Menonton acara musik jalanan

2115 Words
Mourent masih berdiri di banyaknya orang yang berkerumun, namun dia tidak menikmati pertunjukan ini karena A Wan sudah menyelesaikan bagiannya, bahkan A Wan sudah memberikan ekstra dua lagu. Karena sudah tidak menikmati pertunjukan ini lagi, Mourent keluar dari barisan penonton. Acara musik masih terus berlangsung namun Mourent sudah tidak ingin melihatnya, Mourent baru saja akan pergi saat ponselnya berdering. "Ya ...," ucap Mouren menempatkan ponsel itu di telinganya. "Kamu jadi keluar?" tanya Hanan. "Jadi, aku sekarang sudah di luar," jawab Mourent. "Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam." "Aku tahu, bagaimana operasinya?" "Gagal." "Bagaimana bisa?" Mourent berhenti di tempatnya, meskipun Mourent tidak kenal tetap saja jika operasinya berhasil dia ikut senang karena yang melakukan operasi adalah Hanan dan tentunya dengan dokter lainnya. "Tidak apa-apa, masih bisa operasi lagi, tubuhnya tidak mendukung sekarang. Jangan khawatir ini sering terjadi di kedokteran," Hanan yang malah menenangkan Mourent. "Kamu sudah malam malam?" "Belum, habis ini. Aku ingin menghubungi mu dulu." "Tutup panggilannya, kamu harus makan." "Ok, ok. Tapi kamu tidak apa jalan-jalan sendiri." "Memangnya kenapa jika jalan-jalan sendiri, lagi pula aku menikmatinya." "Apa yang kamu lakukan?" "Aku baru saja nonton musik jalanan dan itu bagus sekali, aku juga ingin makan atau sekedar beli kopi, memangnya aneh jika itu di lakukan sendiri?" "Tidak." "Hanan, kamu ingat dengan pemuda yang bertemu kita di pantai yang bernama A Wan itu?" "Emm ... ya?" "Ternyata dia seorang penyanyi jalanan, aku baru tahu itu dan suaranya sangat bagus." "Apa kamu menonton acar musik di trotoar jalan Romo Mangu?" "Emm tunggu," Mourent melihat sekeliling untuk melihat jalan apa dia berdiri. "Aku tidak yakin, tapi sepertinya iya. Aku belum hafal nama-nama jalan di sini." "Sepertinya aku tahu pertujukan musik jalanan yang kamu bicarakan. Lain kali kita akan menontonnya bersama." "Baiklah, semoga ada waktu." "Perhatikan langit juga, sekarang bisa tiba-tiba mendung dan langsung turun hujan." "Ok," Mourent tersenyum sangat lebar, kadar kepuasan dan kebahagiaan setiap individu itu memiliki takaran tersendiri dan Mourent adalah orang yang sangat mudah untuk di puaskan, dengan hanya memberinya sedikit perhatian dia sudah akan berbunga-bunga. Mourent kembali berjalan sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya namun dia di buat kaget dengan suara yang menyapa dari sampingnya. "Apakah pertunjukannya menyenangkan?" tanya seorang pemuda dari samping Mourent yang membuat Mourent terkejut dan langsung memegangi dadanya sendiri. "Aaaa ..., kamu mengagetkanku ...?" ucap Mourent sambil memegang dadanya sendiri karena terkejut di sapa oleh A Wan. Jika jarak mereka tidak begitu jauh mungkin Mourent akan memukul A Wan karena refleks karena terkejut. A Wan hanya menanggapinya dengan senyuman ketika Mourent kaget. "Kamu tersenyum?" tanya Mourent ketika melihat A Wan tersenyum lebar padanya, namun karena pertanyaan dari Mourent senyuman itu memudar. "Apakah aneh jika aku tersenyum?" tanya A Wan dengan wajah datarnya lagi. "Tentu saja tidak,.kamu malah terlihat lebih tampan jika kamu tersenyum," puji Mourent. Bagaimana perasaannya jika di puji oleh seseorang yang istimewa, tentu saja akan bahagia dan melambung tinggi dan itu yang di rasakan oleh A Wan saat ini, A Wan tidak peduli jika yang memujinya itu adalah istri orang yang A Wan tahu saat ini wanita yang dia cintai sedang memujinya, dan senyuman itu kembali muncul di bibirnya. "Lihatlah ... betapa tampannya kamu ketika tersenyum," Mourent kembali memuji A Wan dan malah membuat A Wan merasa malu. "Aku akan mentraktir Miss Mourent kopi," ucap A Wan sambil berpaling, sebenarnya dia sedang tersenyum kembali namun A Wan tidak ingin Mourent melihatnya. A Wan membalikkan tubuhnya tidak menunggu Mourent menjawab tawaran darinya karena A Wan cukup yakin jika Mourent akan menerima tawaran darinya, karena sebelumnya A Wan mendengar percakapan Mourent dengan Hanan jika dia berencana akan makan atau sekedar ngopi meski dia sendirian. "Apakah kamu tahu tempat yang enak untuk nongkrong?" tanya Mourent sambil mengikuti langkah A Wan yang menyusuri trotoar yang masih ramai akan pejalan kaki. "Ya," jawab A Wan sambil melirik sedikit Mourent yang sudah berjalan di sampingnya. "Ada coffee shop yang memiliki kopi enak ya sering di kunjungi warga sekitar sini, mereka juga menyediakan beberapa menu pendamping, plus baristanya juga tampan," Sebenarnya A Wan geli sendiri saat mengatakan itu karena dia tidak terbiasa membanggakan dirinya sendiri. "Baiklah," jawab Mourent. Mereka berjalan tidak begitu cepat dan juga tidak begitu lambat, Mourent begitu santai karena malam ini dia memang ingin menikmati waktunya dan dia cukup senang saat A Wan mau menemaninya karena dia pikir malam ini dia akan tetap sendirian sampai pulang karena Hanan tidak bisa bersamanya dia ada sif malam. Mourent biasa saja namun tidak untuk A Wan, meski di permukaannya dia masih seperti biasanya dengan wajah datarnya tapi sebenarnya detak jantungnya berdetak tidak beraturan, kakinya melangkah biasa namun seperti mati rasa karena A Wan seperti melayang tidak menginjak bumi. Dia hanya ingin segera sampai ke coffee shop tempatnya bekerja dan Mourent tidak melihat keanehan yang terjadi pada tubuhnya. "Apakah ini yang di namakan jatuh cinta?" tanya A Wan pada dirinya sendiri, sampai A Wan tidak berani menengok ke samping di mana ada Mourent yang berjalan di sampingnya. Saat ini A Wan sedang merasa bahagia namun bersamaan dengan itu A Wan ingin memukul kepalanya sendiri, karena hati kecilnya memberikan sinyal jika yang di lakukan dia saat ini tidaklah benar. "Ingat A Wan, jika dia sudah memiliki suami," lagi-lagi A Wan memperingatkan dirinya sendiri agar tidak jatuh terlalu dalam akan godaan ini. "Kenapa harus Miss Mourent, begitu banyak wanita yang hidup di dunia ini sana kenapa seorang yang sudah menikah dan masih memiliki suami yang harus berhasil membaut mu jatuh cinta?" Pertanyaan A Wan pada diri A Wan sendiri. "Apakan ini yang di rasakan seorang perebut suami orang? Yang murni karena cinta buka karena harta? Ini memang rumit," keluh A Wan di dalam hatinya. A Wan diam saja karena dia sedang perang dengan dirinya sendiri tapi Mourent buka tipe orang yang hanya akan diam saja jika bersama orang lain, maka dia akan menjadi orang yang mencari bahan pembicaraan karena tidak tahan hanya diam saja. Dia menimbang kembali perkataan Hanan tempo hari yang mengatakan jika A Wan mungkin menyukai dirinya, tapi saat Mourent memperhatikan A Wan saat ini sepertinya Hanan salah karena A Wan biasa saja Sam seperti dia memperlakukan orang lain dan Mourent tidak merasa istimewa bersamanya. "A Wan ...?" panggil Mourent sambil melihat A Wan yang menetap lurus ke depan. "Ya." "Sudah lama ikut pertunjukan musik jalanan?" "Lumayan, mungkin sekitar 3 tahun." "Lama juga. Emm ... suara kamu bagus." "Terimakasih, Miss Mourent," A Wan kini menoleh dan tersenyum kembali. "Jangan panggil aku Miss jika di luar, aku merasa sangat tua, mungkin kita hanya berbeda beberapa tahun saja." "Itu sudah kebiasaan, mana bisa di rubah," jawab A Wan. 'Tapi aku bisa merubahnya jika nanti kita menikah, dengan panggilan sayang mungkin,' imbuh A Wan di dalam hatinya. Namun dia segera menggoyangkan kepalanya agar dia sadar kembali atas ide yang muncul di otaknya. Tidak terasa mereka sudah sampai ke coffee shop rekomendasi dari A Wan dan juga itu adalah tempat bekerja A Wan. "Silahkan duduk Miss dan pesan saja apa yang ingin Miss Mourent pesan, aku akan ke toilet sebentar," ucap A Wan. "Kamu meninggalkan aku sendirian?" ucap Mourent yang membuat A Wan meleleh. 'Kenapa kamu sangat mengemaskan?' Teriak A Wan di dalam hatinya, tidak ada yang salah pada Mourent dia bicara biasa saja dan juga tidak membuat manja nada bicaranya tapi yang salah memang A Wan, dia tidak pernah jatuh cinta sebelumnya sampai seperti ini dan menurut A Wan apapun yang di lakukan Mourent itu selalu menarik di matanya. 'Tidak sayang aku tidak meninggalkan mu, aku hanya ingin ke toilet,' imbuh A Wan di dalam hatinya tapi A Wan harus menyembunyikan itu dari Mourent jika tidak mungkin Wanita itu sudah melarikan diri karena tahu jika A Wan menaruh hati padanya. "Hanya sebentar," ucap A Wan pada Mourent, kemudian A Wan mengambil dompet miliknya dan menaruh di atas meja. "Jika Miss Mourent takut jika aku tidak jadi mentraktir hari ini, aku akan meninggalkan dompet ku di sini, isinya tidak banyak tapi cukup jika hanya untuk membuat begah perut," ucap A Wan masih dengan wajah datarnya, dia seperti seorang yang sedang merasa tidak senang, tapi tidak seperti itu karena A Wan memang tipe seorang yang dingin. Mungkin jika marah wajahnya akan lebih mengerikan lagi. "Tidak perlu ...," jawab Mourent, menyodorkan dompet A Wan. "Tidak apa-apa," jawab A Wan, segera pergi ke toilet. Mourent masih bersikeras ingin mengembalikan dompet milik A Wan, namun pemuda itu sudah pergi menghilang di balik dinding coffee shop. A Wan pergi ke toilet bukan karena dia ingin buang air kecil atau lainnya, melainkan hanya untuk menenangkan diri karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya dan tubuhnya merasa tidak nyaman. A Wan memukul-mukul dadanya ringan, dia seperti kekurangan asupan oksigen karena terlalu lama berdiri di samping Mourent. "Ada apa denganku?" tanya A Wan pada dirinya sendiri, A Wan duduk di tas kloset sambil mengatur pernapasannya yang berantakan, dia sejak tadi menahan semuanya agar nampak biasa-biasa saja di depan Mourent tapi saat dia sendiri dia bisa melepaskan semuanya. "Ini di luar kendali ku ya Allah ...," gumam A Wan. Jika saat ini ada Yoseph di sini dan melihat apa yang terjadi pada A Wan mungkin teman sekamar A Wan itu tidak akan berhenti tertawa melihat A Wan yang teramat awam dengan masalah percintaan. A Wan tidak ingin membuat Mourent menunggunya jadi dia segera membuat dirinya lebih normal kembali, mencuci wajahnya dan berganti pakaian yang ada di dalam tasnya. Dia keluar namun langsung di kagetkan oleh laki-laki yang menyadarkan tubuhnya di dinding di depan pintu sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Bang Saif? Ada apa?" tanya A Wan pada owner coffee shop ini. "Kenapa lama sekali di dalam toilet?" tanya Saif dengan wajah di buat galak, padahal sebenarnya owner coffee shop ini begitu ramah dan mudah bergaul dan terbuka kadang orang akan mengira jika owner di sini adalah A Wan bukan Saif karena kepribadian mereka. "Ganti pakaian," jawab A Wan. "Luapkan, lupakan itu," Akhirnya Saif tidak tahan dan merubah ekspresi wajahnya yang serius menjadi dirinya sendiri. "Siapa wanita di depan? ini kali pertamanya di dalam hidupku aku melihat kamu membawa seorang wanita ke sini?" "Biak siapa-siapa?" jawab A Wan sambil melangkah keluar dari toilet dan pergi ke dapur, mengambil Appron kemudian memakannya siap untuk bekerja. Dan Saif masih mengikuti A Wan di belakang, karena jawaban A Wan adalah informasi yang lebih menarik daripada siapa yang akan memenangkan piala dunia tahun ini. "Jangan bohong A Wan," desak Saif sambil terus mengikuti A Wan yang sedang mempersiapkan diri untuk menggantikan temannya, ini waktunya mereka berganti sif kerja. Dan malah owner coffee shop ini berulah. "Bang Saif, apakah aku pernah berbohong sebelumnya padamu?" tanya A Wan pada Saif hingga A Wan menghentikan pekerjaannya sebentar. "Tidak, kamu akan jujur meski aku akan memangkas habis gaji mu," jawab Saif. "Lalu kenapa kali ini Bang Saif tidak percaya dengan jawaban yang aku berikan, jika wanita itu bukan siapa-siapa." "Tapi aku melihatnya sendiri kamu sampai meninggalkan dompet mu padanya, itu yang bikin aku curiga." "Kami hanya teman, lagi pula dia sudah menikah, aku hanya mentraktir di malam ini, meninggalkan dompet ku di sana karena dia belum tahu jika aku bekerja di sana." "Ooo ... sudah menikah," jawab Saif sambil menoleh pada Mourent yang bisa di lihat dari tempatnya berdiri. "Jika dia calon istriku maka Bang Saif adalah orang pertama yang akan aku kenalkan setelah ibuku," jawab A Wan sambil kembali bekerja. "Itu namanya bukan nomor satu," jawab Saif. A Wan sudah tidak lagi menanggapi ownernya itu dia mencari tahu apa yang sudah di pesan oleh Mourent. Dan Mourent hanya memesan secangkir kopi yang paling di cari di sini. Dengan senang hati A Wan membuatkan minuman istimewa di coffee shop ini teruntuk orang istimewa bagi A Wan meski itu istri orang. "A Wan," bisik Saif. "Emmm ...," jawab A Wan yang sedang mengoperasikan mesin kopi di depannya. "Kamu bisa mentraktir wanita itu apa saja, dan tidak perlu bayar," bisik Saif yang langsung membuat A Wan mengalihkan pandangannya dari mesin kopi ke Saif yang ada di sampingnya. "Benar Bang?" A Wan memastikan. "Tentu saja," jawab Saif. "Terimakasih," ucap A Wan dengan tersenyum kecil. "Jika nanti ada perkembangan, spill aku," Goda Saif sambil menepuk pundak A Wan kemudian berlalu dengan tersenyum puas. "Apakah aku memilih ciri-ciri perebut istri orang?" tanya A Wan yang tidak mendapatkan jawaban dari Saif karena dia sudah pergi, namun A Wan tidak marah pada ownernya itu karena dia baru saja mendapatkan keuntungan yang sangat jarang di dapatkan. Bisa mentraktir Mourent tanpa kehilangan satu rupiah pun bukankah itu sebuah berkah. Karena untuk A Wan sendiri sebenarnya harga barang yang di jual di coffee shop ini tidak ramah di kantongnya, satu cangkir kopi espreso dan satu makanan hidangan penutup itu bisa di gunakan A Wan untuk makan satu hari. Namun dia rela dan tidak berpikir banyak karena dia ingin mentraktir Mourent yang mungkin akan sulit mendapatkan kesempatan di lain waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD