Maaf, otak kita dibuat dari komposisi yang berbeda

1362 Words
Mourent memecah hujan yang sangat deras, langkahnya gontai menyusuri jalanan yang sepi, air matanya tak lagi nampak karena tercampur dengan sempurna dengan air langit, Di dalam benaknya dia sama sekali tidak pernah sekilas pun memiliki pikiran prasangka buruk pada Alexy dan Kanaya, dia selalu mempercayai mereka lebih dari siapapun, dan sekarang mereka menusuknya dari belakang dengan sangat sempurna. Mourent tidak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Langkanya yang berat kini terhenti, Mourent menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang yang nada di taman pingin jalan, tidak tahu sudah berapa jauh Mourent berjalan dengan keadaan seperti ini, ternyata tiang itu adalah menyangga untuk dua buah ayunan, Mourent yang merasa lelah tanpa pikir panjang langsung duduk di sana. Hujan sudah tidak sederas tadi namun masih bisa membuat basah kuyup jika ada orang yang nekat menerjang hujan, Mourent menggoyangkan ayunan itu di tengah hutan dengan pikirannya yang kosong. Mungkin orang akan mencacinya karena kebodohannya menangis seorang laki-laki yang telah menduakan dirinya. "Kenapa harus di tangisi?" "Laki-laki tidak hanya saja, hilang satu tumbuh seribu." "Harus muve on, hidup harus berjalan meski tanpa dia." "Kamu cantik, pasti banyak orang yang mau denganmu." "Yang tidak setia buang, cari yang baru. Itu membedakan jika dia ditakdirkan bukan untukmu." Orang akan dengan mudah mengatakan hal itu namun tidak semua orang bisa menerimanya dan salah satunya Mourent, ada beberapa hal membuat Mourent sangat terpukul untuk saat ini, Hubungan mereka bukanlah sebuah cinta monyet anak ABG, mereka sudah lima tahun menjalani hubungan ini dan selama ini tidak ada kenangan pahit yang mereka alami, Alexy dan Kanaya adalah orang yang selalu support Mourent saat dia memiliki problem dengan ayahnya yang kaku. Hubungan Mourent dan Alexy sudah sangat serius, bahkan mereka sudah membicarakan tentang tunangan mereka, Mourent sudah banyak membahas tentang masa dengan dengan Alexy setelah Mourent lulus. Bukan itu saja Alexy adalah satu-satunya orang yang berhasil mengetuk pintu Mourent yang terkunci rapat sejak lama. Mourent tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun karena dia tidak bisa mengalami apa yang di alami oleh ibunya, laki-laki begitu keras di mata Mourent dan ibunya tetap menjalani hubungan yang tocix demi anak-anak mereka. Mourent bisa menerima Alexy karena keteguhannya mengejarnya dulu dan ketulusan yang ada di matanya, mungkin semuanya itu bukan sebuah kebodohan namun itu hanya pudar dengan seiringnya waktu. Mourent sangat mencintai Alexy, sampai-sampai semua laki-laki terlihat blur di matanya karena dia hanya ingin bersama dengan Alexy. Dan kini dunia yang dia ciptakan sendiri hancur berkeping-keping hanya karena beberapa patah kata dari sahabatnya sendiri, hancur sudah menara kebahagiaan yang sudah dia bangun selama lima tahun bersama Alexy. Mourent masih mengayunkan ayunan itu dengan sangat stabil, tidak terlalu kuat dan tidak begitu lemah, pemandangan indah seorang wanita duduk di ayunan di tengah hujan, itu di abadikan oleh seseorang di belakang Mourent. Dia seorang pemuda yang masih belum matang, jauh di bawah Mourent. Namun dia sangat tertarik dengan pemandangan yang dia lihat, wajahnya nampak dingin dia juga bisa merasakan kedinginan yang di alami oleh Mourent, pemuda itu mengambil ponselnya dan mengabadikannya dengan kameranya, pemuda itu sudah cukup puas dengan durasinya yang hanya 30 detik, dan kualitas HD yang 480p. Itu karena ponselnya yang biasa-biasa saja, dan juga dia sedikit merasa bersalah karena mengambil potret orang lain tanpa ijin. Pemuda itu memperhatikan hasil rekamannya itu nampak sempurna di pengelihatannya, namun dia ingin menghapusnya karena merasa bersalah mencuri potret wanita yang sedang bersedih. Namun hati kecilnya menolak itu karena dia sudah begitu jatuh cinta dengan hasil karyanya. Dan setan dalam dirinya berseru. "Tidak apa, kamu simpan untuk dirimu sendiri. Jangan mempostingnya di media sosial manapun, ini tidak apa-apa jika hanya untuk koleksi pribadi." Dan pemuda yang masih polos itu akhirnya menyimpan ponselnya dalam kantong dan pergi mengunakan ranselnya untuk menutupi kepalanya menerjang hujan. Dia menoleh lagi ke arah Mourent yang masih berada di tempatnya. "Jika ada kesempatan aku akan meminta ijin padamu, tentang rekaman ini." ucap pemuda itu di dalam hatinya, kemudian berlari kecil menjauh dari Mourent. Mourent menghembuskan napasnya yang panjang, dia mendudukkan dirinya di pasir menghadap pantai, matahari semakin turun dan itu sudah tidak lagi panas, meski hari akan gelap pengunjung tempat wisata itu masih banyak karena mereka ingin menikmati matahari tenggelam yang nampak elok di lihat dari tempat ini. "Maaf lama," kata Aimi yang baru saja sampai dengan satu kantong plastik di tangannya. "Aku bertemu dengan teman lamaku saat di membeli ini," Gadis itu menunjuk kantong plastik yang ada di tangannya, dia juga menjelaskan kenapa dia lama meski Mourent tidak bertanya. Mourent hanya tersenyum sambil menerima kantong plastik dari Aimi yang penuh dengan makanan untuk mereka berdua, "Makan dong, jangan murung terus," ucap Aimi pada Mourent. Dan dia hanya tersenyum kemudian menuruti perkataan Aimi, Mourent membuka kantong itu dan berniat mengambil minuman kemasan yang ada di sana. Pandangannya tertuju pada botol berwarna hijau dan dia mengambilnya, "Maaf ini untukku." Aimi langsung mengambilnya dan membuka tutup botol itu, Aimi tidak repot-repot melihat wajah Mourent, tanpa berdosa dia menegak dengan cepat minuman rasa alpukat itu. Lagi-lagi Mourent hanya tersenyum kemudian ia mengambil minuman lainnya, "Indahnya ...?" tanya Aimi sambil melihat indahnya matahari sore. "Sangat indah," jawab Mourent sambil menikmati minuman di tangannya. "Aku selalu teringat Galang jika dalam suasana seperti ini." "Kamu juga belum muve on dari mantan mu?" Mourent sedikit melirik pada Aimi. "Kamu melihat jus alpukat saja teringat pada kekasihmu yang kurang baik itu kenapa aku tidak boleh, kenapa kamu harus membenci jus alpukat yang dulu menjadi favoritmu? Padahal minuman ini tidak salah apapun." "Aku tidak membenci jus alpukat, tapi aku selalu teringat waktu itu jika melihat jus alpukat." "Kekasihmu yang tidak tahu diri itu begitu banyak memberi dampak padamu saat kalian berpisah." "Mantan, Aimi. Dia mantan," Mourent menekankan pada kata-katanya. "Ok, ok. Mantan." "Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu." "Kanaya?" "Aimi, mereka satu paket, plis?" Mourent kembali menekankan pada Aimi jika dia tidak ingin membahas tentang mantan kekasihnya dan mantan sahabatnya. "Kenapa aku berbeda?" ucap Aimi sambil menatap lurus ke laut biru. "Apa?" "Kamu tahu, aku masih berharap jika aku masih bisa balikan dengan Galang." "Kenapa? Bukankah dia meninggalkan kamu begitu saja tanpa alasan." "Benar. Dan masalahnya di situ." "Apa?" "Dia pergi begitu saja, menghilang tanpa jejak, dan saat dia meninggalkan aku, aku sama sekali tidak memiliki kenangan buruk tentangnya, jadi bukan salahku jika aku tidak bisa membencinya karena aku tidak memiliki alasan untuk itu!" Mourent membuka mulutnya dan pandangan tidak percaya dengan apa yang di ucapkan temannya itu, "Apa di campakkan tanpa sebab bukan sesuatu yang menyakitkan? Tinggalkanlah begitu saja kamu tidak sakit hati?" "Sakit. Aku merasakan sakit dan juga merasa kecewa." "Lalu?" "Tapi, meski aku merasakan itu semua, kenangan yang aku buat dengan Galang dan lamanya waktu yang aku lalui bersamanya itu tidak sebanding dengan luka yang aku rasakan, sakitnya masih bisa tertutupi dengan kenangan bahagia yang aku ingat." "Ada ya manusia seperti ini? Sepertinya hanya kamu," Mourent mengeleng sambil melihat Aimi. "Seharusnya kamu mencontoh aku, tidak baik menyimpan dendam terlalu lama." "Tidak terimakasih," dengan cepat Mourent menolak gagasan itu. "Kenapa?" "Cukup kamu saja yang seperti itu, karena nampaknya otak kita tidak di buat dengan komposisi yang sama." "Tidak bisa di pungkiri memang aku sedikit lebih bodoh darimu." "Tidak sedikit tapi lebih banyak." Aimi malah tertawa mendengar temannya itu berterus terang akan otaknya yang pas-pasan, dia tidak tersinggung karena dia tahu yang sebenarnya bagaimana karakter Mourent. "Sampai kapan kamu akan seperti ini?" Aimi mengalihkan pembicaraan. "Tidak tahu, aku masih menikmati kesendirian ini namun nampaknya ayah yang sudah tidak tahan, dan ingin segera melemparkan aku dari rumahnya." Kali ini Aimi tidak lagi membuat candaan jika itu sudah menyangkut keluarganya, dia tahu bagaimana kerasnya karakter ayah Mourent sejak dulu, dia tidak akan berpikir dua kali hanya untuk memukul Mourent, jangankan Mourent. Ibu Mourent yang sudah dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk bertahan dengan ke egoisan suaminya masih saja salah di mata laki-laki itu. Bagaimana Mourent bisa membuka hatinya lagi saat ada dua orang laki-laki di hidupnya yang merusak kepercayaannya untuk berkomitmen lagi dengan seorang pria, mantan kekasihnya yang menurut orang sangat boyfriend material banget itu saja masih menyakiti hatinya dengan berpaling pada wanita lain, apalagi sosok ayahnya yang sama sekali tidak bisa di buat panutan, dia memang tidak pernah main perempuan namun dia punya hobi lain yaitu main tangan. Itu lebih tocix dari pada berselingkuh dan mengakhiri sebuah hubungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD