Anne menatap koper Stefan yang tergeletak di sudut kamar mereka, masih berdebu dari perjalanan bisnisnya ke Singapura. Cahaya lampu kamar yang lembut memantul di permukaan koper itu, seolah menyoroti rahasia yang mungkin tersimpan di dalamnya. Dengan jantung berdegup kencang, Anne membuka resleting koper, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa menjelaskan keraguan yang menggerogoti hatinya.
Pakaian-pakaian Stefan tersusun rapi, beberapa dokumen bisnis, dan sebuah kotak kecil berisi suvenir khas Singapura. Tidak ada yang mencurigakan. Anne menghela napas, kecewa sekaligus lega, tapi pikirannya masih bergulat dengan bayang-bayang kecurigaan.
Matanya melirik ponsel Stefan yang tergeletak di meja samping ranjang, layarnya menyala tanpa kunci. Jari-jarinya ragu sejenak, tapi dorongan untuk tahu lebih banyak mengalahkan keraguannya. Anne mengambil ponsel itu, menelusuri pesan dan galeri foto. Tidak ada yang aneh—hanya foto-foto pemandangan kota Singapura, beberapa dokumen yang diambil dengan kamera, dan pesan bisnis yang membosankan. Tapi di folder tersembunyi, ia menemukan sebuah foto: Stefan bersama seorang wanita di sebuah restoran mewah, tersenyum akrab. Jantung Anne serasa terhenti. Wanita itu—sosok yang sama yang pernah ia lihat di ponsel Ray, pria dari masa lalunya yang tak henti mengusik ketenangan hidupnya.
Anne menutup ponsel dengan tangan gemetar. Pikirannya melayang pada ucapan ibu mertuanya beberapa minggu lalu saat mereka bertemu di acara keluarga. "Stefan itu sibuk, Ann. Tapi jangan lupa, laki-laki mapan kayak dia gampang banget dilirik cewek matre. Kalau kamu nggak pintar jaga, ya tanggung risiko," ujar ibu mertuanya, Nyonya Mora dengan nada sinis. Ucapan itu terus menghantui Anne. Apakah ibu mertuanya tahu sesuatu? Atau ini hanya paranoia Anne yang membesar karena tekanan dari Ray?
Malam itu, saat Stefan pulang dari kantor, Anne memutuskan untuk bicara. “Sayang, kita perlu ngobrol,” katanya, suaranya pelan tapi tegas, sambil menunjukkan ponselnya sendiri—tempat ia menyimpan salinan foto yang dikirim Ray.
Stefan mengerutkan kening, memandang foto itu. “Entah, mungkin dari pesawat atau taksi. Kenapa, Ann? Kamu curiga lagi?” Nada suaranya tenang, tapi ada ketajaman di matanya yang membuat Anne ragu untuk menekan lebih jauh.
“Foto ini… kamu sama siapa, Stefan? Aku dengar rumor, bahkan dari mama,” ucap Anne, suaranya bergetar. Ia ingin menjerit, ingin menuntut kebenaran, tapi ia tahu rahasia yang ia simpan dengan Ray bisa menghancurkan segalanya. Bagaimana jika Stefan juga menyimpan rahasia yang lebih besar?
Stefan menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu di meja. “Ann, kepercayaan itu penting dalam pernikahan. Aku bisa saja balik bertanya, apa kamu setia padaku?” Matanya menatap tajam, seolah bisa menembus dinding pertahanan Anne.
Anne tersentak. Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia ingin menunjukkan foto itu, ingin menuntut penjelasan, tapi sebelum ia sempat bicara, ponsel Stefan berdering. Panggilan dari kantor. “Ada masalah di proyek baru, Ann. Aku harus ke kantor sekarang,” katanya buru-buru, mengambil jas dan kunci mobilnya. Anne hanya bisa mengangguk lemas, foto yang ingin ia tunjukkan tetap terdiam di ponselnya.
Saat Stefan pergi, Anne merasa seperti berdiri di tepi jurang. Pikirannya terbelah antara cinta pada Stefan, kecurigaan yang kian membesar, dan penyesalan atas masa lalunya dengan Ray. Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Ray masuk: “Ann, aku kangen. Ketemu yuk, cuma sebentar.”
Anne mengetik cepat, jari-jarinya gemetar. “Ray, aku bilang berhenti hubungi aku. Aku tidak mau Stefan tahu apa yang pernah terjadi di antara kita.” Ia menolak dengan tegas, tapi hatinya tahu bahwa Ray tidak akan menyerah begitu saja.
Tak lama, pesan lain masuk dari Ray. “Kamu yakin Stefan setia? Aku dengar dia dekat dengan wanita lain, bahkan ada rumor dia punya anak dari hubungan itu. Cek foto yang aku kirim, Ann. Itu bukan rekayasa.”
Anne menatap foto yang dikirim Ray sekali lagi. Wanita di samping Stefan itu memang terlihat akrab, tapi apakah ini cukup sebagai bukti? “Aku tidak menemukan apa-apa di barang Stefan, Ray. Bisa saja foto ini direkayasa,” balas Anne, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Kalau ragu, selidiki lewat keluarganya. Ibunya itu, Nyonya Mora, biasanya tau banyak. Lagipula, dia nggak suka kamu, kan?” balas Ray, menekan sisi rapuh Anne.
Anne terdiam. Ucapan Ray menusuk, karena memang ada benarnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil keputusan. “Stefan, aku kangen sama mama. Apa kita bisa ke rumah mertua akhir pekan ini?” tanya Anne saat Stefan pulang larut malam dari kantor.
Stefan mengangguk, wajahnya lelah. “Tentu, Ann. Aku juga lama tidak ke sana. Mama pasti senang.”
---
Akhir pekan itu, Anne dan Stefan tiba di rumah ibu mertua Anne, sebuah rumah mewah di pinggiran kota dengan taman bunga yang terawat rapi. Nyonya Mora menyambut mereka dengan senyum tipis dan tatapan meneliti dari ujung kepala hingga kaki. “Akhirnya ingat juga mampir ke sini. Untung rumah Mama nggak ambruk duluan,” sindirnya begitu mereka memasuki rumah.
Anne berusaha tetap tersenyum. “Ma, maaf baru sempat. Stefan sibuk sekali akhir-akhir ini.”
“Ya, sibuk cari uang buat nafkah istri kan? Maklum, semua perempuan pengennya hidup enak. Untung kamu dapet Stefan, Ann. Banyak perempuan di luar sana yang naksir sama dia. Tapi ya... semoga kamu cukup pinter jagain,” lanjut Nyonya Mora, nadanya licin, seperti biasa.
Stefan hanya terkekeh canggung sambil duduk. “Sudahlah, Ma.”
Sepanjang makan siang, Anne berusaha mencuri-curi pandang, mencari celah untuk bertanya. Stefan tampak santai, seolah tidak menyadari ketegangan istrinya.
“Ma, Stefan cerita soal perjalanan bisnisnya ke Singapura. Kayaknya seru ya di sana?” pancing Anne hati-hati.
Nyonya Mora menatap Anne sejenak, bibirnya menyeringai samar. “Singapura, Hong Kong, atau negara mana lagi? Yang penting kerjaannya menghasilkan uang. Tapi kamu tahu sendiri, di luar negeri itu godaannya banyak. Apalagi buat pria sukses. Makanya Mama selalu bilang: perempuan tuh jangan cuma cantik, harus pinter ngatur laki. Kalau enggak, ya bisa diambil perempuan lain.”
Anne menahan napas, dadanya makin sesak. Kata-kata ibu mertuanya menusuk, seolah sengaja membuka luka yang sedang coba ia tutupi.
Malam itu, saat Stefan tertidur di kamar tamu, Anne menyelinap ke ruang keluarga tempat Nyonya Mora masih duduk menghitung lembaran deposito.
“Ma, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Anne.
Nyonya Mora melirik Anne dingin. “Apa lagi? Kelihatan banget mukamu kayak orang banyak pikiran.”
Anne mengumpulkan keberanian. “Ma... Mama pernah dengar soal Stefan dekat dengan wanita lain?”
Nyonya Mora menghela napas panjang, lalu menatap Anne dari balik kacamatanya. “Ann, Mama bukan orang yang suka ikut campur. Tapi satu hal: laki-laki kayak Stefan itu aset. Banyak perempuan yang mau manfaatin dia. Kalau kamu nggak bisa jaga, ya jangan salahkan orang lain kalau ada yang masuk. Soal perempuan lain? Rumor itu selalu ada, tapi kalau kamu pintar, kamu bisa tutup telinga. Yang penting rekening jalan, gaya hidup aman. Gitu aja kok repot.”
Jawaban itu seperti tamparan keras bagi Anne. Bukannya membantu, sang ibu mertua justru seolah menganggap perselingkuhan sesuatu yang bisa dinegosiasikan selama uang tetap mengalir.
Keesokan harinya, saat mereka kembali ke rumah, Anne mendapat pesan lain dari Ray. “Sudah ketemu apa dari ibu mertuamu? Kalau belum, aku punya bukti lain. Ketemu aku, Ann. Aku bisa bantu.”
Anne menggenggam ponselnya erat, marah sekaligus takut. Ray seperti bayangan yang tak mau pergi, terus mengingatkan masa lalu yang ingin ia kubur. Tapi di sisi lain, keraguan tentang Stefan semakin menggerogoti hatinya.
Dengan langkah berat, Anne mengetik balasan untuk Ray. “Jangan hubungi aku lagi. Aku akan cari tahu sendiri.” Ia mematikan ponsel, bertekad untuk menghadapi Stefan langsung. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa kebenaran—apa pun itu—bisa menghancurkan segalanya. Cinta, kepercayaan, dan rahasia masa lalunya dengan Ray kini bercampur menjadi badai yang siap menerjang hidupnya.