Bangsal

1019 Words
Hanan menyandarkan tubuhnya di gerbang rumahnya, saat dia dalam perjalanan pulang dia belum merasakan apapun, hanya terasa nyeri di beberapa bagian, tapi sekarang dia merasa pandangannya berkunang-kunang dan ada raya sakit teramat sangat di kepalanya, dia tidak bisa melihat karena penerangan yang minim, dia tidak bisa melihat bagian tubuh mana saja yang sakit. Dia berjalan tertatih-tatih dengan menyeret satu kakinya, mungkin dia terluka di lututnya karena celana jeans bagian lututnya robek hingga memperlihatkan semua lututnya dan nampaknya terluka karena saat dia pegang itu terasa perih. Dengan hati-hati dan setengah menyeret kakinya memasuki rumah, dia mendorong pelan pintu itu, lampu masih menyala meski sudah larut dan baru saja dia melangkah kakinya ke dalam rumah dia sudah di sambut dengan tatapan tajam dan cemooh ibunya. "Kenapa tidak pulang pagi sekalian? Ini sudah jam be ...?" Wanita itu tidak melanjutkan bicaranya saat mengetahui kondisi Hanan. Pemuda 18 tahun itu menyeret kakinya bahkan bekas kakinya meninggalkan jejak kaki yang berdarah, topinya yang berwarna putih pun sudah sebagian besar menjadi merah. "Apa yang terjadi padamu ...?" Ibu Hanan langsung bangkit dari duduknya dan dia lupa jika baru saj dia sudah memarahi Hanan, Hanan tidak menghiraukan bicara ibunya apalagi menghiraukan keberadaannya, dia langsung menuju kamarnya yang ada di lantai atas, dan ibunya langsung menghadang Hanan. "Hanan, apa kamu tidak mendengar ibu?" "Hanan selalu mendengarkan perkataan ibu dan ini hasilnya," ucap Hanan dengan wajah datar. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Wanita itu nampak menghawatirkan Hanan apalagi darah mengalir dari pelipisnya, dia ingin menyentuh kepala Hanan namun ditolak oleh Hanan dan Hanan kembali menuju kamarnya. "Aku sudah bilang jika aku sakit, tapi ibu memaksaku untuk pergi les, jika aku kecelakaannya itu juga karena salahku?" Hanan memanfaatkan situasi ini untuk sedikit memberi pelajaran kepada ibunya, ibunya terlalu menekan dirinya dan Hanan tidak tahan dengan itu. "Kita harus ke rumah sakit?" "Untuk apa?" tanya Hanan yang sudah naik satu anak tangga. "Lukamu perlu di obati." "Ke rumah sakit bukankah untuk menemui dokter? Bukankah ibu seorang dokter? Untuk apa jauh-jauh jika di rumah sendiri ada dokter?" "Hanan," Wanita itu sudah kehabisan kesabaran. "Atau ...? Ibu tidak mau mengobati aku? Begitu rupanya ...?" Hanan melanjutkan baik anak tangga satu demi satu, dengan susah payah dia mengangkat kakinya yang lututnya ada luka menganga. "Anak ini, aku tidak memiliki alat untuk memeriksa mu! Bukan berarti aku tidak mau merawat mu," Wanita itu gelisah dengan sendirinya karena melihat darah yang terus mengalir, Hanan bisa saja jatuh karena kehabisan darah, di segera menyusul langkah Hanan dan memeganginya. "Ibu seorang kepala rumah sakit, bukanlah suatu yang sulit membawa alat-alat medis pulang." "Aku hanya kepala rumah sakit bukan pemilik rumah sakit, kenapa kamu begitu keras kepala?" "Bukankah itu yang aku pelajari selama ini dari ibu?" Wanita itu membeku di bawah tatapan sayup mata Hanan. "Aku selalu melakukan semua perintah ibu bahkan aku tidak bisa memilih mainan kecil yang aku sukai, apakah aku masih salah di matamu? Apa perlu aku menjadi seorang robot yang tidak berperasaan hingga aku bisa selalu membahagiakan ibu? Aku ... juga ... manusia ... ibu ...." Akhirnya Hanan tumbang untung saja ibunya sudah siap siaga di sampingnya, "Dasar bandel," Kemudian dia mengambil ponselnya untuk memanggil ambulan. *** Di ruangan yang tenang ini hanya ada Hanan saja yang sedang melihat langit melalui jendela kamar rawatnya, dia sudah bangun pagi ini, saat membuka matanya dia berproses dulu kenapa dia ada di ruang rawat inap di RS, dan setelah dia ingin baru ia menghela napas. Kakinya di perban begitu pula kepalanya ada beberapa luka kecil dan goresan dan di tambah lebam di sekujur tubuh ini benar-benar memilukan. Baru saat ini Hanan merasakan kakinya mati rasa, dia hanya menggunakan bokser mungkin karena lukanya membuat para perawat itu tidak bisa mengunakan celana panjang. Dia hanya sendirian tidak ada seorangpun yang ada untuk menemaninya, Hanan yakin jika ibunya ada di rumah sakit ini, tapi tidak untuk dirinya tapi untuk bekerja dan bekerja. "Hai ... kami sudah bangun?" suara renyah itu membangunkan keheningan, dia menoleh pada suster yang baru saja masuk. "Waktunya makan siang," ucap suster itu dengan membawa dorongan yang berisi makanan untuknya. "Ayo makan, makan sendiri atau aku suapi?" tawar suster itu, Hanan memandang suster itu dia berpikir jika suster ini tidak tulus menjaganya karena dia tahu kalo Hanan putra ketua kepala rumah sakit. Hanan menolak makanan itu dengan hanya menggelengkan kepalanya, "Kamu harus makan, bagaimana kamu minum obat jika tidak makan?" Hanan tidak banyak bicara suster itu sibuk dengan piring di tangannya, dan Hanan meraih beberapa pil dan kapsul yang sudah di racik di tempatkan di nakas di samping tempat tidur, beberapa obat itu langsung masuk ke mulut Hanan dan air segera menyusul, dengan sekejap beberapa obat itu sudah berpindah ke lambung Hanan. Hanan tetap mempertahankan diamnya, setelah itu dia seakan-akan sedang tidur membuat suster itu terdiam dengan piring masing penuh di tangannya, Hanan sama sekali tidak memperdulikan suster itu dia saat ini memejamkan matanya tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan suster itu kemudian. Baru setelah dia mendengar suara pintu di tutup Hanan membuka matanya lagi, dia kembali menatap langit yang nampak sangat cerah sangat berbeda dengan keadaannya saat ini yang nampak suram, dia seperti hidup sendirian tidak ada seorangpun yang ada untuknya saat ini. Dia butuh seseorang yang menemaninya mengerti dirinya, tapi saat ini yang dia miliki hanya dirinya sendiri tidak ada teman, saudara, keluarga, maupun seseorang yang dia sukai. Hanan mendengar jika pintu kamar itu terbuka lagi dan ada beberapa orang yang masuk, yang dilakukan Hanan malah pura-pura sedang tidur. Dan ternyata yang datang ibunya dan beberapa dokter lainnya. "Bagiamana kelanjutannya?" tanya ibu Hanan pada dokter itu. "Kita akan melakukan pemeriksaan lanjutan setelah putra ibu siuman," jawab dokter itu. "Bagaimana dengan hasil ronsen?" "Tidak ada yang serius, tapi dia memiliki banyak luka luar dan lebam-lebam di berbagai tempat, goresan dan luka kecil, tapi yang membuat saya binggung, bagaimana kejadian kecelakaan itu hingga dia meminta luka lebam-lebam di berbagai tempat, ini seperti bukan sebuah kecelakaan saja karena aneh rasanya." Ibu Hanan diam dan memperhatikan anak remajanya itu yang sedang pura-pura tidur, wajah tampannya tertutupi dengan beberapa plester, mereka berdiskusi sebentar dan rencananya akan melakukan pemeriksaan lanjutan seperti mengetes pengelihatan, pendengaran, ingatan dan gerakan. Itu menunggu Hanan bangun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD