Dua jalan setapak

1718 Words
Hanan melihat jarum jam yang ada di pergelangan tangannya, ini sudah pukul 21:10 dan dia baru saja keluar dari ruangan operasi, dia sudah merasakan jika perutnya lapar karena tadi tidak sempat untuk makan malam terlebih dahulu, Hanan langsung pergi membersihkan dirinya sebelum mengambil kotak makan yang di titipkan di resepsionis oleh Mourent. Dengan tidak sabar Hanan membuka kotak makan miliknya, perutnya sudah tidak bisa lagi di ajak kompromi karena lapar yang sangat. "Wih ... enak ini ...?" Suara seorang laki-laki ikut duduk di depan Hanan yang sedang makan malam. "Emm," sahut Hanan yang mulutnya penuh dengan makanan. Laki-laki bernama Sam yang juga berprofesi sebagai dokter itu duduk di depan Hanan yang hanya mengangkat kepalanya sesekali karena dia sedang menikmati makan malamnya. "Kamu tidak ingin menari aku makan?" tanya Sam ketika Hanan begitu menikmati makanan yang meskipun sudah nampak dingin itu. "Hanya sedikit," jawab Hanan. "Itu banyak Hanan, bahkan kamu belum habis memakannya separuh." "Aku tidak akan kenyang jika harus berbagi denganmu," jawab Hanan jujur pada Sam. "Aku juga lapar, nampaknya makanannya enak." "Tentu saja makanan ku enak, jika tidak mana mungkin aku akan memakannya." "Bagi aku sedikit, dua suapan saja," bujuk Sam sambil memanjangkan lehernya untuk melihat makanan milik Hanan, namun Hanan dengan cepat menjauhkan dari jangkauan Sam. "Jika kamu lapar pesan saja pakai akun ku, aku yang akan bayar," Hanan mengeluarkan ponselnya dan menaruh di depan Sam. "Kamu yakin? Aku akan memesan makanan yang banyak?" ancam Sam mengambil ponsel Hanan. "Emm," jawab Hanan tidak peduli dengan teman kerjanya itu. "Aku akan memesan yang mahal." "Terserah." "Tapi akan lama, aku sudah lapar sekarang," kilah Sam mengembalikan ponsel Hanan, tidak jadi memesan. Hanan tidak menjawab dia malah mengambil dompetnya dan mengambil kartu kredit dan menaruhnya di depannya. "Pergilah, jangan menganggu aku," ucap Hanan. "Aku bisa pergi ke restoran bintang 5." "Sesuka hatimu, hitung-hitung aku sudah lama tidak mentraktir mu." "Aku bisa mengajak seseorang?" "Kenapa kamu bawel sekali, aku sedang makan," kata Hanan dengan sedikit emosi karena temannya ini begitu menyebalkan. "Pergilah Sam, makan yang ingin kamu makan," kata Hanan kemudian kembali ke kotak makannya. Namun lagi-lagi Sam hanya menguji kesabaran Hanan, dia mengembalikan kartu kredit milik Hanan dengan senyuman kecil. "Kenapa?" tanya Hanan sambil mengangkat alisnya. "Kamu tidak percaya jika kartu ini bisa di gunakan?" "Bukan, akubtidak meragukan jika kamu banyak uang, tapi aku tidak bisa menggunakannya, aku juga masih mampu untuk membeli makanan untukku sendiri." "Aku tidak bermaksud menghina perasaanmu." Sam tidak menjawab dia hanya terus memperhatikan Hanan yang tidak memperdulikan sekelilingnya saat dia di hadapkan dengan makanan masakan rumahan itu. "Seenak itu?" tanya Sam. "Emm," jawab Hanan sambil tersenyum. "Masakan siapa? Istrimu?" "Ya." "Mourent?" "Siapa lagi? Nama istriku memang Mourent." "Oh, aku kira ada nama wanita lain," ucap Sam dengan ringannya dengan tersenyum kecil. Sam bisa berpikir seperti itu karena sedikit banyak Sam juga tahu bagaimana hubungan Hanan dan Yang Rou We di masa lalu yang membuat banyak orang iri, mereka lebih dari kata cocok, namun nyatanya Hanan tidak berjodoh dengan Yang Rou We. Ketika Hanan menikmati bekalnya Sam langsung teringat akan Yang Rou We, karena Hanan sangat mencintai Yang Rou We dan hanya Yang Rou We bisa membuat dokter bernama Hanan itu tersenyum cerah penuh kehidupan. Dan Sam juga tahu jika Hanan menikahi Mourent karena permintaan dari ibunya bukan karena Hanan mencintai Mourent karena semua orang tahu jika Hanan masih menyukai mantan kekasihnya. "Maksutmu apa? Memangnya aku suka main perempuan?" "Bukan begitu Hanan, dari caramu sangat menghargai makanan rumahan itu, membuat aku teringat dengan satu nama wanita." Dek. Hanan yang sudah membuka mulutnya akan memasukan satu sendok yang penuh dengan makanan, tangan itu berhenti di udara karena Hanan mengerti kemana arah pembicaraan Sam. Hanan seketika kehilangan nafsu makannya, senyuman yang sejak tadi dia tunjukkan hilang sudah. "Kenapa, kenapa kamu harus mengingatnya?" tanya Hanan menatap wajah Sam. "Jika memang bukan dia kenapa kamu harus marah. Aku ikut senang jika kamu sudah muve on dan mulai bisa menerima keberadaan Mourent yang sudah satu tahun menemanimu." "Dengan kamu mengatakan hal itu, malah mengingatkan aku padanya, yang sudah susah payah mencoba lupakan dia. Dan Dengan mudahnya kamu mengingatkan aku padamu," Hanan nampak marah dengan Sam. "Kenapa harus marah Hanan, itu masa lalu. Aku hanya kasihan dengan Mourent saja, dia wanita baik." "Kasihan padanya? lalu kenapa kamu tidak kasihan denganku, lalu kenapa kamu tidak kasihan pada Yang Rou We, di antara Mourent dan Yang Rou We, Yang Rou We adalah pihak yang paling tersakiti dan di rugikan di sini. Apakah kalian tidak puas membicarakan keburukan ku dan kenapa harus masih menghakimi wanita sebaik Yang Rou We?" "Maaf Hanan, aku tidak bermaksud membuka luka lama," ucap Sam dengan wajah bersalahnya. "Luka lama? Luka lama yang aku tutupi dengan baik meski luka itu tidak bisa di sembuhkan, luka lama itu sudah terinfeksi dan tidak akan mungkin untuk di sembuhkan lagi. Dan kamu dengan mudahnya membukanya, luka yang setiap hari aku rawat agar tidak nampak oleh orang lain." Sam menyesal karena mulutnya yang lancang membuat Hanan kembali seperti ini. "Asal kamu tahu sampai detik ini aku belum bis menyentuh Mourent, wanita yang sudah aku nikahi satu tahun yang lalu, karena apa? Karena rasa bersalahku padanya, aku belum bisa menerimanya di hatiku karena hatiku masih penuh dengan wanita yang sampai detik ini aku cintai namun sialnya wanita itu seperti di telan bumi, dia tidak meninggal namun kenyataannya lebih parah dari pada di tinggal pergi untuk selamanya, dia hilang, lebih tepatnya menghilang dari hadapanku dengan membawa segunung luka yang aku berikan padanya." Hanan memandang langit-langit di atasnya, matanya sudah penuh dengan air mata dan itu bisa jatuh kapan saja, bibirnya bergerak-gerak karena emosi yang sudah terkumpul. Dia memang seorang laki-laki, namun Hanan juga seorang manusia normal yang memiliki perasaan seperti orang lain yang bisa langsung tersentuh jika titik sakitnya tersentuh. "Hanan ...?" panggil Sam pelan. "Pergilah," jawab Hanan dengan cetus, bahkan dia tidak mau melihat Sam. Sam mengerti dan segera pergi karena rasa bersalahnya pada Hanan, dia sama sekali tidak bermaksud demikian, karena berpikir dia sudah mulai bisa berdamai dengan keadaan setengah sekian lama, dan ternyata Sam salah, Hanan tidak ada bedanya seperti dahulu saat awal-awal harus berpisah dengan Yang Rou We, dia tetap saja lemah jika sudah menyangkut perasaan. Saat Sam membalikkan tubuhnya dia mendengar suara gaduh di belakangnya dan saat menoleh dia mendapati Hanan sudah membuang kotak makan yang beberapa saat lalu Sam meminta dua suapan saja dia tolak mentah-mentah dan kini makanan itu sudah jatu ke lantai yang dingin. Tidak hanya di sini, Sam juga melihat Hanan memukul meja dengan sejuta tenaganya, suara gaduh yang di timbulkan Hanan membuat beberapa perawat datang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tidak hanya berhenti di situ Hanan juga memukul kaca tebal di ruangan itu yang membuat semua orang yang ada di sana mentahan napas karena takut jika kava itu retak dan akan melukai Hanan dan untungnya itu tidak terjadi. Kerumunan itu segera di bubarkan saat mereka melihat ibu Hanan yang bswsnag berjalan ke arah mereka sedang berbincang serius sambil berjalan ke arah mereka. Namun Ibu Hanan tidak sampai melihat keadaan yang kembali buruk hanya karena ada seseorang yang menanyakan matan kekasihnya. Hanan tidak peduli dengan pendapat orang lain pada dirinya, melihat kekacauan yang di sebabkan oleh dirinya, Hanan tidak peduli akan pendapat orang lain, karena di saat Hanan butuh pengertian dan toleransi orang lain, tidak ada satupun orang yang berpihak padanya, dia sendirian tertatih dengan banyak luka di sekujur tubuhnya, mungkin jika terlihat hatinya sudah memiliki banyak lubang dan siap kapan saja hancur jika sesuatu yang kecil menghantamnya. Hanan pulang dengan perasaan tidak karuan, tidak tahu mengapa Hanan tidak memiliki tujuan lain selain pulang, dia berjalan dengan cepat memasuki apartemen, namun saat tangannya akan memegang kenop pintu kamar mereka, Hanan teringat jika ini sudah larut malam dan tentunya Mourent sudah tidur, jadi sebelum membuka pintu itu Hanan menetralisir emosi yang meluap di dalam tubuhnya. Setelah beberapa saat akhirnya Hanan membuka hati-hati pintu kamar itu, dan langsung mendapati Mourent sudah tidur tanpa selimut, Hanan memandangi Mourent yang sudah tidur terlelap, Hanan menghampiri istrinya yang sah di mata agama dan negara namun belum bisa menempati singgasana di dalam hatinya. "Maaf," ucap Hanan, tangannya terulur ingin mengusap puncak kepala Mourent, namun Hanan membatalkannya dan memilih untuk mengambil jalan memutar. Saat ini Hanan sama sekali tidak memiliki keinginan untuk membersihkan dirinya, perasaannya berantakan namun Hanan tidak tahu dia harus marah pada siapa karena situasi ini orang yang paling bisa di salahkan hanya dirinya sendiri. Dia tidak membuka hatinya untuk Mourent meski Mourent sangat baik, menjadi seorang istri idaman, merawat Hanan dengan sangat-sangat baik. Namun Hanan tidak bisa menghianati Yang Rou We untuk berusaha mencoba membuka hati untuk Mourent. Tapi Hanan juga merasa bersalah telah membuat Mourent menunggu begitu lama, karena dia terlalu bodoh masih belum bisa melupakan Yang Rou We yang jelas-jelas sudah tidak bisa di miliki oleh Hanan. Dia tidak bisa memilih Yang Rou We karena nyatanya yang ada di sampingnya saat ini adalah Mourent, Hanan juga tidak bisa mencintai Mourent karena Hanan tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri jika Hanan hanya mencintai Yang Rou We, ketika Hanan ingin berpaling ke Mourent. Hanan selalu teringat bagaimana wanita itu menangis di tengah jalan saat Yang Rou We kabur dari rumah, Hanan tidak akan lupa perjuangan dan pengorbanan macam apa yang sudah di lakukan oleh Yang Rou We untuk hubungan mereka. Apalagi Yang Rou We menghilang saat dia mengandung anak Hanan, Hanan sangat merasa bersalah ketika mengingat semuanya, Hanan yang meninggalkan Yang Rou We tapi di sini bukan hanya Yang Rou We yang menderita karena Hanan juga sangat tersiksa dengan keadaan ini. Hanan membuka gorden besar yang menutupi pemandangan malam dari apartemen mereka. Kaca tinggi dan lebar di kamar mereka tertutupi oleh gorden, Hanan membukanya sedikit untuk akses keluar, ada pintu yang menghubungkan kamar dan balkon, Hanan merancang balkon ini sedemikian rupa agar dia bisa menikmati keindahan malam tanpa ada penghalang sedikitpun. Awalnya ini Hanan desain untuk Yang Rou We namun takdir yang tidak merestui, dan kini Mourent lah yang menjadi penghuni apartemen ini dengan Hanan. Hanan duduk di bangku panjang yang nyaman mengambil sebungkus rokok dari laci yang tersembunyi di balik bangku panjang itu, Hanan sangat bisa di tebak, jika dia sudah lari ke sebatang rokok maka dia dalam situasi yang buruk, dia butuh pelampiasan dan hanya rokok yang menjadi pelariannya, karena rokok tidak akan menyakiti orang lain tapi hanya melukai dirinya sendiri di jangka panjang setelah memberikan kenikmatan sesaat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD