1

1880 Words
Hari ini tidak seperti hari biasanya. Di sekolah ramai dengan desas-desus bahwa akan ada anak baru. Hampir semua murid SMA Bangsa dihebohkan oleh berita itu, terlebih kaum wanita. Ketika tau bahwa anak baru itu berparas rupawan dan blasteran Kanada-Indonesia. Yang patut diherankan, Naysilla tidak tertarik sama sekali dan bahkan tidak peduli dengan anak baru itu. Bagaimana rupanya, dari manapun asalnya, dia tidak menggubris sedikit pun. Bel masuk berbunyi. Namun belum ada tanda ataupun aba-aba dari Angga. Angga. Murid culun, tampilannya seperti remaja di era tahun 80-an. Rambutnya berkilau model belah pinggir, tersisir rapih, alias klimis. Kulitnya sawo matang, memakai kacamata bulat besar, seperti kacamata Harry Potter. Walau begitu, dia cukup manis. Karena lokasi duduknya yang strategis, di pojok depan, dekat dengan pintu, dia dapat melihat siapa saja yang berlalu lalang di depan kelas, maka dari itu dia selalu memberi tau teman-teman sekelasnya jika ada guru yang sedang berjalan menuju kelas. "Nay, Nay, udah denger gosip tentang anak baru belum?" tanya Tera antusias setelah menepuk bahu Naysilla berkali-kali. "Udah, kenapa?" Naysilla yang masih memfokuskan matanya pada novel di tangannya hanya menimpali santai. "Cogan Nay, Cogan!!!" ucap Tera dengan sorot mata yang berbinar-binar. Naysilla menghentikan aktivitas bacanya, kemudian menghadapkan tubuhnya pada Sera. "Ya terus?" Raut wajah Tera seketika berubah menjadi bete. Naysilla kembali melanjutkan bacaannya, tanpa memperdulikan kebetean Sera. "Woii ada Ms. Jen!!!" teriak Angga memberi kode saat ia melihat Ms. Jenni berjalan jarak beberapa meter dari pintu kelas. Ketika kelas sedang gaduh segaduh-gaduhnya, mendengar teriakan Angga, semua berhamburan menuju kursi masing-masing. Suasana hening seketika. Semua langsung mengambil buku untuk melakukan aksi kepura-puraan. Ada yang berpura-pura belajar, ada pula yang berpura-pura membaca. Sehingga semua terlihat baik-baik saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Semua mata terbelalak ketika Ms. Jen memasuki kelas tidak sendiri. Melainkan bersama dengan seorang siswa yang belum pernah kulihat di SMA Bangsa. Dia bertubuh tinggi, kulitnya putih, hidungnya mancung, dan alisnya tebal seperti ulat bulu. Tidak bisa dipungkiri lagi ketampanannya, semua yang dikatakan Tera memang benar. "Selamat pagi anak-anak," sapa Ms. Jenni yang biasa dipanggil Ms. Jen "Pagi Mis," sahut mereka serentak. "Anak-anak hari ini kalian kedatangan siswa baru, Mis harap kalian bisa bantu dia beradaptasi dengan sekolah kita ya," "Siapa namanya Mis? Emang blasteran Kanada ya? Asiikk bisa kaliii." celetuk Tera sambil mengerlingkan matanya ke anak baru itu. "Sera jangan genit-genit dong, kan ada akang Olga disini." Tera menatap sinis ke arah Olga, tapi Olga membalasnya dengan kedipan. Olga, laki-laki yang selalu mengejar cintanya Tera, berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Sera. Hampir setiap hari kerjaannya hanya tidur di kelas. Padahal Kepala Sekolah sudah memasang CCTV pada setiap kelas, namun ada saja cara agar ia tidak ketahuan tidur di kelas. Dia balut kamera CCTV itu dengan kantong plastik hitam, lalu di ikat agar tidak lepas. Bukan Olga namanya kalau tidak ada akal hanya untuk mengatasi hal sekecil ini. "Sabar bro... sabar!" seru Ardi dan Nolan dengan nada meledek, seraya mengusap bahu Olga. Olga, Ardi, dan Nolan, mereka si pembuat onar di kelas maupun di sekolah. Kalau Olga tukang tidur, Ardi tukang telat, sedangkan Nolan murid paling jahil di SMA Bangsa. Mereka bertiga hobby sekali keluar masuk ruang BK. Kebanyakan murid akan menangis setelah keluar dari ruang BK, tapi mereka malah senyum-senyum bahagia, karena di ruang itu mereka bisa ngobrol dengan jarak sangat dekat dengan bu Sofie. Bu Sofie merupakan guru tercantik dan termuda di SMA Bangsa, karena tubuhnya yang mungil, walau usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti sepuluh tahun lebih muda. Setiap mengajar di kelas X lima, tiga kunyuk itu tak henti untuk menggodanya. "Hai kenalin nama gue Adam Clomarson, panggil aja Adam. Semoga kalian bisa terima gue disini ya," ucap anak baru itu. "Baiklah Adam kamu boleh duduk sekarang," pinta Ms. Jen. Adam hanya menganggukan kepala, lalu ia segera mencari tempat duduk. Tak ada kursi kosong lagi selain kursi di samping Angga. Layaknya kursi panas, karena lokasinya strategis untuk pengawasan guru, baik dari dalam kelas maupun luar kelas. Makanya dari hari pertama masuk sekolah sampai saat ini, Angga duduk sendiri, baru Adam saja yang duduk di kursi itu. *** "Ga hari ini ada jamkos nggak?" tanya Nolan ketika jam istirahat, dengan posisi duduk di meja, dan kedua kakinya naik ke kursi, dengan kerah baju yang dinaikkan, persis seperti seorang jagoan. "Enggak ada kayaknya, tadi gue liat di ruang guru semua guru masuk," "Hm, gitu. Yaudah nanti kalau ada Bu Danti, bilang aja gue, Olga, sama Ardi lagi fotokopi," Seperti biasa, jika tidak ada jamkos tiga kunyuk itu pasti bolos jam pelajaran. Angga memang pengecut, jadi dia hanya mengangguk pasrah. Tanpa sadar ada sepasang mata yang menatap Nolan penuh dengan kebencian. Geram mendengar obrolan Nolan dengan Angga, apalagi gayanya si Nolan yang sok jagoan itu. Yap, sepasang mata bulat itu milik Naysilla. Tapi Naysilla memilih untuk meredam emosinya. Karena dia punya cara sendiri untuk membuat demit-demit itu jera. Naysilla memang benci dengan segala hal yang ada di diri Nolan. Selain keisengannya yang tidak bisa ditolerir, Nolan juga suka membuat emosinya naik. Jika dipertemukan, mereka berdua selalu bertengkar bak anjing dan kucing. Bahkan permusuhan merekapun sudah jadi rahasia umum di SMA Bangsa. Kriingg Bel masuk berdering. Semua siswa satu-persatu mulai memasuki ruang kelas. Setelah sepuluh menit mengajar, Bu Danti merasa ada yang janggal dengan kelas ku yang terasa damai dan tentram, tanpa adanya keributan yang dilakukan tiga kunyuk seperti biasa. Bu Danti langsung memakai kacamatanya karena dia rabun jauh, kemudian langsung melihat ke kursi pojok bagian belakang. "Ada yang tau Olga, Ardi, sama Nolan kemana?" tanyanya. Semua menggeleng. "Ehm... me... me... reka bertiga lagi--" sulit dipercaya, Angga benar-benar ingin mengatakan apa yang di perintahkan oleh Nolan tadi. Belum selesai Angga bicara, Naysilla segera memotong dan membuka mulut. "Mereka bolos bu!" Bu Danti hanya menarik nafas berat lalu melanjutkan pelajaran sampai selesai. "Oh iya, tolong nanti kasih tau ke Nolan, Olga, dan Ardi, mereka suruh menghadap saya di ruang guru." pesan Bu Danti sebelum meninggalkan kelas ***   Baru saja Angga sampai di depan kelas, Olga, Nolan, dan Ardi langsung menghadangnya dengan tatapan dendam. Tatapan mereka membuat Angga terpaku dan ketakutan. "Heh culun! Lo ngapain ngadu-ngadu ke bu Danti kalau kita bolos kemarin?!" hardik Ardi sambil menggebrak pintu. "Bu... bu...kan gue yang--" Angga terlihat gemetar dan sangat ketakutan. Olga menyela omongan Angga. "Apa bukan gue, bukan gue?! Nggak usah ngeles lo! ngaku aja!" "Tau! lo nggak inget kemarin gue ngomong apa sama lo?! kalau Bu Danti nanyain kita, bilang lagi fotokopi!" Nolan langsung menyambar. "Tapi beneran gue nggak ngomong apa-apa ke bu Danti," Angga mengelak. "Emang bukan Angga yang ngaduin lo! Tapi gue!" Setelah mengumpulkan keberanian yang ekstra, akhirnya Naysilla langsung menghampiri Nolan, memasang tatapan tajam, sambil berkacak pinggang. Tubuhnya yang tinggi membuat cewek mungil itu sedikit mendongak. "Oh elo yang ngaduin?" tanyanya sambil tersenyum jahil. "Nggak usah sok manis lo! Pake sanyum-senyum segala!" Naysilla kaget tiba-tiba Nolan menarik ikat rambutnya, kemudian dibawa lari. Seketika rambut panjangnya tergerai, dan hal itu membuat dia tidak percaya diri. Karena setiap hari dia selalu menguncir rambutnya yang berwarna cokelat asli. Bukan karena diwarnai atau sering berjemur di bawah terik matahari. "Eh kunyuk! balikin kunciran gue!" kontan Naysilla langsung mengejarnya. Bodohnya Nolan malah berlari ke pojokan, ketika ingin balik arah Naysilla segera menghadangnya. "Mau lari kemana lo?!" todong Naysilla seraya mendorong Nolan ke sudut, agar tidak bisa berlari lagi. Walaupun memiliki karakter wajah yang lugu dan menggemaskan, Naysilla selalu memiliki keberanian yang cukup untuk melawan Nolan. Karena dia yakin kalau Nolan tidak akan mungkin berlaku kasar padanya. "Aduh, aduh, Nay ampun Nay." ia jadikan tangannya sebagai prisai, untuk menahan pukulan Naysilla yang tidak terlalu keras, sambil cekikikan. Sebenarnya, bisa saja Nolan melawan Naysilla, namun selalu ada prinsip dalam hidupnya 'lebih baik menangis karena perempuan, daripada membuat nangis perempuan'. Dan prinsip itu tidak pernah lepas dari hidupnya. "Balikin kunciran gue!" "Iya, iya nih gue balikin." ia menyerahkan sebuah ikat rambut berwarna biru laut. Dengan secepat kilat, Naysilla mengambilnya, belum sempat untuk mengikatkan kembali, segera dia kembali ke kelas. Karena bel sudah berbunyi beberapa menit lalu. Sebelum masuk, Naysilla mengintip ke dalam kelas terlebih dulu. Syukurlah belum ada guru. Sesaat dia melihat anak baru itu sedang menggambar, entah apa yang digambarnya, seperti doodle art, sudahlah tidak penting. Gadis itu menatapnya dengan tatapan kagum, tak ada alasan kenapa pandangannya terpaku pada Adam, bola matanya hanya ingin mengarah pada Adam, dan bahkan untuk berkedip-pun ada keraguan dalam dirinya. Tanpa diduga tiba-tiba Adam mengangkat kepalanya, matanya yang sendu kembali membalas tatapan Naysilla. Seketika mata mereka beradu dalam beberapa detik, dan tatapannya berhasil meluluhkan Naysilla. Seperti lirik lagu Justin Bieber, Am I in love with you? or am I in love with the feeling? Pikirannya kembali pada dunia nyata, setelah ia melayang terbang hanya karena sebuah tatapan. Tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung masuk ke dalam kelas. Tak lama Pak Raden masuk, untuk mengajar pelajaran Seni Budaya. Kelas sudah mulai sepi, karena sejak lima menit lalu bel pulang berbunyi. Tinggal tersisa tiga orang di dalamnya. Yaitu Naysilla, Adam, dan Ardi yang tengah bersiap untuk pulang. Sebelum keluar kelas, Ardi menghentikan langkahnya tepat di depan meja Adam yang masih berserakan buku-buku. "Mar, nanti malem ikut kita yuk!" ajak Ardi. "Kemana?" tanyanya singkat. "Nongkrong aja bareng kakak kelas, ada Olga sama Nolan juga kok." "Boleh, jam berapa Lang?" "Jam 7 ya. Gue tunggu di Cafe Cappucino." Cafe Capucino memang satu-satunya Cafe yang paling ramai di kunjungi muda-mudi. Cafe itu juga sangat dikenal, siapa yang tidak tau Cafe itu. Cafe dengan nuansanya yang color full, cozy, cocok buat tempat nongkrong. Harga makanannya juga sangat disesuaikan dengan kantong pelajar, dan lokasinya juga strategis. "Okay!" Adam mengacungkan ibu jarinya. "Yaudah gue cabut duluan ya, cewek gue udah nunggu di parkiran." "Gih sana, hati-hati lo!" Karena sekarang hari selasa, tapatnya jadwal Naysilla piket. Jadi saat ini dia masih menyapu kelas, dan akan pulang jam 3-an. Tera dan Collen sudah pulang dari sepuluh menit lalu. Hanya Naysilla dan Adam di kelas. "Lo belum balik?" tanya Adam sambil menyangkutkan ranselnya di pundak kanannya. "Belum, hari ini gue piket," jawab Naysilla seadanya. "Oh, kok piket sendiri? Yang lain mana?" "Emang biasanya gini, yang piket ceweknya doang. Sebenernya sih sama Rini, sama Tania juga. Tapi mereka piketnya tadi pagi. Soalnya sekarang pada ada urusan katanya," "Oh gitu toh, mau gue temenin nggak?" "Hah? ng... nggak usah. Gue sendiri aja," Tawaran itu memang sukses membuatnya agak tersentak, ditambah dengan senyumnya yang menggoda. Naysilla hanya tersenyum tipis dan berusaha untuk mengatur nafasnya. Diatidak mengerti kenapa detak jantungnya tiba-tiba tidak beraturan. Gelagatnya persis seperti seseorang yang sedang salah tingkah. Hal itu membuatnya bingung karena dia belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Yaudahlah, mungkin reaksi alam kali ya. "Hmm yaudah," ucap Adam sambil manggut-manggut. "gue balik ya. Awas takutnya di belakang ada..." ledek Adam sambil terkekeh. Entah apa maksud Adam berkata seperti itu, yang jelas Naysilla jadi agak paranoid sekarang. Tak henti memperhatikan setiap sudut ruang kelas selama piket. Huft, akhirnya selesai juga. Merasa tugasnya sudah selesai, Naysilla mengambil ransel pinknya, lalu tidak lupa untuk mengunci pintu kelas. Dan sekarang dia harus menyerahkan kunci ini ke Mas Karmin. Yap, dia penjaga sekolah sejak lima belas tahun lalu. Hampir semua rambutnya sudah memutih, dengan kumis, dan jenggot di wajahnya. Tidak terlalu kurus, namun usianya sudah 58 tahun. "Nay, Naysilla!" Ketika Naysilla sedang berjalan di lorong sekolah, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari arah belakang. Naysilla menoleh, menyipitkan kedua matanya, memastikan siapa yang baru saja meneriaki namanya. "Ya?" Ternyata Virgo Dirgantara, ketos SMA Bangsa yang sudah menjabat selama 2 tahun. "Nay gue minta nomer lo dong," ucap Virgo dengan nafas sedikit tersengal. "Nomor hape?" tanyanya polos. "Bukan, nomor rekening listrik. Yaiyalah nomer hape Naysillaa," bukan cuma Virgo, tapi hampir setiap orang yang berbicara dengan Naysilla pasti geregetan. Karena kelemotan akutnya itu. "Oh, aku kira beneran nomor rekening listrik, aku nggak hafal soalnya, hehe," jawabnya semakin ngaco. "Duh Naysilla, udah 2016 nih, masih aja lemot. Yaudah tulis nomor lo disini." Virgo menyodorkan ponselnya. "Nih kak, aku duluan yaa. Takut ketinggalan angkot." Setelah mengetik nomornya, Naysilla kembalikan ponsel itu pada si pemilik. "Iya thanks ya Nay. Take care, girl!" Virgo melambaikan tangan ke arah Naysilla.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD