Membaca pesan singkat dari Anne, "_Jangan hubungi aku lagi. Aku akan cari tahu sendiri_," Ray hanya tersenyum samar, getir. "Kau akan menyesal," pikirnya, lantas menyalin beberapa pesan terakhir itu ke dalam sebuah _Note_ tersembunyi di ponselnya. Ia bangkit dari meja kerjanya yang dipenuhi monitor, merenggangkan punggung, lalu berjalan keluar dari apartemennya yang minimalis, mencari makanan di luar sambil membiarkan otaknya berpikir.
Selama bertahun-tahun, ia telah mengamati Stefan dari jarak yang tak terbayangkan dekatnya. Sama sekali tak terlintas dalam imajinasi Anne yang paling liar sekali pun, bahwa ada seorang karyawan di posisi cukup penting dalam perusahaan Stefan yang mengenalnya—bahkan mengenalnya dengan cara yang sangat istimewa, jauh melampaui batas profesionalisme. Apa pun yang Nyonya Mora tahu, Ray juga tahu. Bahkan Stefan sendiri tak dapat membayangkan hal semacam ini; betapa telanjangnya hidupnya di mata Ray.
"Singapura ini memang ajaib," gumam Ray sambil berjalan menyusuri trotoar yang ramai. "Dalam waktu singkat orang bisa menyeberang ke Medan, Riau, atau tempat lain. Melakukan apa pun yang mereka mau, di luar jangkauan mata dan gosip." Informasi itu, yang Stefan kira rahasia, kini ada di genggaman Ray, seperti kartu As yang siap dimainkannya.
Ray membuka ponselnya lagi, memandangi foto Stefan bersama wanita itu. Sebuah foto yang ia dapatkan bukan dari hasil retasan, melainkan dari sudut pandangnya sendiri yang tak terlihat. Senyum Ray melebar, bukan karena kesenangan, tapi karena kepuasan yang dingin. Permainan ini baru saja dimulai.
Besok ia harus bertugas ke Kuala Lumpur, dengan bebas ia juga akan bertemu dengan seorang wanita yang _real_. Bukan rekayasa seperti yang ada dalam bayangan Anne.
Keesokan harinya, sekitar jam satu siang waktu setempat, Ray sudah tiba di Kuala Lumpur. Ia segera mengganti nomor ponselnya begitu mendarat dan beristirahat sebentar di bandara megah ini. "Sungguh lucu," pikirnya, menyunggingkan senyum. "Makanan di bandara ini lebih murah ketimbang di luar. Terbalik dari yang ada di Singapura atau Soekarno-Hatta." Sebuah ironi kecil yang sering ia amati dalam perjalanannya.
Meskipun begitu, ia tidak makan siang di sini. Hanya membeli dua kotak cokelat kesukaannya di sebuah toko _duty-free_, lalu segera beranjak keluar, memesan Grab yang akan membawanya ke sebuah perumahan mewah, agak jauh dari bandara. Jika di Jakarta, perumahan ini bisa dibilang selevel Kelapa Gading, tetapi dengan jalanan yang tertata rapi, dan sama sekali tidak macet.
Orang-orang di sini seringkali mengeluh tentang apa yang mereka sebut traffic jam, yang di benak Ray sama sekali bukan jam—atau macet. "Kalau sudah pernah ke Jakarta, kalian baru tahu, apa itu yang sungguh-sungguh macet," pikirnya, tertawa dalam hati, mengenang kemacetan ibu kota Indonesia yang legendaris.
"_Pakcik nak visit siapakah?_" tanya si driver Grab berbasa-basi, tersenyum ramah, "Atau _Pakcik_ punya keluarga di sini?"
"Sayangnya tidak punya," jawab Ray, tertawa ringan. Ia tahu, orang Malaysia akan lebih memahami jika ia bicara dengan kalimat formal, jadi ia berusaha mengimbangi mereka. "Jadi logat saya masih kentara bukan orang sini ya? Yang benar, saya bekerja di sini, sebetulnya sudah agak lama—beberapa tahun." Dalam hal ini ia tidak berbohong, meskipun ia tidak pernah terlalu lama tinggal di satu tempat.
"Aaah, berarti _Pakcik_ sudah cukup kenal jalanan di sini," jawab sopir itu, tawa renyah keluar dari bibirnya. "Maaf, saya kira _Pakcik_ baru pertama kali datang ke Malaysia."
"Saya memang selalu datang, tapi hanya sebagai turis, jadi tidak bisa terlalu lama," jawab Ray lagi, "Karena itulah saya harus bolak-balik ke Jakarta atau tempat lain, meskipun hanya satu dua hari, supaya bisa tetap tinggal di sini."
Sopir itu tertawa. "_Pakcik_ tahu juga cara memperpanjang masa tinggal di sini."
"Hanya mengikuti anjuran teman-teman di kantor," kata Ray lagi. "Lagipula, teman saya pernah hampr masuk penjara, padahal punya ijin kerja di sini, hanya gara-gara _overstay_ sedikit. _Pakcik_ tahu bagaimana cara saya bisa bertahan di sini, sebelum punya pekerjaan tetap?"
"Tentu makan _nasi lemak_ yang hanya seringgit itu," kata si sopir lagi. Tawanya makin bebas. Ia tahu Ray terbiasa bercanda tentang nasib malanggnya sendiri, jadi tidak akan tersinggung. "Bukan begitu, _Pakcik_? Leluhur saya juga berasal dari Makassar. Bukankah _Pakcik_ juga orang Makassar?"
"Sayangnya saya lahir di Jakarta," jawab Ray. Ia jadi agak penasaran, teringat akan sesuatu yang diceritakan temannya, bertanya dengan lugu, "Kalau begitu, leluhur _Pakcik_ akhirnya dianggap sebagai _Bumi Putera_ di sini?"
"Yang ini agak rumit, anak muda," jawab sopir setengah baya itu, kembali tertawa ringan. "Aku tahu maksudmu. Di sini, bukan semua orang dianggap _Bumi Putera_, meskipun lahir di Malaysia. Orang-orang India itu contohnya. Memang ada alasannya, bukan semua orang beranggapan hal ini adil."
Ray tertawa mendengar istilah itu. "Pakcik, sepertinya di dunia ini tidak ada yang sungguh-sungguh adil. Asalkan bukan mencekik rakyat, ya sudahlah."
Obrolan ringan itu membawa mereka ke segala arah, hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah, tempat tinggal majikan Ray. Rumah itu berdiri megah di balik gerbang besi tempa yang tinggi, dengan deretan pohon palem menjulang di sepanjang jalan masuk.
Abigail adalah seorang wanita keturunan Iran, tetapi anehnya ia tadinya tinggal di London, sebelum berimigrasi ke sini. Dengan sendirinya, di sini banyak karyawan yang adalah warga asing, sebagian besar ekspatriat. Sekuriti yang menjaga di pintu gerbang itu berasal dari Indonesia, Pak Muin, sudah cukup akrab dengan Ray, dan sama sekali tidak menanyakan apa-apa, bahkan menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. "Pak Ray, sudah ditunggu Bos." Pak Muin menyalakan rokoknya dengan santai sambil menyapa Ray, "Nanti saja kita ngobrol lagi, nanti Nyonya marah-marah kalau terlambat."
"Ya pasti," kata Ray, mengangguk. "Pak Muin, saya punya cokelat—mau?" Ia menyodorkan kotak cokelatnya, tanpa ragu meletakkannya di meja sekuriti yang penuh dengan koran dan gelas kopi. "Silakan makan seberapa yang Pak Muin suka." Tatapan Ray sejenak beralih ke dalam gerbang, seolah memindai sesuatu yang tak terlihat. Ia punya alasan lain datang ke sini, lebih dari sekadar 'bertugas'.
Melangkah dengan ringan ke dalam rumah sekaligus kantor itu, Ray menemukan banyak orang di ruang tamu, tampaknya mereka sedang merencanakan sebuah _wrap party_ untuk proyek yang baru selesai. Film layar lebar, kolosal, dan memakan biaya raksasa. Kehadirannya disambut dengan meriah oleh banyak orang. Mereka menepuk-nepuk punggungnya, seolah ia adalah seorang jendral yang baru memenangkan peparangan di medan tempur.
Seorang wanita yang biasa dipanggil Emma, menyodorkan salah satu kotak _pizza_, dari sekian banyak yang dikeroyok semua orang di ruangan itu. "_Nak_?" tanyanya, menyeringai lebar.
Cara menawarkan itu tentu akan menimbulkan tawa di Jakarta, pikir Ray. Seolah-olah aku ini anaknya. Tapi ia buru-buru berkata, "Bukan tidak mau, tapi Abigail sedang menungguku."
Di sini, semua orang memanggil yang lain dengan menyebut nama, tanpa embel-embel Bos, Pak, Bu, atau lainnya. Mungkin di Jakarta cara ini bisa dianggap kurang ajar. Emma bukan orang yang gampang menyerah. Tawarannya ditolak, ia segera beralih ke makanan lain, menyodorkan _roti cane_ yang tampak masih hangat. "Belum dimakan, biasanya kau suka."
Tak bisa menolak tawaran kedua, Ray tertawa, mengambil makanan itu, duduk di sebelah Emma untuk menikmatinya. "Kau tahu saja aku belum makan siang," katanya, "Baiklah, ini hanya perlu lima menit."
"Abigail tidak akan menerkammu," kata Emma lagi, "Dia sedang gembira, _shooting_ mahal ini sudah selesai."
Karena memang lapar, Ray makan _roti cane_ itu dengan cepat. "Aneh juga," pikirnya, "Makanan yang sama, yang ada di Jakarta tetap tidak seenak di sini. Padahal isinya hanya ttepung terigu. Mungkin diambah telur dan kuah kari." Ia mengalihkan perhatian Emma dari Abigail, bertanya, "Kau sendiri juga gembira—proyek ini sudah selesai?"
"Bagaimana _nak_ gembira," timpal Emma, menyeringai lebar, "Kau tentu tahu. Proyek sudah selesai, berarti kita harus sibuk mencari _job_ lain! Atau aku tidak akan bisa bayar sewa apartemen!"
Memang hanya perlu waktu sekitar lima menit bagi Ray untuk menghabiskan makanan itu. Ia minum setengah botol air mineral yang disodorkan Emma. Tanpa membuang waktu, ia segera mendekati pintu ruangan besar yang tampak mewah itu, mengetuknya tiga kali, sebelum terdengar suara wanita yang nyaman di telinga, "_Come in_."
Di belakang meja kerjanya yang seluas lapangan bola itu, seorang wanita berambut ikal, berkulit seputih s**u, dengan raut wajah berbau Timur Tengah, tersenyum lebar melihat kehadirannya. "Kau ingin makanan lain — selain _pizza_? Di sini masih ada cukup banyak."
"Terima kasih, _Ma'am_," jawab Ray, menyeringai lebar. Kecantikan yang sangat menyolok, tak heran Stefan langsung tersungkur di hadapan kakinya, konon. "Kelihatannya _shooting_ sudah selesai. Sebentar lagi kita akan masuk ke _editing_. Aku harus mengucapkan selamat."
"Hai, bukankah ini juga hasil kerjamu?" kata Abigail, menyodorkan kunci mobil, bangkit dari kursinya, "_You drive_, kita makan di luar. Aku ingin mendengar ceritamu tentang _Nyonya_ itu. Di mana kau ingin makan?"
Mengambil kunci mobil yang disodorkan Abigail, Ray berkata dengan ringan, "_Ma'am_ pasti tidak suka makan di situ. Tapi aku sendiri hanya ingin makan di _mamak_ terdekat — sudah biasa makan di situ." Yang disebut 'mamak' di sini adalah rumah makan prasmanan milik orang-orang India. Orang menganggapnya seperti warteg di Indonesia. Meskipun makanan di bandara lebih murah ketimbang di luarnya, tetapi apa yang dijual di situ pada dasarnya tetaplah makanan mahal. Sudah terbiasa hidup d segala tempat di dunia ini, Ray tahu bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan kantongnya.
"Tapi hari ini tidak sama," kata Abigail sambil melangkah keluar dari ruangan itu, "kecuali kalau kau memang mau makan di situ. Kita ke Petaling!"
Makanan terbanyak di Petaling adalah _Chinese Food_, yang sangat disukai Abigail sendiri. Perjalanan ke situ juga agak jauh, jadi mereka pasti akan punya waktu mengobrol di dalam mobil. Dengan penuh pengertian, Ray hanya mengangguk sambil tersenyum, mengikuti langkah Abigail, yang berkata kepada semua orang di ruang tamu, "Setelah ini kalian boleh pulang. Tak usah menungguku kembali."
Steven, yang sekarang dipanggil Ali oleh teman-teman sekantornya, setelah menjadi penganut Islam, diam-diam melirik Ray sambil mengedipkan sebelah matanya. Dlam hati Ray hanya tertawa, menyadari kesalahpahaman semua orang. Yang kasihan adalah seorang wanita keturunan Iran lainnya di ruangan ini.
Daria seorang artis, yang bertubuh kecil, dengan kecantikan yang tidak kalah dengan Abigail. Ia diam-diam mengalihkan pandangannya ke tempat lain, sementara Ray dan Abigail berjalan keluar dari ruang tamu.
Tak dapat lagi menahan diri, setelah Mercedes Benz itu keluar dari pintu gerbang, Abigail bertanya, "Apa saja yang dikatakan Mora itu?"
Menahan senyum, Ray berkata dengan ringan, "Hanya sedikit bocoran tentang _Ma'am_ dan Ariana, tentu saja tidak menyebut nama, bahkan juga tidak setegas itu."
"Wah, sayang kalau begitu," gumam Abigail, tampak jelas kecewa. "Mungkin dia takut ditelantarkan anaknya di masa tua."
Mereka berhenti sejenak di sebuah perempatan, menaati lampu merah. Di sini, ada sensor yang akan merekam nomor mobil atau kendaraan lain yang melewati garis di lampu merah. Ray menoleh ke arah Abigail sementara menunggu. "_Ma'am_ tidak usah kecewa. Cepat atau lambat pasti akan terbongkar juga. Percayalah, ini hanya soal waktu."
Abigail tertawa kering. "Waktu..." gumamnya, "Kau tahu apa soal waktu? Sekarang ini usia Ariana sudah enam tahun — hampir tujuh!" Ia tiba-tiba beralih ke masalah lain, menatap Ray dengan tajam. "Bagaimana kalau kita memakai cerita Jeanne-mu itu untuk _next project_?"
Terkejut, Ray berdehem, sebelum menjawab, "Rasanya agak mustahil. Saat ini dia mengusirku."
"Oh? Mengapa?"
"Kurasa dia mulai takut ketahuan."
Abigail terkekeh. "Ray, Ray, kau mungkin pintar, tapi kalau soal seperti ini, kau tak pernah memahaminya. Kalau kau terlalu kentara memaksa, semua perempuan pasti akan lari!"
Lampu di perempatan sudah berubah hijau. Ray kembali menjalankan mobil, sebelum bertanya, "_Ma'am_ punya usul — aku harus bagaimana?"
"Kurasa dia hanya perlu sebuah pertunjukan kecil," jawab Abigail, matanya berbinar, "Kau mungkin tidak tahu, Daria sangat menyukaimu. Aku bisa mengatur supaya kalian pergi berdua ke Jakarta nanti. Masalah _editing_ di sini boleh kau abaikan, aku sendiri yang akan mengawasinya."
Kali ini Ray sungguh-sungguh kaget. Ada sesuatu yang hanya dibicarakan dalam bisik-bisik di sekitar _Damansara Heights_ ini, bahkan tak sembarang orang berani menyebutkannya di bungalow Abigail. Orang memang tahu pasti Abigail punya seorang anak perempuan yang tadi disebutkannya, Ariana. Yang tidak mereka ketahui adalah, sutradara ini dalam kehidupannya sehari-hari _hanya menyukai sesama perempuan_. Salah satu yang paling dekat dengannya adalah Daria, yang baru saja disodorkannya sendiri ke depan hidung Ray. Mendengar tawaran semacam ini, Ray jadi tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Ia berkata dengan ragu, "_Ma'am_, rasanya ini... kurang cocok — maksudku, ehm... mungkin ada cara lain..."
Tetapi Abigail mendengus, menyela dengan nada tajam, "Apanya yang tidak pantas atau tidak cocok? Demi masa depan Ariana, demi _kita_ sendiri, dan juga demi kebaikan semua orang lain, cara ini sangat cocok! Jangan bilang kau tidak menyukai Jeanne itu!"
"Sebetulnya, namanya Anne," kata Ray.
"Siapa pun namanya."
Ray tahu, Daria menyukainya setulus hati. Sejahat apa pun dirinya, ia juga tidak ingin memanfaatkan hal semacam ini. Jika dijalankan juga, rencana yang ada di dalam benak Abigail ini akan menimbulkan masalah sampingan lain, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Stefan. Yang jelas dirinya — Ray — akan menyakiti hati seorang wanita tidak bersalah seperti Daria. Hal ini tidak bisa dilakukannya. Hati nuraninya mencegah hal ini.
Tetapi, sayangnya, Abigail tidak mau tahu. Sebelum mobil mereka tiba di Petaling, ia berkata, "Kalau kau sungguh-sungguh peduli akan keselamatan Jeanne — maksudku, Anne — maka kau akan menuruti gagasanku."
***