cosplay jadi anak pungut

1057 Words
Mourent duduk di ruang tengah mendengar ayahnya yang terus bergumam, sudah hampir satu jam Mourent hanya duduk di ruang tengah sedangkan ayah dan ibunya berada di ruang makan, dia sengaja tetap berada di sana agar ayahnya tetap menggunakan nada bicara yang sama, dan jika dia pergi meninggalkan mereka berdua, ayahnya mungkin akan bicara lebih keras dan yang paling dia tidak Mourent suka, ayahnya bisa mengangkat tangan untuk ibunya. "Lihatlah anak perempuanmu," ucap ayah Mourent pada istrinya. "Dia sudah di wisuda namun belum juga mempunyai pekerjaan, mau sampai kapan dia seperti ini?" "Dia sudah mencari pekerjaan di banyak tempat, dan masih menunggu hasilnya," jawab ibunya dengan sangat lembut. "Terus saja kamu bela anak perempuanmu itu? Aku sudah mengeluarkan banyak uang sampai dia dewasa dan lihatlah umurnya yang sudah banyak bukankah seharusnya sekarang dia membantu keuangan keluarga, adik laki-lakinya juga membutuhkan banyak uang, tahun depan dia akan masuk universitas, dan apa yang dia lakukan anak gadismu, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun." Telinga Mourent sebenarnya sudah kebal bahkan semua perkataan ayahnya sudah di hafal untuk Mourent, karena ini bukan untuk yang pertama kalinya, ayahnya mengatakan sesuatu yang lebih pedas dari cabe bubuk, lidah itu begitu tajam lebih tajam dari sebuah sayatan. "Sudahlah, dia juga tidak diam saja, Mourent sudah berusaha namun hanya saja memang belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai saja." "Sampai kapan?" tanya ayah Mourent pada istrinya. "Dia sudah hampir 25, pekerjaan tidak punya, calon suami apalagi? Apa sebenarnya tujuan hidupnya? Jika dia tidak bisa membahagiakan dirinya sendiri maka setidaknya balas jasa untuk kehidupan nyaman yang dia terima selama ini." Mourent menelan ludahnya, dia benar-benar sudah tidak tahan lagi mendengarkan ucapan ayahnya, terkadang dia berpikir jika dirinya di pungut oleh orang tuannya di tong sampah, karena Mourent merasa jika dirinya tidak ada bedanya dengan anak pungut yang tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Mourent sebenarnya sudah mati rasa karena terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini namun tetap saja ada di titik dia ingin menangis karena keadaan yang dia alami dan belum tahu ini akan berjalan sampai kapan. "Ayah, sudahlah. Apa kamu tidak lelah terus mengkritik putrimu? Seisi rumah ini sudah lelah mendengar keluhan mu setiap hari," Ibu Mourent akhirnya mengutarakan apa yang ingin di katakan oleh Mourent sejak lama, semua isi hatinya sudah terwakilkan oleh ibunya. namun sayang Mourent tidak merasa lega tapi malah semakin menambah pikiran, karena ibunya membela dirinya ayahnya bukannya sadar malah semakin menjadi. "Kamu sudah berani padaku?" Ayah Mourent meninggalkan suaranya. "Tidak, bukan begitu." "Aku menyekolahkan dia tinggi-tinggi agar dia menjadi orang yang berguna dan membantu perekonomian keluarga, bukan menjadi seorang pengangguran?" "Dia juga tidak ingin menjadi seperti ini, dia bukan pengangguran, Mourent hanya belum mendapatkan pekerjaan saja." "Wanita ini," Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan sudah mengangkat satu tangannya. "Ayah ...." Mourent berteriak dari ruang tengah ketika ayahnya sudah bersiap memukul ibunya, sedari tadi dia hanya diam saat ayahnya sendiri mencaci makinya sampai akar-akarnya, tapi dia tidak bisa diam saja saat ibunya yang mendapatkan pelampiasan ayahnya sendiri, apalagi mereka bertengkar karena dirinya. "Apa?" tanya ayahnya sambil melotot pada Mourent. "Apa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah? Kenapa harus mengunakan kekerasan, ibu sudah sering menerima pukulan dari ayah, tolonglah ayah kasihani ibu." "Wah ... wah ... wanita di rumah ini sudah berani semua denganku, kalian sudah tidak menghormati aku lagi?" "Ayah, aku sangat menghormatimu namun aku tidak bisa melihat ayah terus memperlakukan hal yang buruk pada ibu." "Lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan menentang ayah sekarang, karena kamu sudah dewasa dengan gelar di belakang namamu?" "Tidak. Seumur hidupku aku belum pernah menentang ayah, sekalipun!" "Jika begitu, sekarang carilah seseorang laki-laki yang mau menikahi mu dan pergilah dari rumah ini, aku sudah muak dengan wajah pembangkang sepertimu, pengangguran dan tidak tahu balas budi." "Baiklah aku akan melakukan apa yang ayah inginkan," ucap Mourent tanpa pikir panjang, dia juga sudah jengah akan ayahnya yang Mourent sendiri tidak dapat mendeskripsikan sifat ayahnya sendiri. Mourent pergi ke kamarnya, namun dia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan orang tuannya, dan setelah sampai di kamar barulah air mata itu jatuh dengan bebas, namun Mourent mengais tanpa suara, dia tidak ingin terlihat lemah di depan orang tuannya terlebih ayahnya yang selalu merendahkannya, apa yang dia barusan ucapku saja tidak dipikirkan oleh Mourent, dia hanya bicara tanpa berpikir untuk mengimbangi ayahnya. Mourent hanya seorang gadis biasa yang punya perasaan, dia tidak bisa terus diam dan menerima semuanya, adakalanya dia juga bersuara ketika hatinya sudah tidak mampu lagi menanggung semuanya. Mourent duduk termangu di kamarnya, sampai detik ini dia belum bisa mengerti sebenarnya kesalahan apa yang dia buat hingga ayahnya sendiri berbuat demikian padanya, pernah terbesit di pikirannya jika dirinya bukan darah daging dari laki-laki yang dia panggil ayah sejak kecil itu, mungkin dia seorang anak yang di pungut di jalan oleh orang tuanya dan di rawat, tapi Mourent memiliki hati yang terbuat sama seperti mereka yang bisa merasa tersakiti meski Mourent tidak menunjukkannya. Ting Suara notifikasi ponselnya berbunyi dan itu dari temannya yang memiliki otak yang komposisinya tidak sama dengan dirinya. Mourent tidak memiliki tenaga untuk mengetik jadi dia membuat panggilan agar memudahkannya. "Apa?" tanya Mourent, saat panggilan itu tersambung. "Hu ... hu ... hu ..., ingin curhat," suara gadis itu terdengar merengek di ujung sana. "Apa? Katakan," Itulah realita yang sering terjadi, saat ini, detik ini Mourent sedang dalam masalah dengan keluarganya, namun dia mencoba terlihat baik-baik saja di depan dunia, dia masih bisa menampung masalah orang lain meski Mourent tidak bisa memberikan solusi, karena Mourent yakin ketika seorang wanita ingin berbagi perasaannya wanita itu tidak membutuhkan solusi atau nasihat, yang di butuhkan hanya telinga, hanya telinga. Mourent hanya perlu diam dan mendengarkan temannya meluapkan semua perasaannya, dan hanya merespon. "Ha?" "Apa?" "Begitu?" "Ok, ok." "Semuanya akan baik-baik saja." Itu sudah cukup, dan itu yang di lakukan Mourent saat ini, "Ada apa sekarang?" tanya Mourent dengan lembut. "Kamu ingat? Aku pernah cerita tentang mantanku yang tidak bisa aku lupakan, karena dia tiba-tiba menghilang begitu saja?" "Iya." "Ternyata sekarang dia sudah menikah ... hu ... hu ..., sakit," Gadis itu terisak. "Benarkah? Kamu yakin?" "Aku melihatnya sendiri, dia, dia sudah menikah. Bahkan saat ini istrinya sudah hamil." Mourent memijat pelipisnya yang terasa sakit. Sebenarnya dia tidak tega tapi saat ini dia juga sedang ada masalah, karena tidak dapat berbuat apapun, Mourent hanya diam saja mendengar temannya itu mengisi laki-laki yang kini menjadi milik orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD