Bab 5

1514 Words
Dua minggu telah berlalu sejak kepergian Stefan ke Singapura untuk urusan bisnis. Anne mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, namun pikirannya terus dihantui pesan dari Ray dan rahasia yang kini terasa seperti beban di dadanya. Setiap malam, ia berbincang dengan Stefan melalui panggilan video, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Stefan terlihat lebih sibuk dari biasanya, sering memotong pembicaraan dengan alasan meeting atau urusan mendesak. Anne mulai mencium keanehan, dan kecurigaannya tumbuh. "Stefan, kamu di mana sekarang? Kok selalu buru-buru kalau kita teleponan?" tanya Anne suatu malam, nada suaranya sedikit menuntut. Stefan di ujung telepon menghela napas, "Ann, aku di Singapura, sudah bilang kan? Aku sibuk dengan negosiasi kontrak. Kamu tahu ini penting untuk perusahaan. Jangan terlalu posesif, Sayang. Aku butuh kamu mendukungku, bukan merongrong." Anne mengerucutkan bibir, kesal. "Aku cuma ingin tahu apa yang kamu lakukan di sana. Apa salahnya kalau aku kangen?" "Tentu saja aku juga kangen, Ann. Tapi cobalah mengerti, aku melakukan ini untuk kita," jawab Stefan, suaranya lembut tapi tegas. "Aku akan pulang minggu depan. Sabun, ya?" Anne hanya mengangguk, meski hatinya tak tenang. Setiap kata Stefan terasa seperti alasan, dan bayangan Ray yang terus menghubunginya membuatnya semakin bimbang. Apakah Stefan benar-benar setia, atau Ray yang berkata jujur? --- Pagi itu, mertua Anne, Nyonya Mora datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Wanita berusia enam puluh tahun itu duduk di sofa ruang tamu, menatap Anne dengan sorot mata penuh penilaian. Anne menyuguhkan teh dan kue, berusaha tetap ramah meski tahu kunjungan ini tak akan menyenangkan. "Anne, kamu sudah periksa ke dokter?" tanya Mora, nada suaranya menyindir. "Ke dokter?" Anne mengulang pertanyaan Mora, belum paham maksud ibu mertuanya itu. "Ck! Cek rahimmu! Sudah lima tahun belum hamil juga!" sungut Mora, melipat tangan di d**a. "Oh." Anne menunduk menghindari tatapan tajam mata mertuanya yang bagai belati. "Sudah periksa. Kata dokter, kami sehat, Ma. Mungkin harus lebih sabar lagi..." Anne mencengkram cangkir tehnya. "Sabar? Huh! Kamu yang mandul!" Bibir bawah Mora maju, mata sinis-nya memindai Anne yang duduk di hadapannya. "Ma, ga seperti itu..." protes Anne, membuang napas, hati kesal dituduh mandul oleh sang mertua. "Apa aku salah! Aku tahu anakku ga mandul! Buktinya dia bisa punya anak!" sengit Mora, dengan nada tinggi. Anne terbelalak, apa tadi? Aku ga salah dengar? "Maksud mama apa yah? Stefan punya anak?" tanya Anne dengan suara bergetar, jantungnya berdebar-debar menanti penjelasan Mora. Seketika wajah Mora langsung memucat seolah telah berbuat kesalahan, dengan cepat ia meralat ucapannya, "Maksudku, harusnya Stefan itu sudah punya anak. Dia'kan sudah mapan, apa lagi yang ditunggu? Aku ingin menimang cucu sebelum tua." Andai kata Anne tidak pernah mendapat informasi dari Ray soal dugaan Stefan punya anak dengan wanita lain, mungkin saat ini ia akan menganggap mertuanya salah bicara. Jadi Ray tidak bohong, Stefan memang selingkuh dan mertuaku tahu itu! Hati Anne serasa ditusuk-tusuk belati beracun, sangat sakit. "Apa mama menyembunyikan sesuatu?" tanya Anne memberanikan diri, sorot matanya menuntut pengakuan Mora. Wanita dengan rambut pendek dan poni disasak tinggi itu tertegun, seperti bingung sesaaat. Tapi, penguasaan dirinya tangguh, ia tidak lama-lama tenggelam dalam keheningan. Dagunya terangkat, sudut bibirnya menukik."Harusnya aku yang tanya! Kamu punya rahasia apa, Anne!" Wajah Anne memerah, ia merasa sedang berada di ruang pengadilan, jantungnya berdegup kencang seolah hendak melompat dari rongga d**a, astaga! Apa mertua tahu rahasiaku? Anne mengatur napas berusaha tenang walau kakinya melemas. "Ma, aku ga simpan rahasia apa-apa, aku dan Stefan saling percaya..." katanya membohongi hati. "Siapa tahu, kan Stefan sering di luar." cibir Mora. "Aku ingatkan kamu ya, Ann. Jangan sampai aku dengar gosip tentang kamu!" Mora menunjuk-nunjuk dengan jarinya. Anne menelan ludah dan tangannya gemetar, untunglah ponsel Mora berdering, fokus Mora teralihkan sehingga tidak melihat kegugupan menantunya ini yang sangat kentara. Mora menjawab panggilan telpon. " Hai, Jeng Debby, iya sebentar lagi aku ke sana. Udah cukup orang yah? Oke, oke, daag.." Mora mengakhiri obrolan, matanya kini tertuju pada Anne. "Mama ke sini mau ambil uang yang dititipkan Stefan." Anne menggerutu dalam hati, tujuan kedatangan sang mertua hanya dua: mengomentarinya dan meminta uang. Ia tak mau protes, padahal baru seminggu lalu minta uang lima juta, lebih baik cepat dikasih daripada berlama-lama di sini bisa membuat jantungnya tak aman. Anne pun melangkahkan kaki ke kamar mengambil uang yang diminta Mora. Sepeninggalan Mora, Anne terduduk lemas di sofa, memijit kepalanya yang mendadak pusing. Mora sudah pergi jauh dari rumah, tapi ucapan wanita itu masih bertalu-talu di kepalanya, pikirannya menjadi kacau. Dia lalu memutuskan melakukan relaksasi, berendam di bathtub, berharap bisa menghilangkan stress dan kecemasan yang menghantuinya. --- Pagi berikutnya, Anne memutuskan pergi ke kantor Stefan. Ia harus mencari tahu sendiri. Dengan alasan ingin mengambil dokumen penting, ia tiba di gedung megah tempat suaminya bekerja. Namun, di lobi, ia dihadang oleh sekretaris Stefan, Clara, wanita yang pernah membuat Anne cemburu dengan sikapnya yang terlalu akrab pada Stefan. "Maaf, Bu Anne, Bapak Stefan tidak ada di kantor. Dan saya tidak bisa mengizinkan siapa pun masuk ke ruangannya tanpa izin," kata Clara dengan senyum yang terasa mengejek. Anne menahan amarah. "Aku istrinya, Clara! Aku hanya ingin mengambil sesuatu. Apa susahnya?" Lisa menggeleng tegas, "Maaf, Bu. Aturan perusahaan." Anne tak menyerah. Dengan sedikit tipu muslihat, ia berhasil menyelinap ke kantor Stefan saat Clara lengah. Jantung Anne berdegup kencang saat ia membuka laci meja suaminya, berharap menemukan petunjuk. Tapi laci itu kosong, hanya berisi dokumen bisnis dan alat tulis. Kecewa, Anne hampir menyerah ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Ray. Ann, cek foto ini. Stefan di pesta ulang tahun anak itu. Lampiran foto menunjukkan Stefan tersenyum lebar, menggendong seorang gadis kecil yang memakai topi ulang tahun. Di sampingnya, seorang wanita berambut cokelat panjang tersenyum manis. Jantung Anne seperti terhenti. "Dari mana kamu dapat foto ini? Siapa wanita itu? Siapa anak itu?" balas Anne dengan cepat. Ray tak menjawab pertanyaannya. Kita ketemu di Kafe Bunga, jam 3 sore. Aku jelaskan semuanya. Anne ragu. Akal sehatnya memperingatkan untuk tidak terpancing, tapi rasa penasarannya lebih kuat. Ia harus tahu kebenaran. --- Di Kafe Bunga, Anne tiba dengan hati berdebar. Ia memilih meja di sudut, berusaha tak menarik perhatian. Tiba-tiba, ia melihat sosok familiar—Sisca, adik ipar Stefan, duduk di meja lain bersama teman-temannya. Panik, Anne buru-buru berlindung di toilet. Jantungnya berdegup kencang. Kalau Sisca tahu aku bertemu Ray, ini bisa jadi masalah besar. Saat keluar dari toilet, Anne tersentak. Ray sudah berdiri di depannya, tersenyum penuh percaya diri. "Ann, kamu kelihatan nervous," katanya dengan suara bariton yang selalu membuat Anne lemah. "Aku nggak mau lama-lama di sini. Sisca ada di luar," bisik Anne, matanya melirik ke arah pintu. Ray mengangguk, "Ayo ke tempat lain. Lebih sepi. Aku janji ceritakan semuanya." Dengan ragu, Anne mengikuti Ray ke mobilnya. Di dalam mobil, suasana tiba-tiba berubah. Ray menatap Anne dengan mata penuh hasrat, tangannya perlahan meraih jemari Anne. "Ann, aku tahu kamu bingung. Tapi aku juga tahu, kamu masih merasakan sesuatu untukku." Anne menarik tangannya, tapi jantungnya berdegup kencang. "Ray, aku cuma ingin tahu soal foto itu. Jangan main-main." Ray tersenyum licik, mendekatkan wajahnya. "Aku akan ceritakan semuanya, tapi kita ke tempat yang lebih… nyaman. Hotel di ujung jalan. Kita bisa bicara bebas di sana." Anne tahu ini jebakan, tapi rasa penasarannya bercampur dengan tarikan lama yang masih tersisa di hatinya. "Baiklah," katanya pelan, meski hatinya berkecamuk. --- Di kamar hotel, Ray tak membuang waktu. Ia mendekati Anne, jemarinya menyusuri lengan Anne dengan lembut, membuat bulu kuduknya berdiri. "Ann, kamu tahu aku selalu bisa membuatmu lupa segalanya," bisik Ray, suaranya dalam dan penuh rayuan. Anne mencoba menolak, tapi tubuhnya seolah tak patuh. Ketika bibir Ray menyentuh lehernya, Anne menggigit bibir, berusaha menahan desahan. "Ray, ini salah…" gumamnya, tapi suaranya lemah, tenggelam dalam gairah yang Ray sulut dengan terampil. Jemari Ray menari di tubuh Anne, menyusuri lekuk pinggangnya, lalu naik ke pundak, menurunkan tali gaun Anne dengan gerakan yang penuh percaya diri. Anne terhanyut, meski rasa bersalah terus menggerogoti hatinya. Saat semuanya selesai, Anne terduduk di tepi ranjang, menutupi wajahnya dengan tangan. "Aku nggak seharusnya melakukan ini," desisnya. Ray hanya tersenyum, merapikan bajunya. "Kamu milikku, Ann. Stefan nggak pantas untukmu." Anne menatap Ray dengan mata berkaca-kaca. "Ceritakan soal foto itu. Sekarang." Ray menghela napas, "Aku dapat foto itu dari seseorang di lingkaran Stefan. Wanita itu bernama Karina, mantan kolega Stefan. Anak itu… katanya anak Stefan. Aku nggak punya bukti lebih, tapi kamu lihat sendiri, Ann. Stefan nggak jujur padamu." Anne terdiam, pikirannya kacau. Benarkah Stefan punya anak? Atau ini hanya permainan Ray untuk mengacaukannya? --- Hari ketika Stefan pulang, Anne menyambutnya di bandara dengan perasaan campur aduk. Stefan tersenyum lebar, memeluknya erat. "Aku kangen banget, Sayang," katanya, mencium kening Anne. Tapi saat Anne membantu Stefan melepas jas, ia melihat sehelai rambut cokelat panjang di kerah bajunya—persis seperti rambut wanita di foto yang Ray kirim. Jantung Anne seperti terhenti. "Stefan, ini rambut siapa?" tanya Anne, suaranya gemetar. Stefan mengerutkan kening, memandang rambut itu. "Entah, mungkin dari pesawat atau taksi. Kenapa, Ann? Kamu curiga lagi?" Anne ingin menjerit, ingin menuntut kebenaran, tapi ia hanya mengangguk lemas. Dalam hatinya, ia tahu rahasia yang ia simpan dengan Ray bisa menghancurkan segalanya. Tapi bagaimana jika Stefan juga menyimpan rahasia yang lebih besar? Dengan langkah berat, Anne mengikuti Stefan pulang, pikirannya terbelah antara cinta, kecurigaan, dan penyesalan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD