallo ... Buk," sapa Yang Rou We dengan canggung saat mengarahkan kamera ke wajahnya sendiri, dan dia dengan jelas melihat wanita berkerudung krem itu memenuhi layar ponsel A Wan. "Assalamualaikum," kata Bunda A Wan. "Waalaikumsalam," jawab Yang Rou We dengan kikuk. "Oh, maaf," Bunda A Wan Nampaknya menyadari jika Yang Rou We itu non muslim. "Tidak apa-apa," Yang Rou We tersenyum kecil untuk mencairkan suasana. "Perkenalkan saya Ibu Alwa, Bundanya A Wan." "Saya Yang Rou We," balas Yang Rou We, dia nampak begitu menyukai Bunda Alwa, dia bicara begitu lembut depan wajahnya yang teduh. "Bagiamana keadaannya, sudah sembuhkan?" "Sudah lebih baik," jawab Yang Rou We dengan sedikit malu. "Bagaimana dengan kandungannya?" "Ini juga baik." "Mau main ke rumah Ibuk?" "Ha? He ...?" Yang Rou We terkejut dengan pertanyaan yang di ajukan bunda A Wan, bagaimana tidak mereka baru saja mengobrol beberapa detik yang lalu dan sekarang wanita itu sudah mencarinya untuk berkunjung ke tempat tinggalnya, jika jarak tempuh di lakukan hanya beberapa menit itu masih masuk akal, tapi ini Jogja ke Banyuwangi akan banyak makan waktu diperjalanan, itu lebih dari sehari jika di lakukan dengan bus. "Apa kamu tidak mau?" tanya ibu A Wan. "Bukan begitu Buk, kita baru saja kenal bagaimana bisa Ibuk mengundang saya begitu mudahnya?" "Karena aku tidak tahan melihat katamu yang nampak kesepian," ucap Ibu A Wan membuat Yang Rou We terdiam. "Bagaimana wanita ini bisa tahu?" tanya Yang Rou We di dalam hati. "Ingin mendengarkan sebuah kisah?" Tawar ibu A Wan. "Kisah apa?" tanya Yang Rou We dengan lirih, Yang Rou We lemah di hadapkan dengan seorang wanita yang memiliki jiwa keibuan yang tinggi seperti ini. "Kisah seorang pangeran yang lahir di kerajaan langit tanpa seorang ayah, dia hanya di lahirkan dari rahim ibunya yang tinggal di dunia yang luas ini sendirian." Yang Rou We kembali terdiam, dia dengan susah payah menelan ludahnya sendiri, mungkin Yang Rou We sensitif namun bukanlah wanita ini sedang membicarakan tentang dia. "Terimakasih," gumam Yang Rou We lirih. "Terimakasih untuk apa? Bahkan Ibuk belum selesai menceritakan kisah ini?" "Baiklah." "Pangeran dari kerajaan langit itu bernama A Wan." Yang Rou We langsung membuka matanya lebih lebar saat wanita di depannya itu menyebutkan nama A Wan, Dan ibu A Wan nampaknya sudah mencapai apa yang ingin di sampaikan, wanita itu tersenyum cukup lebar dari sebelumnya. "Pangeran itu tumbuh begitu baik dan manis, bagaimana bukankah pangeran Ibuk sangat tampan?" Yang Rou We mendapatkan bibirnya dan hanya bisa mengangguk, Yang Rou We tidak tahu mengapa akhir-akhir ini begitu sensitif, saat seperti ini saja matanya sudah terasa panas. Dia mengangguk beberapa kali dan berusaha untuk tidak menangis. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kamu tidak sendirian Mbak di dunia ini. Saya juga pernah berada di tempatmu dulu saat mengandung A Wan, saya berjuang sendiri. Alhamdulillah semuanya saya lewati dengan baik meski itu sulit. Saya tidak tahu permasalahan apa yang sedang Mbak hadapi saya hanya ingin menyemangati Mbak. Kamu pasti kuat, kamu pasti bisa." Yang Rou We malah tidak menjawab, dia menunduk dan kini air matanya sudah tidak bisa di kontrol lagi. Sedangkan Ibu A Wan menunggu Yang Rou We selesai menangis dan tidak ingin mengganggu Yang Rou We. "Terimakasih," gumam Yang Rou We sambil mengelap air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. "Mungkin jika Mbak ingin sejenak rehat dari lingkungan sekitar Mbak bisa berkunjung ke rumah kami, kebetulan saya tinggal sendirian jika A Wan kuliah. Saya tahu bagaimana hidup di sekitar orang-orang yang tidak bisa mengerti keadaan yang sedang kita alami, atau mungkin Mbak untuk sementara tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang Mbak kenal?" Yang Rou We menatap wanita itu dengan matanya yang penuh air mata, Yang Rou We seperti mengenal orang sudah lama kenal dan bisa mengerti padahal jelas-jelas mereka baru saja berkomunikasi. "Saya, s-saya tidak memiliki apapun saat ini, saya hanya akan menyusahkan Ibuk dan A Wan." "Tidak apa-apa. Anggap saja kamu sedang berlibur dan Ibuk juga sedang membutuhkan seseorang untuk menemani Ibuk di sini, Ibuk sering merasa kesepian karena A Wan masih kuliah." "Saya ... s-saya, tidak bisa menjadi beban orang lain lagi ...," Yang Rou We menunduk dan dia menangis tersedu-sedu. Sedangkan di luar A Wan sudah kembali, dia sudah akan masuk dengan makanan yang baru saja dia beli, namun dia urungkan saat akan masuk melihat Yang Rou We sedang menangis dan masih terhubung dengan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD