3. Orang Tua Tunggal

1110 Words
Mobil audy hitam Divan memasuki garasi rumah tepat saat jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul 11.07 malam. Divan mematikan mesin mobilnya, bergegas turun lalu menutup pagar rumah yang tadi ia buka sendiri agar mobilnya bisa terparkir di garasi. Langkah lemahnya perlahan memasuki rumah yang sudah sepi dengan keadaan yang gelap gulita. Anak-anak pasti sudah tidur, karena Divan memang mengajarkan kedua anaknya agar tidak banyak begadang apa pun alasannya, hal itu juga berlaku untuk Ferrel yang notabennya sudah berusia 17 tahun, usia yang biasanya banyak dimanfaatkan anak muda untuk nongkrong-nongkrong dengan teman sebayanya, bahkan terkadang tidak ingat waktu hingga pagi menjelang. Hanya saja bagi Ferrel, perceraian kedua orang tua bukan alasan untuknya bertindak arogan seperti itu. Merusak diri sendiri dengan kesenangan-kesenangan sesaat yang bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya. Kabar baiknya, Ferrel memang sedewasa itu menyikapi perceraian kedua orangtuanya yang memang ia yakini untuk kebahagian bersama. Meski tetap, kecewa dan sedih itu tidak terbantahkan karena harus hidup terpisah dengan sang Ibu yang memilih tinggal di luar negeri untuk melanjutkan karir keartisannya. Walau begitu Ferrel selalu mencoba mengerti, bahwa apa yang orangtuanya lalui adalah untuk kebaikan bersama. Selapang itu, pelajaran yang selalu diajarkan Divan pada Ferrel dan Rafa setelah peristiwa menyakitkan yang harus mereka jalani dua tahun lalu. Divan meletakan tas kantornya di atas meja makan, melonggarkan simpul dasi yang sejak pagi seolah mencekiknya dengan berbagai tuntutan pekerjaan. Pria itu beranjak menghampiri lemari pendingin untuk mengambil sebotol air mineral dan kembali membawanya ke meja, duduk di sana sambil menghilangkan dahaganya yang sudah berada pada batas keringnya ternggorokan. Dengan cahaya lampu yang temaram Divan terdiam sejenak, pikirannya kembali melayang mengingat gadis yang tadi ia antar ke stasiun. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jam 11.15 malam. "Apa gadis itu sudah sampai di rumahnya ya?" gumam Divan tanpa sadar. Sedang asik terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba sebuah suara membuatnya melonjak terkejut mendapati seseorang yang berdiri tidak jauh darinya. "Papa udah pulang?" tanya suara itu yang membuat Divan tertegun di tempatnya saat ini. Divan menghela nafas lega, ketika yang dijumpainya ternyata adalah salah satu putra kebanggaannya yang sepertinya terbangun dari tidurnya. "Ferrel... Kamu ngagetin Papa aja." "Gitu aja kaget, biasanya peka banget. Memang lagi mikirin apa sih? Kok kayaknya serius banget sampe kening Papa berkerut gitu?" Langkah pemuda itu terarah pada lemari pendingin, setelahnya melakukan seperti apa yang Divan lakukan beberapa saat lalu. Hingga kini Ferrel duduk di hadapan Divan dengan meja yang memisahkan jarak mereka. "Bukan apa-apa. Kamu kenapa bangun? Mobil Papa berisik ya sampe bangunin kamu?" Ferrel menggeleng, menyelesaikan tegukannya sebelum menjawab pertanyaan Divan yang terlihat menunggu. "Nggak kok, Ferrel bangun karena haus." Divan mengangguk mengerti. "Papa udah makan malam?" Divan tersenyum, harusnya ia yang menanyakan hal itu pada anak-anaknya, tapi terkadang, posisi mereka seolah berbalik, perhatian yang seharusnya Divan tunjukan pada kedua putranya justru ia dapat dari jagoan-jagoannya itu. "Seharusnya Papa yang tanya itu ke kamu, Rel. Kalian tadi makan malem pake apa? Mbak Suci masakin kalian makan malem kan sebelum pulang?" Ferrel mendengus mendengar pertanyaan Divan yang beruntun, namun tak ayal membuatnya tersenyum juga. "Papa kebiasaan banget, pertanyaan Ferrel aja nggak dijawab. Jangan terlalu khawatirin aku sama Rafa, kami baik-baik aja. Papa harus lebih peduli sama kesehatan Papa sendiri." Lagi-lagi Divan dibuat tersenyum mendengar peringatan putra sulungnya itu. Ini benar-benar sebuah pertanda kalau dirinya memang jarang memperhatikan kedua putranya lantaran kesibukan di kantor yang sudah kelewat batas, hingga akhirnya keadaan berbalik, anak-anaklah yang kini lebih mengkhawatirkannya karena jam kerja Divan yang menggila. "Papa baik-baik aja, Boy... Ya udah, kamu tidur lagi sana, besok sekolah kan? Papa juga mau istirahat," Ucap Divan lalu bangkit dari kursi yang di dudukinya, menepuk pundak Ferrel. Ferrel ikut berdiri, setelah mengucapkan selamat malam, pemuda itu kembali ke kamarnya, menyisakan Divan yang masih mengamati punggung putra sulungnya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. *** Seperti pagi-pagi biasanya, Divan selalu menyempatkan diri untuk sarapan dengan kedua putranya sebagai ganti waktu malam yang tidak bisa selalu ia lewati dengan anak-anak. Hanya di pagi hari Divan bisa fokus mendengar keluh-kesah maupun cerita apa saja yang terjadi pada Ferrel dan Rafa seharian kemarin. Itu salah satu cara yang Divan terapkan agar ia masih bisa berperan sebagai orang tua yang baik, di samping kekurangannya yang tidak bisa selalu mendampingi kedua putranya itu. Selesai sarapan, Divan masuk ke dalam mobil audy hitamnya, bersama dengan Ferrel dan Rafa yang memang selalu diantar Divan ke sekolah. Meski Ferrel sudah 17 tahun dan bisa saja mengendarai kendaraan sendiri, tapi Ferrel lebih memilih ikut dengan mobil Divan agar lebih bisa memanfaatkan waktunya bersama Papa dan adiknya, Rafa. Ferrel duduk di samping kemudi, sementara Rafa duduk di belakang. Perhatian Ferrel tercuri pada selembar kertas yang tergeletak di bawah kakinya. Ia raih kertas itu, membacanya sekilas dengan kening berkerut. Saat Divan duduk di sampingnya, Ferrel segera menyerahkan kertas itu pada Papanya, yang dibalas Divan dengan tatapan penuh tanya. "Ini punya Papa?" tanya Ferrel melirik kertas yang masih berada di tangannya itu. Divan mengambil kertas di tangan Ferrel, membacanya sekilas. Tulisan tentang psikologi, yang tentu saja tidak dimengerti Divan sendiri, itu berarti kertas itu bukan milik Divan. Tapi kemudian pikirannya melayang pada gadis yang menumpang mobilnya kemarin malam. "Mungkin punya gadis itu." "Gadis siapa?" "Papa akhirnya punya pacar?!" seru Rafa antusias dari kursi belakang, tubuhnya sudah ia condongkan ke depan demi bisa melihat wajah Papanya langsung. Lamunan Divan pecah dan beralih menatap kedua putranya bergantian, lalu fokus pada Rafa yang masih menyunggingkan senyum merekahnya, tampak bahagia sekali mendengar kabar yang belum tantu benar itu. "No, Rafa. Mungkin ini punya gadis yang kemarin Papa tolong." Jawab Divan santai, memudarkan senyum Rafa yang lesu dan kembali pada posisinya semula. "Papa nolong cewek? Memang tuh cewek kenapa? Sampe Papa harus tolong segala." Divan kembali tersenyum, menyalakan mesin mobil dan mulai meninggalkan kawasan rumah mereka menuju jalan raya. "Dia nyasar, dan kemarin itu udah malem banget. Papa jadi khawatir dan inget kalian, makannya Papa tolong," terang Divan yang langsung disambut Ferrel dengan helaan nafas lega. "Dan kayaknya itu salah satu kertas tugasnya ya?" Pria paruh baya itu menoleh singkat pada Ferrel yang kembali bersuara, melirik kertas yang telah ia taruh di atas dashboard sekilas, lalu kembali fokus pada kemudi. "Harus Papa balikin nggak?" "Ngapain? Dia juga pasti punya copy-annya. Sekarang kan udah jaman modern, Pa, masa buat tugas aja dia nggak punya salinan. Nggak mungkin dong, ceroboh parah itu namanya." "Hhhm... Gitu ya?" suara Divan datar, tapi kemudian mengangguk setuju. Setelahnya pria itu mencoba untuk tidak memikirkan lagi mengenai gadis itu, meski beberapa jam setelahnya, entahlah. Tidak ada yang tahu. Well, Divan tidak pernah tahu ceritanya yang tidak pernah terduga justru akan terjadi dari hal-hal semacam ini. Dari hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, pun karena orang yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD