2. Waspada itu Perlu

1125 Words
"Saya nggak berniat jahat sama kamu, saya cuma inget anak saya aja di rumah. Yah meski saya nggak punya anak perempuan sih. Tapi dalam posisi sebagai orang tua di sini, saya juga pasti khawatir kalau anak saya belum pulang jam segini, apalagi—" "Bukan gitu, Pak. saya nggak bermaksud mencurigai Bapak begitu..." Gadis itu meringis merasa bersalah, meski benaknya memang sempat berpikiran yang tidak-tidak, tapi melihat kekhawatiran yang terpancar di sepasang mata pria di hadapannya, membuat gadis itu tidak enak hati karena sikapnya mungkin menyinggung pria di hadapannya itu. "Ya sudah kalau kamu masih ragu, biar saya yang pesankan taksi dan saya temani kamu sampai taksi pesanannya datang. Nanti setelah itu saya akan ikuti taksi-nya dari belakang, biar saya bisa pastikan kamu sampai di rumah baik-baik aja," putus Divan akhirnya, pria itu meraih ponsel di saku celana, membuat gadis itu lagi-lagi terkejut dengan tindakan Divan yang terencana dalam waktu singkat. "A-anu, Pak. nggak usah. Nanti malah merepotkan Bapak. Biar saya sendiri aja yang pesan.” "Saya cuma mau pastikan kamu selamat sampai rumah, ini sudah benar-benar malam." Tambah Divan keras, pria itu terlihat tidak ingin konpromi dengan apa yang sudah diputuskannya. Ponsel Divan sudah ia tempelkan ke telinga, seperti sedang menunggu siapa pun di seberang sana menjawab panggilannya. "Ya, Halo? Taksiku? Iya saya—" Belum sempat Divan menyelesaikan pembicaraannya dengan agen taksi yang ia hubungi, gadis di hadapannya itu menarik lengan Divan yang menyangga ponsel di telinga, menyingkirkan ponsel itu jauh-jauh dari telinga Divan. Gadis itu menatap Divan takut-takut, menelan saliva-nya susah payah sebelum berujar, "Kalau gitu saya ikut Bapak aja." Divan sempat terdiam mendengar ketersedian gadis itu. "Kamu yakin? Nggak curiga sama saya?" Tanya Divan hanya ingin memastikan sekali lagi, bahwa memang tidak ada paksaan di sini. Yah, meski sikap Divan memang agak memaksa, tapi keputusan semua tetap ada di tangan gadis itu. Gadis itu mendengus, memutar bola matanya malas. Hal yang tidak dilihat Divan sejak bertemu gadis itu beberapa menit lalu. Sebab sebelumnya, gadis berkerudung coklat itu lebih banyak menunduk dan berkata secukupnya, tapi karena pertanyaan Divan barusan sepertinya gadis itu mulai menampakan sifat asli layaknya gadis seusianya. "Tadi Bapak sendiri yang bilang kalau Bapak nggak berniat jahat sama saya, sampai bela-belain mau ngikutin taksi dari belakang biar saya sampai dengan selamat di rumah. Jadi sekarang saya harus percaya atau nggak nih sama Bapak?" Hal itu justru memancing senyum Divan terukir tipis, melihat wajah gadis itu yang merengut lucu bercampur manja. Apa seperti ini rasanya memiliki anak perempuan? Pikir Divan dalam hati. Kedua putranya memang terbilang mandiri dan tidak pernah bermanja pada Divan, hingga Divan tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua tempat bermanja-manja bagi anak-anaknya. Dan melihat sikap gadis di hadapannya saat ini, sedikit membuat Divan ingin merasakan perasaan asing itu, dan menikmati perasaan aneh yang sempat membuatnya tersenyum tadi. "Ya sudah, ayo saya antar. Saya janji nggak akan berbuat macam-macam sama kamu.” Tutur Divan mantap, meyakinkan gadis yang masih terlihat sangat ragu mengikuti langkahnya menuju mobil audy hitam yang pria itu tinggalkan. Divan membukakan pintu penumpang di samping kemudi dan mempersilakan gadis itu menaiki mobilnya. Meski Divan masih melihat sikap defensif gadis itu dengan menjaga jarak darinya. Tak apa, yang penting Divan bisa tenang mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat untuk saat ini. Di sepanjang perjalanan tak banyak kata keluar dari bibir keduanya yang lebih memilih bungkam. Hanya beberapa kali Divan yang bertanya pada gadis itu, tentang alamat rumah gadis itu dan alasan mengapa gadis di sampingnya itu bisa berada di tempat sepi seperti tadi. Dan apa yang Divan dapat? Tentu saja alasan yang amat sangat ceroboh di mata Divan. Setelah mendengar gadis di sampingnya bercerita bahwa ia salah naik angkutan hingga harus terdampar di tempat tadi, apalagi kalau bukan ceroboh? Terlebih ini malam hari dan sangat membahayakan, terutama bagi seorang perempuan. Divan sungguh tidak habis pikir, bagaimana gadis di sampingnya bisa bertindak seceroboh itu. Coba saja kalau tadi tidak ada dirinya, tidak ada angkutan dan gadis itu berdiri di sana hingga entah kapan.  Ya, Tuhan. Bahkan Divan tidak ingin membayangkan kejadian macam apa yang akan menimpa gadis itu nantinya, yang ada hanya bayangan-bayangan mengerikan terlintas dibenaknya. Tentang kejadian-kejadian yang sudah sering dan banyak disiarkan media massa saat ini. Tentang p*******n, tentang pembunuhan, mutilasi... Tidak. Bahkan Divan merinding hanya dengan memikirkannya. Itu kenapa Divan cepat-cepat menggeleng, berusaha mengeyahkan pikiran-pikiran negatif itu dari kepalanya. Mobil Divan menepi di sebuah jalan yang disebutkan gadis itu. Divan mengamati penampakan yang ada di luar sana, baru menyadari bahwa tempat yang gadis itu maksud adalah sebuah stasiun. "Rumah kamu di stasiun?" tanya Divan heran, membuat gadis di sampingnya tertawa kecil Gadis itu menggeleng, menatap Divan yang terlihat heran menatapnya. "Bukan, Pak. Rumah saya masih jauh, di Bogor. Saya naik kereta kalau pulang, jadi ya cukup sampai di sini, saya udah aman kok." Kata gadis itu tenang. Tatapan Divan tajam mengarah pada gadis itu, tapi sepertinya sang gadis tidak begitu mengerti arti dari tatapan pria di sampingnya. "Saya tadi bilang sama kamu akan antar kamu sampai rumah. Jadi cepat sebutkan alamat rumah kamu dan jangan seperti ini." Suara Divan tegas, tak ingin di bantah. Divan tidak puas jika hanya mengantar setengah-setengah seperti ini, hatinya belum tenang sebelum melihat gadis itu hingga sampai di depan rumahnya dengan selamat. "Jangan. Saya benar-benar ngerepotin Bapak kalau seperti itu. Seperti yang Bapak bilang ini udah malam, kalau Bapak anterin saya sampe rumah, jam berapa Bapak pulang dan sampai di rumah Bapak nanti? Sampai di sini aja saya udah aman kok, sungguh. Banyak loh yang naik kereta di jam segini, saya udah biasa, dan sampai di stasiun Bogor nanti saya juga udah dijemput adik saya, jadi Bapak nggak usah khawatir. Saya pasti sampai rumah dengan selamat... Insya Allah." Jelas gadis itu panjang lebar, tidak lupa disertai seulas senyum. Senyum yang lagi-lagi membuat Divan tidak bisa berkutik dibuatnya. "Kalau gitu saya pergi Ya, Pak. Terima kasih tumpangannya dan sudah nepatin janji nggak berbuat macem-macem sama saya. Maaf tadi sempat berburuk sangka sama Bapak. Sekali lagi terima kasih banyak.” Divan tersenyum, “Nggak masalah, wajar kok. Waspada itu perlu. Apalagi kamu perempuan, jadi jangan dipikirin soal yang tadi. Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.” Bukannya lega, gadis itu meringis, tetap merasa bersalah. “Sebenernya tadi saya juga udah ketakutan nggak bisa pulang. Terima kasih dan maaf. Saya pergi ya. Assalamualaikum." Pamit gadis itu beranjak setelah membuka pintu mobil Divan dan menutupnya lagi dari luar tak lama. Tanpa bisa Divan cegah kepergiannya. Divan akhirnya menghela nafas, menyaksikan kepergian gadis itu dari balik kemudi, hingga punggung gadis itu hilang menuruni tangga saat memasuki area stasiun yang letaknya lebih rendah dari jalan raya tempat mobil Divan berada saat ini. Semoga benar kata kamu, kamu bisa sampai sampai rumah dengan selamat. Batin Divan untuk yang terakhir kali, sebelum melajukan mobilnya pergi dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD