Bab 4

1782 Words
Matahari pagi menyelinap lembut lewat celah tirai. Aroma kopi menguar dari dapur, bercampur dengan wangi roti panggang. Anne duduk di meja makan, rambutnya masih kusut namun senyum tipis menghiasi wajahnya. Stefan duduk di seberangnya, kemeja putih setengah dikancingkan. “Malam tadi... luar biasa,” ujar Stefan, memandangnya dengan mata jenaka. “Sayangnya, dua hari lagi aku harus terbang ke Singapura. Urusan investor, kamu tahu sendiri.” Anne tersenyum, menyembunyikan rasa kecewanya. “Cepat banget ya waktunya.” Baru saja ia hendak menyeruput kopi, suara ketukan pelan terdengar. Seorang pelayan masuk, membawa buket besar bunga mawar merah segar. “Bunga untuk Tuan dan Nyonya Anne” katanya sopan. Anne mengerutkan kening. “Sepagi ini?” Stefan mengambil kartu kecil yang terselip di antara bunga. “Dari Lisa? Refleks Anne menyeletuk“Itu temanku di klub penulis. Dia pasti ingat ulang tahun pernikahan kita." “Oh,” Stefan mengangguk. “Manis juga dia.” Anne memaksakan senyum. Setelah Stefan pamit ke kantor, suasana rumah kembali hening. Ia mulai merapikan piring di meja makan saat tiba-tiba ponselnya berdering—tergeletak di kursi, persis tempat ia meninggalkannya semalam. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya mencelos: Ray. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat. Suara bariton yang dikenalnya begitu baik langsung mengalir dari seberang. “Anne... kau sangat seksi semalam,” bisiknya. “Aku rindu desahanmu.” Anne tertegun, tubuhnya membeku. Napasnya tercekat. “Bagaimana bisa...” Baru saat itu ia sadar—semalam, ponselnya tertinggal di ruang makan. Tak terkunci. Tak dimatikan. Satu kesalahan fatal. Anne menutup telepon dengan tergesa, wajahnya pucat. Ia menggigit bibir, menahan sumpah serapah untuk dirinya sendiri. Satu kebodohan, satu celah, dan Ray berhasil menyusup kembali ke hidupnya. Sore hari, Anne kembali mendapat kiriman buket bunga mawar merah disertai kartu ucapan “Selamat Hari Jadi Pernikahan, Stefan dan Anne”. Anne membaca nama pengirim: “Dari Ray." Jantung Anne berdebar kencang. Stefan, yang baru saja pulang dari kantor, memandang bunga itu dengan senyum tipis. “Dari siapa?” tanyanya sambil menaikkan alis, heran mendapat kiriman bunga berturut-turut. "Mona, temanku di klub, mereka memang sangat perhatian,” jawab Anne suaranya sedikit bergetar. Untunglah Stefan tak curiga. Pria itu hanya mengangguk dan mencium kening Anne sebelum berlalu ke ruang kerjanya. Anne menghela napas lega, tapi dadanya masih sesak. *Ray, apa maumu?* pikirnya, meremas kartu ucapan itu hingga kusut. Dua hari kemudian, Stefan harus kembali pergi ke Singapura untuk urusan bisnis. “Hanya dua minggu, Sayang. Aku akan pulang secepatnya,” ujar Stefan sambil mencium pipi Anne. Anne tersenyum tipis, tapi hatinya berat. Ia takut ditinggal sendiri, apalagi dengan ancaman Ray yang kini terasa semakin nyata. Untuk mengusir kegelisahan, Anne mengajak dua teman akrabnya, Rina dan Maya, ke sebuah klub malam di pusat kota. “Aku butuh hiburan,” katanya pada mereka, berusaha terdengar santai. Malam itu, klub dipenuhi dentuman musik dan sorot lampu warna-warni. Anne memesan segelas anggur merah, lalu satu lagi, dan lagi. Anggur itu menghangatkan tubuhnya, membuat kepalanya ringan. Sejenak masalahnya seakan raib. Rina dan Maya tertawa, menggodanya untuk menari."Ayo,Ann, jangan hanya duduk saja, bebaskan dirimu." Namun, Anne hanya tersenyum samar. “Aku ke toilet dulu,” pamitnya, berjalan dengan langkah sedikit oleng, efek dari wine yang diteguk-nya berkali-kali. Di lorong menuju toilet, kepalanya tiba-tiba berputar. Kakinya lemas, dan sebelum ia sadar, tubuhnya ambruk ke lantai. Dunia sekitarnya seketika gelap. Ketika matanya terbuka, Anne terkejut mendapati dirinya terbaring di ranjang besar dengan seprai putih bersih. Aroma hotel mewah memenuhi indranya. Ia buru-buru memeriksa tubuhnya—pakaiannya masih utuh. Lega bercampur panik. *Di mana aku?* pikirnya. Matanya lalu tertuju pada sosok pria yang tidur meringkuk di sofa di sudut ruangan. *Ray*. Jantung Anne nyaris meloncat. Ia bangkit, tapi kepalanya masih pening. Ray terbangun, mengucek mata. “Kau sudah sadar, Ann,” katanya dengan suara serak. Anne menatapnya tajam, siap melontarkan kemarahan, tapi Ray mengangkat tangan, menenangkan. “Tenang. Aku tidak menyentuhmu. Aku menemukanmu di lorong klub. Kamu hampir dilecehkan pria bule yang mabuk. Aku membawamu ke sini biar aman, tak mungkin kan aku bawa pulang kamu ke rumahku." Dia terkekeh. Lalu katanya dengan sedikit penekanan,"Aku memang bukan pria baik- baik tapi pantang bagiku memperkosa wanita tak berdaya!” Anne terdiam. Amarahnya mereda, digantikan kebingungan. “Kenapa kau ada di sana, kamu tidak menguntit-ku'kan? ” tanyanya, penuh curiga. Ray tersenyum tipis. “Kebetulan. Aku sedang bertemu teman di klub yang sama. Lalu aku melihatmu, pingsan di lorong. Apa aku harus membiarkanmu begitu saja?” Anne tak tahu harus berkata apa. Ada sisi Ray yang tiba-tiba terasa… tulus. Saat ini, Anne yakin, Ray bukan ancaman baginya, sorot mata teduh pria itu tersirat kejujuran. Sesaat keduanya tenggelam dalam keheningan yang tercipta, tidak tahu harus mulai dari mana, hanya mata keduanya saling menatap. Baru kali ini mereka bertemu secara langsung, Anne merasa jengah ditatap intens Ray. Ia lalu pura-pura sibuk melipat bedcover yang menutupi tubuhnya sembari menenangkan debaran jantungnya yang berdegup kencang tak biasa. Ray berusaha mencairkan suasana yang kaku dengan bertanya, "Apa kamu masih nulis novel? Boleh tahu judulnya apa?" Anne mendongak, tiba-tiba saja kenangan masa lalu mereka melintas—awal "keintiman" yang dimulai dari novelnya di platform on-line, "The Dark Side of Me". Wajah Anne memanas tapi ia samarkan dengan senyuman."Kamu masih baca novelku ...?" tanyanya terdengar santai padahal hatinya berdebar kencang, berharap Ray tak memperhatikannya. "Tentu saja, aku selalu menanti karyamu." Senyum Ray mengembang, ia menaruh kaki kanan bertumpu pada paha kaki kiri. " Ceritakan padaku." Perintah lembut itu disertai sorot mata dalamnya, membuat Anne seakan terhipnotis oleh kharisma pria itu. Lalu Anne mulai menceritakan tentang novel yang sedang dalam tahap revisi; latar belakang, plot, termasuk tokoh-tokoh imajinasi yang dituangkannya dalam novel tersebut. Ray menyimak setiap kata yang keluar dari mulut mungil Anne yang merekah bagai kelopak bunga dengan tatapan mata penuh perhatian dan sesekali mengangguk memahami. Di sela-sela obrolan itu hati Anne menghangat, ia merasa dihargai oleh Ray atas karya fiksinya berbanding terbalik dengan Stefan yang terkesan cuek dan meremehkan mimpi besarnya sebagai novelis terkenal. "Aku tebak, pasti ada satu tokoh yang mewakili perasaanmu, 'kan?" tanya Ray dengan senyum lembut setelah Anne membubuhkan tanda titik pada akhir kalimatnya. Anne menelan ludah, rasa terkejut menyergapnya karena tebakan Ray tepat! Pria itu selalu bisa mendalami isi hatinya dengan cara yang membuatnya merasa terbuka. "Aku tahu kamu menyematkan luka hatimu pada tokoh novel-mu , benar? Kalau kamu mau bercerita,aku siap mendengar." lanjut Ray, tatapannya tak beralih, seolah menyelam lebih jauh ke dalam mata bening Anne yang menyimpan banyak cerita. Anne tercenung, bimbang melanda hatinya, apakah dia akan mencurahkan segala yang dipendamnya pada pria ini? "Aku tidak memaksamu, Anne. Aku hanya menyiapkan telingaku dan jika kau ingin dengar nasehatku, pasti kuberikan." Ray, pria yang cerdas, dia tahu wanita seperti apa yang menjalin keintiman di dunia maya kalau bukan karena kesepian? Namun, dia ingin mendengar pengakuan Anne langsung untuk memahami lebih dalam riak-riak dalam diri wanita yang sudah mendiami hatinya ini. Biarpun apa yang dikatakan Ray itu ada benarnya, Anne tetap konsisten mempertahankan pendiriannya. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama dan tak ingin pria itu berpijak pada hatinya kembali. Menjaga jarak adalah pilihan yang terbaik. "Aku tak mengerti maksudmu, Ray. Aku dan suamiku baik-baik saja. Itu- hubungan kita dulu hanya sekedar selingan, tak berarti apa-apa." Datar suara Anne tapi sayang matanya tak bisa berbohong. Sudut bibir Ray menukik tajam membentuk senyum sinis. "Apa aku menyinggung hubungan kamu dan suamimu? Dan tentang kita, kamu harusnya terlebih dulu jujur pada hatimu." Anne tercekat, merasa terjebak dengan kalimatnya sendiri. Hening, hanya helaan napas milik Ray yang terdengar. “Jangan terlalu percaya pada Stefan, Ann.” ucap Ray. Anne mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Ray tidak menjawab tapi mengeluarkan ponselnya, membuka galeri foto. Ia menunjukkan sebuah gambar: Stefan berjalan di sebuah taman di Singapura, tersenyum bersama seorang wanita anggun yang lebih tua dari Anne. Di antara mereka ada seorang anak perempuan, sekitar sepuluh tahun, memegang tangan Stefan. Mereka tampak seperti keluarga bahagia. Anne merasa darahnya mendidih. “Dari mana kau dapat ini?” tanyanya, suaranya gemetar. Ray menghela napas. “Aku pernah bekerja untuk Stefan, di cabang perusahaan di Medan, tiga tahun lalu. Aku tahu banyak tentang dia, Ann. Wanita itu… dia bukan sekadar rekan bisnis.” Anne menggeleng, tak ingin percaya. “Kau cuma ingin balas dendam pada Stefan, bukan? Kau sengaja mendekatiku untuk menghancurkannya!” Ray menatapnya tajam. “Bukan balas dendam. Aku mencintaimu, Ann. Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu di kantor Medan. Aku orang baik-baik, buktinya aku tidak memanfaatkan-mu semalam. Aku hanya ingin kau tahu kebenaran tentang suamimu. Apa kau sadar kau sudah dibodohi-nya selama ini?" Kata-kata Ray membuat Anne terdiam. Ia marah, bingung, dan terluka. Gambar Stefan dengan wanita lain itu terus berputar di benaknya. *Apakah Stefan punya istri simpanan?* pikirnya. Rasa sakit hati memicu kemarahan yang lebih besar—kemarahan yang mendorongnya untuk membalas. Ia menatap Ray, matanya berkaca-kaca. Ia sangat tergoncang, suami yang ia pikir setia dan sangat mencintainya telah mendua hati. Ray memangkas jarak dengan Anne, duduk di pinggir ranjang menghadap wanita itu. "Kamu boleh nangis di dadaku, Ann." Wanita yang terluka itu tak lagi bisa menahan tangisnya. "Mengapa kau tunjukkan padaku, Ray?" ia tergugu. Ray menarik napas lalu memeluk Anne erat. "Ann, aku hanya ingin membuka matamu. Selama ini kamu terus merasa bersalah, padahal suamimu melakukan jauh lebih dari yang kamu lakukan." Ray membelai lembut rambut panjang bergelombang Anne. Sekian menit Anne berada dalam pelukan Ray, d**a bidang pria itu menghangatkan hatinya. Ray melonggarkan pelukan lalu menjepit dagu Anne. Dia berkata lembut, "Kamu jangan hancur hanya karena dia mengkhianatimu. Kamu harus tegar, Ann." Anne melipat bibir dalam, Ray mengusap sisa air mata wanita itu. Kata-kata manis Ray menghanyutkan Anne. Dalam hatinya, ia ingin Stefan merasakan sakit yang sama. Dan entah siapa yang memulai bibir dulu, bibir mereka bertemu, saling melilit penuh gairah yang terlarang. Namun, di tengah panasnya, sesuatu di dalam hati Anne berbisik, memperingatkannya. *Apa yang aku lakukan?* Tapi amarah pada Stefan terlalu kuat, mendorongnya lebih jauh ke dalam pelukan Ray. Pagi harinya, Anne terbangun dengan kepala penuh penyesalan. Ray masih tidur di sampingnya, wajahnya tampak damai. Anne menatapnya, bingung dengan perasaannya. Ray telah menyelamatkannya, menunjukkan sisi yang tanya tulus, tapi ia juga membawa rahasia yang bisa menghancurkan pernikahannya. *Apakah aku bisa mempercayainya?* pikirnya. Anne bangkit pelan, mengenakan pakaiannya. Ia harus pulang, merenung, dan memutuskan langkah selanjutnya. Namun, saat ia sudah di luar pintu, ponselnya bergetar. Pesan dari Ray, yang ternyata sudah bangun dan melihatnya pergi: “Ann, aku akan selalu ada untukmu. Pikirkan apa yang kukatakan tentang Stefan.” Anne menggigit bibir, berdebar. *Ray, apa maumu sebenarnya?* Ia tahu, pria itu tak akan berhenti. Dan jika Stefan tahu tentang malam ini, atau tentang masa lalunya dengan Ray, segalanya akan benar-benar hancur. Dengan langkah berat, Anne meninggalkan hotel, membawa rahasia yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD