Kembali ke kantor, itu berarti membiarkan Divan menenggelamkan diri dengan semua pekerjaan yang tidak ada habisnya. Hingga jika tidak diingatkan oleh sang sekertaris, Divan akan selalu melupakan makan siangnya sendiri.
Iya, Divan memang dikenal sebagai seorang artis senior, wajahnya masih bisa dilihat diberbagai tayangan televisi meski tidak sesering dulu. Intinya, setelah Divan sudah tidak menjadi artis lagi, pria itu memutukan untuk membuka kantornya sendiri. Sebuah Production House miliknya yang kini mulai dikenal sebagai salah Production House yang mengeluarkan film-film terlaris.
Pintu ruangan Divan diketuk oleh Laras—sekertaris Divan yang sudah bekerja bersama pria itu lebih dari 5 tahun lalu dan mengenal dengan baik mengenai kebiasaan atasannya itu. Dan itu juga alasannya, kenapa Laras mengetuk ruangan Divan siang itu.
“Pak, makan siang.” Ucap Laras, seraya masuk setelah dipersilakan..
“Bapak ingin saya pesankan sesuatu atau makan di luar sendiri?”
“Ah ya, tentu. Ngomong-ngomong kamu sudah periksa email yang saya kirim? Itu mengenai revisi dari budget promosi untuk film yang akan keluar 2 bulan lagi.”
Dari Laras berkerut, wanita itu merasa tidak mendapatkan jawaban seperti apa yang ia harapkan. Dan aih-alih menjawab pertanyaannya dengan benar Laras justru mendapat pertanyaan balik dari pria yang masih sibuk dengan pekerjaannya itu.
“Baik, Pak Divan. Nanti saya lihat ya. Makan siang dulu, Pak. Makan siang dan istrahat dulu. Tadi saya tanya Bapak ingin dipesankan makanan atau Bapak mau makan di luar? Jangan kerja terus, Pak. Ini sudah jamnya makan siang.” Ulang Laras, membuat Divan akhirnya menaikan pandangannya dari laporan-laporan yang sedang ia baca, dan menutup semua map itu sambil tersenyum.
“Baiklah-baiklah. Saya makan. Dan ya, saya akan makan di luar sendiri. Atau kamu mau ikut?”
Laras tersenyum puas, akhirnya bisa bernapas lega karena atasannya itu berkenan menyingkirkan pekerjaannya. “Ah, Bapak telat nih ngajaknya. Saya udah janji sama yang lain makan di mall dekat sini. Atau saya batalin aja biar bisa di teraktir Bapak?” Seru wanita itu antusias.
“Ya sudah, tidak jadi. Kamu makan saja dengan teman-temanmu, saya tidak mau menganggu acara anak muda.”
“Yah, Pak. Saya nggak masalah kok batalin janji saya sama mereka, mereka gampang bisa makan sama saya kapan aja. Tapi ditraktir Bapak kan jarang-jarang.”
“Apa itu? Maksud kamu saya pelit?”
Laras tersenyum, menggeleng dan keduanya sama-sama tahu kalau mereka jelas sedang bercanda. “Selamat istirahat dan makan siang kalau begitu, Pak Divan...” kemudian Laras membungkukkan pamit, undur diri untuk kembali ke mejanya sebelum berkumpul bersama teman-temannya di lobi nanti.
“Eh, Laras. Tapi setelah ini kita tidak punya jadwal meeting dengan—”
Sekertarisnya itu kembali berbalik, memasang raut wajah penuh peringatan pada pria di hadapannya itu.
“A-a-a... baiklah. Baiklah. Saya makan dan kamu juga makan siang. Selamat istirahat Laras, maaf menganggu waktu istirahatmu.” Divan mengibarkan bendera putih, menyerah dengan peringatan yang dilemparkan sekertarisnya itu.
Well, bukan apa-apa. Divan memang sosok yang harus diperlakukan tegas begitu, karena kalau tidak tanpa sadar Divan bisa membuat bawahannya over working tanpa Divan sadari. Dan itu terjadi beberapa kali, ketika Divan baru mendirikan PH miliknya dan Divan harus mengganti beberapa kali sekertaris yang merasa tidak kuat bekerja dengan Divan. Itu kenapa, dengan adanya Laras yang bisa tegas dengannya merupakan hal yang benar-benar membantu Divan saat ini. Tentu saja yang paling penting, Divan tidak ingin mencari dan harus mencocokkan dirinya lagi dengan sekertaris baru yang belum tentu seperti Laras. Pria itu tidak ingin kehilangan sekertarisnya yang kompeten, dewasa di lain sisi juga rasional.
Setelah mempersilakan sang sekertaris untuk beristirahat makan, Divan pun memutuskan untuk pergi, mencari menu makan yang bisa mengganjal perutnya hingga malam nanti. Divan memilih mencari makan di luar kantor, karena menu di cafetaria kantor yang tidak begitu membangkitkan selera terkadang malah membuat Divan tak nafsu makan. Itu kenapa, alasan Divan lebih sering makan di luar.
Divan sudah bersiap di depan kemudi mobil saat pandangannya tercuri pada kertas yang ditemukan Ferrel tadi pagi, yang ternyata masih ada di sana. Pria itu terdiam sejenak memperhatikan kertas itu, dengan benak yang entah berkelana kemana, hingga akhirnya lamunan Divan buyar, pria itu meletakan kertas yang ditemukannya itu kembali di dashboard mobil dan meninggalkan area kantor memacu mobilnya di jalanan Ibukota.
Sampai di salah satu restoran keluarga yang Divan tuju, ternyata sudah banyak orang yang memadati restoran. Semua berasal dari berbagai kalangan. Entah itu keluarga, rekan kerja, teman kumpul, mahasiswa, bahkan anak-anak yang bersama pengasuh mereka juga ada. Wajar saja, karena memang itu jamnya makan siang. Jadi ya...
“Divan!” Seruan itu Divan dengar ketika dirinya baru masuk beberapa langkah ke dalam restoran, membuat Divan langsung mencari asal datangnya suara, dan melangkah menghampirinya.
Teman makan Divan siang itu. Salah satu teman berkarirnya di industri hiburan yang Divan kenal sudah lama, juga partner di beberapa produksi filmya baik yang sudah keluar di pasaran maupun yang akan keluar beberapa waktu ke depan.
“Maaf. Sudah menunggu lama?” Sapa Divan, sambil menarik kursi yang berseberangan dengan yang wanita di hadapannya tempati.
Maya, nama teman lama sekaligus rekan sutradara di balik beberapa film yang mereka liris. Wanita itu tersenyum, menggeleng pelan dan menyodorkan menu makanan yang sudah ada di meja itu menunggu untuk mereka gunakan.
“Baru lima menit lalu. Kamu beruntung karena aku sedang nggak buru-buru hari ini.” Komentar wanita itu. “Langsung pesan saja, aku sudah lapar sekali.” Tambah wanita itu, ketika meminta Divan untuk memilih makanan yang hendak ia pesan.
“Kalau kamu buru-buru, aku jelas nggak akan setuju untuk makan siang dengan kamu. Kamu tahu sendiri aku tidak suka makan diburu-buru, kan?” Timpal Divan, membaca menu di tangannya. Di saat yang sama Maya memanggil pelayan restoran untuk mencatat pesanan mereka.
“Haduh, sok sekali Bapak yang satu ini. Kalau bukan aku yang temenin juga pasti cuma bakal makan sendiri. Kurang-kurangilah yang kayak gitu, jangan nunjukin banget kalau kamu memang sudah mulai tua dan nggak punya teman untuk hanya sekadar makan sama-sama.”
Maya ini, mulutnya memang tajam. Tapi ya yang diucapkannya memang benar juga.
Divan sudah bersiap buka mulut untuk memberikan pembelaan bagi dirinya sendiri ketika meja di dekat mereka, yang mana ditempati oleh anak-anak muda terdengar riuh dengan percakapan di antara mereka-mereka sendiri.
“Hhm... masa-masa muda itu memang menyenangkan, bukan? Bisa tertawa dan bicara selantang itu tanpa memikirkan sekeliling atau beban hidup yang sesungguhnya. Iri, aku benar-benar iri.” Komentar Maya, menatap iri dengan para anak muda yang duduk di seberang mereka.
“Kamu juga sudah melewati masa-masa itu, apa yang perlu membuatmu iri lagi?” Timpal Divan, akhirnya mengalihkan pandangannya dari para pemuda itu.
Maya menatap sinis. “Tentu saja aku iri, kamu tidak ingat bagaimana di seusia mereka kita sudah banting tulang bekerja di dunia hiburan?”
Ah... Benar juga. Mereka memang sudah bekerja sedang usia mereka berada di kisaran usia anak-anak muda yang berkumpul itu. Yang mana jelas baik Maya ataupun Divan mungkin memang jarang memiliki waktu untuk berkumpul dengan teman-teman seusia di tempat yang bebas kecuali lokasi shooting.
“Itu kenapa, saat ini aku berusaha untuk membuat Fiki merasakan seperti apa yang anak-anak itu rasakan. Tanpa merasa perlu memikirkan finansial keluarga.”
Ya, tentu saja Divan tahu bagaimana perjuangan Maya. Terlebih ketika wanita itu harus berjuang membesarkan putranya sendiri.
“Ah, benar. Bagaimana kabar Fiki? Aku sudah lama nggak bertemu dengannya.” Divan mengalihkan pembicaraan di tempat yang tepat, membuat obrolan mereka tidak perlu terlalu kelabu siang itu.
“Dia sibuk. Jangankan kamu, aku saja Ibunya jarang dia temui.”
“Hahaha namanya juga mahasiswa. Fiki pasti sibuk dengan tugas-tugasnya.”
Ah... mahasiswa, dan ingatan Divan kembali pada sosok gadis berkerudung yang ditemuinya kemarin. Kenapa? Kenapa sosok gadis itu tidak benar-benar bisa pergi dari benaknya?