Bukan trauma, hanya saja masih teringat

1050 Words
Mourent tidak tahu sudah berapa lama dia berdiam diri merebahkan tubuhnya di lantai yang dingin, dengan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya yang tidak terlapisi apapun, beberapa potong pakaian miliknya dan juga milik Hanan yang berserakan di lantai menjadi sisa-sisa jejak kehinaan yang di alami oleh Mourent. Jika biasanya seorang wanita merasa terhina karena mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari seorang laki-laki tapi saat ini Mourent juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan tapi sebaliknya, dia tidak di inginkan, dan dia merasa dirinya malah kotor karena suaminya tidak mengingatkannya. Mourent bangun dan merasakan jika tubuhnya berasa tidak enak, dia bersendawa tapi yang keluar dari mulutnya bau busuk seperti telur busuk. "Aku masuk angin," ucap Mourent sambil mengejek dirinya sendiri. Dia meraih selimut dan pergi ke kamar mandi, dia sudah puas melihat diri sendiri melalui pantulan cermin, mungkin untuk kedepannya Mourent sebisa mungkin untuk tidak melihat dirinya sendiri melalui cermin itu pasti akan mengingatkan dirinya dengan kejadian malam ini. Jam menunjukkan pukul 10 malam, tapi Mourent nekat menguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, meskipun saat ini dia merasakan sedang masuk angin, setelah menghabiskan waktunya beberapa saat di dalam kamar mandi, Mourent mengambil pakaian baru yang ada di lemarinya, dia mengambil piyama lengan pendek namun ketika akan mengenakannya Mourent mengembalikan itu, kemudian mengambil piyama setelan lengan panjang, tidak cukup di situs Mourent melapisinya dengan Hoodie, bukan kehangatan yang di cari Mourent, tapi saat ini Mourent tidak ingin melihat sebagian besar bagian tubuhnya. Mourent ingin ke dapur untuk membuat sesuatu yang mungkin bisa menghangatkan tubuhnya, tapi saat memegang kenop pintu, Mourent melihat kunci mobil dan juga ponsel milik Hanan berada di atas meja tidak jauh dari pintu. Mourent melihatnya beberapa saat kemudian melepaskan kenop pintu itu dan berjalan kebelakang menjauhi pintu. Mourent ingin berbaring di ranjang namun bayangan itu muncul, di mana beberapa saat yang lalu ada dua anak Bani Adam sedang memadu kasih di sana namun tidak berakhir dengan bahagia, karena hanya buah pahit yang di rasa. Ranjang itu masih berantakan sangat berantakan sebagai bukti jika keduanya benar-benar menginginkan satu sama lain pada awalnya tali berhenti di tengah jalan karena salah satunya tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkan seorang wanita di balik selimut sendirian, kamar ini mulai menghangat beberapa waktu yang lalu tapi sekarang sudah dingin kembali seperti kutub Selatan yang tidak berpenghuni. Mourent kembali mengurungkan niatnya, untuk tidur hanya karena sebuah ranjang yang berantakan, sebenarnya dia bukan trauma hanya saja saat ini bayangan itu masih melekat di pikirkan Mourent yang membuatnya lebih baik menghindari semuanya dari pada akan merusak mood yang sudah lebih tenang saat ini. Mourent membuka gorden tinggi yang ada di sisi kamar yang menghubungkan ke balkon kamarnya, udara tidak dingin di luar cenderung panas, ini cukup aneh di malam hari terasa panas meskipun angin berhembus kencang itu hanya dingin sesaat, setelah angin pergi udara panas begitu terasa. Mourent duduk di sofa panjang, melihat ke langit yang di penuhi oleh penghuninya yaitu bulan dan bintang yang memengaruhi langit malam ini. Mourent mengambil ponselnya yang berada di saku membuka banyak sosial media namun tidak ada satupun yang menarik hatinya. Banyak aplikasi yang dia kunjungi namun sangat membosankan untuk Mourent sampai dia melihat story' seseorang yang mempromosikan secangkir kopi dan dengan tulisan sederhana. Varian terbaru Senyumannya kecil muncul di bibirnya dan Mourent menekan tombol panggil untuk nomor itu. "Hallo selamat malam," sapa Mourent. "Malam Miss? Ada apa?" tanya A Wan. "Tidak ada, aku hanya melihat kopi varian terbaru mu, sepertinya enak apakah pahit?" "Tidak terlalu," jawab Hanan. "Andai aku bisa kesana untuk menikmatinya." "Besok saja, ini sudah malam," jawab A Wan. "Jika kamu bukan istri orang aku akan datang untuk melamar mengantarkannya," imbuh A Wan di dalam hatinya. "Jam berapa coffee shop tutup?" tanya Mourent. "Akan kesini sekarang? Dengan suami kan?" tanya A Wan untuk memastikan, A Wan sekali tidak masalah jika Mourent datang ke sini sekarang asalkan dengan Hanan, A Wan bisa menyisihkan rasa cemburunya karena dia lebih menghawatirkan keselamatan Mourent dari pada perasaannya. "Aku di rumah sendirian," jawab Mourent tidak yakin, karena Hanan berpamitan akan keluar tapi kunci mobil dan ponselnya masih di dalam kamar, sedangkan Mourent juga tidak memastikan jika Hanan ada di luar kamar atau tidak. "Coffee shop akan tutup sebentar lagi," jawab A Wan. "Kamu berbohong, aku masih bisa mendengar banyak suara di sekeliling mu." "Sebentar lagi itu bisa satu menit atau dua jam lagi," jawab A Wan jujur tapi tidak jujur. "Aku ingin kopi buatan mu." "Besok saja jangan sekarang." "Kenapa?" "Secangkir kopi tidak sebanding dengan keselamatan mu," jawab A Wan sangat lirih. "Aku mengerti," jawab Mourent juga lirih. Setelah itu A Wan membuat kopi lagi Mourent bisa mendengar suara dari mesin kopi, tapi A Wan yang mengunakan Handsfree pergerakan sama sekali tidak terganggu dengan panggilan yang masih terhubung dengan Mourent. "Biasanya Miss tidur jam berapa?" tanya A Wan sambil menuangkan s**u segar yang akan dia campurkan dengan ekstrak kopi. "Biasanya aku sudah tidur," jawab Mourent. "Lalu kenapa sekarang belum tidur? Apakah tidak bisa tidur karena tidak ada suami?" "Tidak juga, aku hanya belum mengantuk," Mourent tidak yakin dengan jawabannya yang ini "Miss maafkan aku, sepertinya aku akan menutup telponnya," ucap A Wan dengan hati-hati. "Aku yang meminta maaf karena mengganggu waktumu." "Bukan apa-apa," jawab A Wan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Mourent sambil menutup panggilan itu. A Wan sudah tidak mengucapkan selam tapi dia tidak menutupnya, A Wan hanya diam sambil terus bekerja. A Wan seorang laki-laki normal pada umumnya tapi dia masih memiliki pikiran yang sehat dan lurus. Dia berkali-kali untuk terus mengingatkan dirinya sendiri jika dia tidak bisa melewati batasan karena Mourent seorang wanita yang sudah bersuami tentu saja A Wan tidak bisa berbuat banyak untuk itu. "Aku tidak akan memutuskan panggilan ini dengan cepat jika saja aku bisa memperjuangkan mu," Ingin rasanya A Wan berteriak tapi dia hanya bisa mengeluh di dalam hatinya. A Wan menaruh dua tangannya pada pantry, dia menundukkan kepalanya sambil memikirkan wanita yang seharusnya tidak di pikirkan olehnya. "Wan ...?" Tentu saja A Wan menoleh karena tangan Saif menepuk pundaknya. "Apakah sudah janda?" tanya Saif. "Sudah, bundaku," jawab A Wan sangat dingin. A Wan memang mengormati awner nya tapi A Wan tidak takut padanya karena dia tidak salah. Saif sering menggodanya, tiap kali A Wan telepon dengan seseorang, dan kali ini Saif tidak tahu jika A Wan benar-benar telpon dengan Mourent. Jika dia tahu maka dia tidak akan berhenti menggoda A Wan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD