Part 2

1658 Words
Maita terjatuh, ke dalam pelukan lelaki yang menarik lengannya. Usaha gadis itu saat hendak mengakhiri hidupnya ‘pun gagal. “Apa kamu sudah gila? Permasalahan apa yang kamu hadapi sehingga kamu tidak menghargai nyawa yang diberikan oleh Tuhan kepadamu, hah ...?” Perkataan lelaki itu membuat tubuh Maita luruh, kakinya mendadak lemas seperti jelly. Maita terduduk dadanya terasa nyeri ketika mendengar perkataan lelaki itu. “Apa peduli anda?” Jerit Maita dengan penuh emosi. “Ya ... karena sesama manusia ‘kan harus saling tolong menolong,” ungkap lelaki itu dengan santai. ‘Tolong menolong? Orang tuaku saja bahkan sudah tak sudi mempedulikanku.’ Pikir Maita. Gadis itu hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan lelaki asing itu. “Kalau begitu tolong culik aku lalu bunuh aku!” Maita menatap lelaki yang mengenakan celana jeans berwarna biru yang robek di bagian lutut, dengan kaos berwarna putih polos itu dengan tatapan kosongnya. “Lalu buang mayatku ke palung lautan!” pungkas Maita. “Hei ... apakah aku terlihat sejahat itu, Nona?” Ujar sang lelaki. Maita kembali tertunduk. Air mata yang dia bendung sedari tadi, tumpah membasahi seluruh pipi mulusnya. Maita semakin merasa malu berhadapan dengan lelaki itu. Kesadaran gadis itu berangsur menghilang, maita terjatuh di hadapan lelaki asing tersebut. Melihat gadis yang berada di hadapannya tak berdaya, lelaki itu bingung. Tak mungkin dirinya membawanya ke rumah sakit, karna memang itu terlalu jauh menurutnya. Kemudian dia mengangkatnya lalu memutuskan membawa pulang ke rumahnya. Karena jarak rumahnya hanya sekitar lima menit dari tempatnya saat ini berada. *** Setelah 2 jam lebih, akhirnya Maita mulai tersadar. Maita segera beranjak dari tempat yang terlihat asing baginya. Namun, saat hendak duduk, lelaki itu melarangnya. “Istirahat saja!” Tutur lelaki itu. Dia memberikan secangkir teh hangat kepada Maita lalu membantunya untuk meminumnya perlahan. Tak ingin banyak berdebat dan membuang banyak tenaga, Maita memilih untuk tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh lelaki asing itu. “Jangan menatapku seolah-olah aku ini seorang kriminal!” Ujar lelaki itu dengan ramah. “Seharusnya anda tidak menolong saya,” kata Maita dengan sedikit penekanan, sembari menunduk lesu. “Bukankah ... seharusnya kamu berterimakasih, Nona?” Jawab lelaki itu sambil mencecap segelas kopi hitam hangat miliknya dengan santai, sembari mengamati Maita dengan seksama “Berterimakasih! Untuk apa? Hidupku sudah tidak ada artinya lagi, Tuan,” balas Maita, setetes butiran bening tiba-tiba lolos membasahi pipinya, lalu dia dengan segera mengelapnya dan memalingkan wajahnya ke samping. Agar lelaki itu tak melihatnya menangis. “Apa ... kamu tak akan memberikan kesempatan, pada anak itu! Untuk melihat ibunya? Apakah kamu juga tak ingin memberikan kesempatan kepadanya untuk menghirup udara segar, lalu menikmati keindahan dunia ini hem ...? Sekejam itukah hatimu hingga tak mau memberikan kesempatan kepada bayi yang sama sekali tidak berdosa itu?” Tegas lelaki itu, ia bahkan tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Maita. Wajahnya kini berubah menjadi serius ketika mengatakan kalimat itu. Deg “Da ... dari mana anda tahu?” Heran Maita, ketika mendengar ucapan pria itu. Maita langsung menatapnya dengan penuh tanya. “Hei ... jangan berpikir negatif Nona, aku seorang dokter dan aku tahu jika kamu sedang hamil!” Lelaki itu menyandarkan punggungnya di kursi, sembari berkata. “Hah ... apakah tampangku lebih cocok menjadi seorang kriminal ketimbang menjadi seorang dokter?” Ujar lelaki itu lagi, kemudian dia meletakkan gelas kopinya, lalu mengusap wajahnya dengan gusar. Maita kemudian mengamati lelaki itu dengan seksama dari atas hingga ke bawah. Tidak ada yang aneh menurut Maita. Melihat tingkah lelaki itu, Maita nampak sedikit tersenyum geli. “Jika ingin tertawa jangan ditahan-tahan Nona! Oh iya ... kita belum berkenalan. Maaf atas sikapku yang telah banyak ikut campur dengan urusanmu, seharusnya aku tak menghalangi niatmu tadi.” Lelaki itu tersenyum lalu menunduk, kemudian menghadap kepada Maita lagi. “Perkenalkan aku Omar Malik Daniel!” Omar mengulurkan tangannya. Maita menyambut uluran tangan Omar, "Saya Maita Carolina K- ah ... hanya Maita Carolina saja.” Maita tersadar, bahwa memakai embel-embel nama keluarganya saat ini tidak akan ada gunanya. Mengingat ayahnya yang telah mengusirnya. Maka dari itu lebih baik hanya menggunakan nama depannya saja. “Baiklah Mai ... ita, begitukah aku harus memanggilmu? Atau Carrol saja,” Omar nampak menggaruk-garuk lehernya sembari sedikit berpikir. “Terserah anda saja, tuan Omar,” sahut Maita sembari menunduk. Maita masih tak habis pikir, haruskah dirinya bersyukur atau menyesal karna masih berada di dunia ini. Sementara itu, melihat senyum cantik Maita, Omar mulai menyadari bahwa gadis yang berada di hadapannya saat ini sangat menakjubkan. Ada keunikan yang dia lihat dari gadis di hadapannya itu. Itulah mengapa dirinya ingin menolong gadis yang berada dihadapannya. “Baiklah Carol, em ... sedikit aneh ya? Tapi itu panggilan yang unik. Kemana tujuanmu saat ini, apakah aku bisa membantumu? Dan berapa usiamu sekarang?” Tanya Omar. Maita akhirnya menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan dirinya juga tak memiliki tempat dan juga tujuan saat ini. “Maaf, seharusnya saya tak menceritakan masalah pribadi saya kepada anda, saya juga minta maaf atas sikap saya yang tadi,” ungkap Maita. “Santai Carol, aku senang kamu mau membagi kisah dan beban hidupmu kepadaku, mari kita cari jalan keluarnya bersama-sama,” ajak Omar. “Sepertinya anda tidak perlu repot-repot tuan, dan saya rasa anda juga memiliki kehidupan, bukan?” ungkap Maita. Mendengar Penuturan Maita, Omar-pun merasa iba. Dia sedikit berpikir, cara apa yang bisa dia gunakan untuk menolongnya. Di Indonesia pasti akan sangat sulit untuk tinggal bersama ditambah tanpa ada ikatan pernikahan. Tak mungkin juga dirinya menikahi gadis itu. Ya karena di dalam benak Omar saat ini hanya ada kerja dan bersenang-senang saja. Setelah berpikir sedikit keras Omar menemukan cara. “Begini saja, apakah kamu mau ikut denganku, tinggal di luar negri? Kita akan memulai hidup baru dan juga kamu bisa melanjutkan kuliah dan bekerja di sana.” “Tinggal bersama? Bukankah ... Itu terlalu berlebihan tuan. Saya rasa tidak perlu tuan!” Tolak Maita, sembari menunduk. Ia tak berani menatap Omar kali ini. “Ayolah ... aku hanya ingin membantumu. Kebetulan aku ada tawaran kerja di negara lain, dan yah ... aku bisa membawamu, dan aku akan membiayaimu sampai kamu lulus kuliah, di luar negri sepertinya banyak pasangan yang tinggal bersama dan itu tidak masalah, bukan? Eh ... tunggu, jangan berpikiran Negatif dulu. Ya maksudnya begini. Kalo Kita tinggal di Indonesia dan kita tidak memiliki hubungan terus tinggal bersama aku rasa kamu tau lah ‘kan. Tenang saja aku juga tak tertarik untuk menikahimu,” Kelakar Omar. Maita masih bergeming tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu, sepertinya otaknya saat ini sedang berpikir keras, menurutnya perkataan Omar ada benarnya. “Begini saja ... jika kamu keberatan. Kamu bisa mengganti biayanya kalau kamu sudah bekerja kelak. Ingat Carol, ada bayi yang harus kamu rawat dan besarkan. Kamu harus membuktikan jika kamu bisa dan mampu membesarkan anak itu tanpa bantuan orang-orang yang telah membuangmu!” Ujar Omar. Lelaki itu nampak diam dan membiarkan Maita berpikir untuk sejenak. Maita Hanya diam dan terlihat nampak berpikir, tentang langkah apa yang harus dia tempuh selanjutnya. Haruskah dirinya mempercayai orang yang bahkan dirinya baru pertama bertemu. Namun, kenapa semua perkataan lelaki ini bisa menghipnotisnya dan tanpa disadari dirinyapun mengiyakan perkataan Omar. “Baiklah, saya setuju dengan penawaran anda. Saja janji akan membalas semua kebaikan anda suatu saat nanti,” ujar Maita. “Oke, aku akan mengurus semua keperluan kita, mungkin satu minggu lagi kita akan berangkat,” pungkas Omar. “Em ... Sebelumnya saya ...,” Maita menunduk, dia sedikit ragu dengan apa yang akan dia katakan. “Katakanlah, apa ada yang kamu inginkan? Biasanya wanita hamil sering menginginkan hal-hal aneh!” ucap Omar. “Bukan itu,” sela Maita. Maita kembali menunduk, dirinya merasa tidak enak jika terus membebani Omar. “Katakanlah ... Aku janji akan memenuhinya.” “Bisakah saya tinggal di hotel saja selama menunggu semua persiapannya, maaf jika saya banyak mau dan banyak tingkah. Bukannya sa-” “Oke, aku mengerti maksud kamu. Dan sepertinya keputusan yang kamu ambil memang Tepat Carol, tetanggaku memang sering julid dengan kehidupan orang!” Potong Omar. Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya hendak meninggalkan Maita, namun belum sempat melangkah, dia kembali menghadap Maita. “Kamu bersihkan dirimu, lalu aku akan mengantar kamu menginap di hotel, oke!” Kata Omar sambil mengacungkan salah satu jempolnya kepada Maita. Wanita itu hanya tersenyum sembari mengangguk. Kemudian Omar pergi meninggalkan Maita sendirian. Maita termenung setelah Omar pergi meninggalkannya, dia berpikir. Apakah ini adalah jalan yang Tuhan kirimkan untuk dirinya agar dia bisa menjalani hidup kedepannya. Jika memang ini adalah kesempatan Maita untuk memperbaiki semua kesalahannya, maka dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Maita berjanji kepada dirinya sendiri, dia akan merawat dan menjaga anak yang ada di dalam kandungannya saat ini. Maita menunduk sembari mengusap perut ratanya. “maafkan Mama ya sayang, mama sempat berpikir egois, Mama janji akan menjaga kamu dan memperjuangkanmu apapun yang terjadi dan meskipun nyawa Mama yang akan menjadi taruhannya,” gumam Maita. Maita pergi untuk bersiap pindah ke hotel, ia takut jika sewaktu-waktu dirinya akan di grebeg warga jika memilih menetap di rumah Omar terlalu lama. Ya, karna tempat tinggal Omar adalah daerah yang terbilang masih kampung dan memiliki banyak tetangga. Tidak menutup kemungkinan jika nanti dirinya malah akan menambah beban Omar kedepannya. Setelah setengah jam bersiap Maita keluar dari kamar tamu yang berada di rumah Omar. “Sudah siap?” Tanya Omar. Maita hanya mengangguk. “Ayo?” ajak Omar kepada Maita. Dia hanya mengekor mengikuti kemana langkah lelaki itu. Omar membukakan pintu mobil berwarna silver itu untuknya. Maita segera memasukinya. “Kita makan dulu ya, aku yakin kamu pasti lapar. Kamu mau makan apa?” tanya Omar, lelaki itu sepertinya mengetahui jika Maita sedang menginginkan sesuatu, dia yakin jika wanita yang berada di hadapannya itu sungkan untuk memintanya. Terlebih lagi mereka baru saja kenal. Maita nampak ragu mengatakannya. “Aku ... ingin makan sate payau,” ucap Maita sedikit ragu. “Baiklah, aku tahu di mana penjual sate payau terenak di kota Samarinda, cus meluncur,” Ujar Omar. Lelaki itu segera menginjak tuas mobilnya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD