2. Persiapan Istimewa sebelum Perjumpaan

1229 Words
Seakan hendak bertemu seseorang yang paling istimewa, Ayesha sengaja membersihkan lagi seluruh bagian-bagian ruangan di dalam rumahnya serta memastikan tidak sedikitpun kotoran yang menempel pada perabotan. Selepas itu, tanpa duduk rehat lebih dulu, Ayesha langsung menyabet handuknya yang tergantung di rak taman belakang dan melangkah ke kamar mandi. Shaka yang baru selesai menunaikan sholat ashar, tengah melipat sajadah melihat sang istri yang melintas sembari menenteng handuk. Ia tersenyum dan dapat menduga, bahwa istrinya tengah bersemangat menanti sebuah pertemuan. Sebetulnya Shaka tak merasa heran bila setelah itu akan ada lagi hal-hal berbeda yang muncul dari istrinya. Membereskan rumah sehari hingga dua kali saja sudah nampak berbeda dan itu bukanlah kebiasaan Ayesha, ditambah dengan waktu mandi yang kini cukup sebentar. Hey, ada apa dengan Ayesha? Ia terlihat seperti orang yang tengah kasmaran. Ingin cepat-cepat berangkat, sampai tujuan, dan bertemu. Bukankah Ayesha hendak menemui putranya? Putra kandung yang lebih dari lima tahun tak berada dalam pelukannya. Ini sungguh lebih dari sekadar kasmaran. Rambut panjang Ayesha terurai basah sekembalinya ia dari kamar mandi dan Shaka memperhatikan. “Tumben mandinya cepat,” celetuk Shaka menggoda sang istri yang baru saja dari taman belakang sehabis menyimpan kembali handuk di raknya. Shaka menggantungkan peci dan sajadah di rak yang berada di sudut ruangan kamar mereka. “Masa sih mas. Kayaknya biasa deh.” “Barusan kamu itu mandinya cepat banget. Enggak kayak biasanya.” Shaka berbicara dekat sekali dengan daun telinga sang istri saat istrinya itu tengah memoles lipstik pada bibirnya di depan cermin yang memantulkan tubuh mereka berdua. Ayesha menangkap ekspresi wajah sang suami yang tersenyum-senyum kemudian berlalu sambil membuka kancing-kancing baju kokonya yang tengah dipakai. Melepas dan menggantungkannya di kapstok, serta menurunkan sarung yang dikenakannya yang lalu disimpan menjuntai di samping sajadah tadi. “Kamu merias diri bukan untuk bertemu dengan papahnya Fathan kan?” Ayesha tertawa pendek. Ia berhenti menggunakan lipstik dan menutupnya kembali, lalu menaruhnya di atas meja. Kemudian mengambil bedak dan memakainya. “Kamu cemburu?” “Pertanyaan kok dijawab dengan pertanyaan lagi.” “Bukannya biasanya aku memang kayak gini?” “Semangat?” “Kelihatannya emang gitu?” “Kembali lagi, pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.” Ayesha menghela nafas cepat. Menaruh lagi bedak yang sudah tertutup rapat di atas meja. “Ya enggaklah mas. Kan kamu tahu biasanya aku emang pakai beginian setiap kali mau bepergian.” “Kayaknya cukup lipstik. Biasanya itu aja bukan?” Ayesha menarik nafas dalam dan kembali membuangnya dengan cepat. Untuk menghindari kecemburuan yang ditimbulkan dari suaminya dan demi keberlangsungan rumah tangga yang harmonis tanpa sedikitpun keributan, akhirnya Ayesha mengalah. Ia mengambil sehelai tisu, kemudian menuangkan alat pembersih wajah ke situ, dan hendak menghapus bedak yang sudah tertabur merata di wajahnya. Shaka yang menyaksikan perbuatan sang istri seketika terburu mendekati dan meraih tangannya. “Eh, mau diapain?” “Dihapus.” “Jangan.” “Mas gimana sih. Tadi ngomong, kesannya aku beda. Sekarang mau aku hapus malah dilarang.” “Ya, mas kan cuma nanya.” “Pertanyaannya enggak masuk diakal.” “Ya udah mas minta maaf.” Hati Ayesha meluruh. Ia menaruh kembali tisu yang telah basah di atas meja. “Mas kan tahu aku udah enggak mau bahas lagi soal itu.” “Iya.” “Dari tadi tuh kayaknya mas sengaja banget menyinggung ke situ. Padahal mas kan tahu kalau… Udahlah mas.” Shaka menggenggam tangan sang istri. “Iya, iya mas minta maaf.” Ayesha tersenyum berat. Tapi demi menghargai rasa cemburu sang suami yang itu artinya bahwa Shaka benar-benar mencintai dan tak ingin kehilangan dirinya, Ayesha pun mencium punggung tangan suaminya, lalu menatap dengan amat dalam. “Mas, sebentar lagi aku bertemu dengan anakku. Darah dagingku.” Seketika mata Ayesha memerah. Lagi-lagi hatinya bersedih dan hendak menangis. “Dia yang selama sembilan bulan lebih pernah berada dalam rahimku. Dia yang aku lahirkan dengan sekuat tenaga. Dia yang selama bertahun-tahun aku rindukan. Dia yang …” Kalimatnya tertahan. Air mata Ayesha kembali tak terbendung. Shaka meraih pundak istrinya dan merangkulnya. “Sayang, udah dong. Mas minta maaf.” “Enggak apa-apa mas.” Ayesha menyeka air matanya. Ia tahu suaminya itu tak bermaksud menyakiti perasaan dan membuatnya menangis. “Kamu udah siap? Kalau udah kita berangkat sekarang.” Ayesha melirik ke kaki suaminya yang masih memakai celana kolor. “Kamu mau pakai itu?” Shaka ikut memperhatikan kakinya. “Astaghfirullahal’adzim.” Seketika Ayesha menahan tawa dan suaminya itu langsung menyabet celana panjang yang tergantung di kapstok lalu mamakainya. Ayesha menarik tali tas selempangnya dari atas meja dan mengenakannya. “Yuk!” Shaka meraih tangan Ayesha. Kemudian mereka melangkah ke luar menuju mobil pribadi yang terparkir di halaman depan rumah. Ayesha berdoa setelah terduduk di jok. “Bismillahirrahmanirrahim.” “Subhaanal ladzii sakhkhara lanaa haadzaa wa maa kunnaa lahu muqriniin wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuun.” Shaka mengucapkan doa dengan komplit. Membuat Ayesha menoleh kepadanya dan tersenyum. Lagi-lagi dalam hatinya, Ayesha merasa bahagia dan bersyukur karena telah dipertemukan dengan lelaki baik dan sholeh seperti Shaka yang amat berbeda dari lelaki pendamping hidupnya yang sebelum ini. Lelaki yang hanya bermodalkan cinta, baik, dan tampan saja, rupanya tak cukup kuat dalam hal bertujuan membina rumah tangga. Harus ada nilai plus lain yang dapat mengokohkan, sehingga persoalan sepelik apapun kelak yang melanda tak mampu membuat rapuh dan retak. Ayesha salah menduga kala itu dan ia masuk ke dalam jurang yang salah. Suaminya yang dirasakan amat mencintai rupanya begitu pemalas dan walaupun ia baik, namun sikap hormat terhadap orang tua sangatlah kurang dan hal ini cukup menganggu pikiran Ayesha yang seringkali dihadapkan pada situasi yang harus bersinggungan langsung dengan mertua dan orang tua kandungnya. Lantas saat-saat semacam itu mana yang harus ia pilih? Memihak suaminya dan ikut-ikutan tidak hormat kepada orang tua atau justru melawannya? Keributan menjadi sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka dan seiring bergeraknya waktu, rasa menghargai dalam diri Ayesha terhadap suaminya perlahan pudar dan hilang. Ketertarikan secara fisik yang dahulu dirasakan Ayesha pada diri Rafi sudah tidak lagi berarti apa-apa dalam mempertahankan biduk rumah tangga mereka. Ayesha bosan dengan segala pertengkaran yang pasti melibatkan pembahasan tentang orang tua atau mertua hingga titik kesabarannya pun kian melemah dan bagai hancur berkeping-keping. Ia lelah dan merasa sudah tak sanggup lagi melanjutkan kisah hidupnya bersama Rafi. Ayesha pun memutuskan untuk pergi dari sisi lelaki itu, walau ia tahu risiko terberat yang kan dihadapi ialah kehilangan putra kandungnya. Ayesha terus menatap sang suami, hingga Shaka yang merasa dirinya tengah diperhatikan pun menoleh heran. “Kenapa?” “Enggak apa-apa.” “Benar?” “Iya mas, enggak ada apa-apa.” “Kalau ada yang mau disampaikan, omongin aja. Mas janji enggak akan menanggapi dengan yang enggak-enggak.” Ayesha tersenyum. “Enggak mas, beneran.” “Ya udah.” Percakapan mereka terjeda beberapa saat. “Sebenarnya ada sih yang pengen diomongin.” “Apa?” Shaka menoleh dengan memasang wajah penasaran. “Aku cuma mau bilang terima kasih, karena selama ini mas udah jadi suami yang baik buat aku.” Shaka tersenyum. “Itu kewajiban.” “Iya aku tahu. Tapi aku merasa bersyukur mas.” “Alhamdulillah kalau menurut kamu mas sudah bisa seperti itu, tapi jujur mas sendiri merasa masih banyak kurangnya.” Ayesha menyentuh cincin yang melingkar pada jari manisnya. Diam-diam dalam hatinya mendoa agar masnya yang selama ini baik dan sholeh tak berubah bagaimanapun situasi dalam rumah tangga mereka nanti, meski mungkin sebentar lagi jumlah anggota keluarga mereka akan bertambah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD