SATU TAHUN LALU.
Anne berada di puncak popularitasnya sebagai penulis novel online dengan nama samaran Jeane. Novel-novelnya, penuh intrik emosional dan sentuhan liar, memikat ribuan pembaca di platform digital. Namun, kehidupannya sebagai istri Stefan, pebisnis sukses yang sering bepergian ke luar negeri, terasa sepi. Stefan kerap meninggalkannya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk urusan bisnis, menyisakan Anne dengan laptop dan imajinasinya sebagai teman setia.
Hari itu, seperti biasa, Anne duduk di sudut kafe favoritnya, mengetik bab terbaru novelnya, The Dark Side of Me. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela besar, menyapu meja kayu tempat laptopnya bertahta. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Notifikasi i********:. Anne mengerutkan kening saat membaca pesan dari akun @Ray_Voyage:
“Jeane, novelmu The Hidden Truth bikin aku tak bisa tidur. Tapi, karakter utamanya kurang berani mengambil risiko. Apa kau sengaja bikin dia begitu?”
Anne mendengkus. Kritik lagi. Ia hampir mengabaikan pesan itu, tapi nada tulisan pria ini—tajam, namun cerdas—membuatnya penasaran. Dengan jari lentik, ia membalas, “Terima kasih atas masukannya. Tapi, menurutku, karakter itu justru realistis. Apa kau punya saran?”
Tak disangka, balasan Ray datang cepat. “Realistis, tapi membosankan. Coba buat dia lebih… liar. Seperti kau, mungkin?” Diakhiri dengan emotikon mengedip.
Anne tersenyum kecil, sedikit jengkel tapi tertantang. “Kau tahu apa tentangku?” ketiknya, setengah bercanda.
Dari situlah percakapan dimulai. Awalnya, Ray hanya penggemar yang suka mengomentari setiap bab novel Anne. Ia selalu punya sudut pandang unik, kadang membuat Anne kesal, tapi sering juga membuatnya berpikir. Ternyata, Ray adalah pembaca setia yang mengikuti karya Jeane sejak novel pertamanya, bahkan bisa mengutip dialog dari bab-bab awal—sesuatu yang membuat Anne tersanjung.
Seiring waktu, obrolan mereka meluas. Dari diskusi tentang plot dan karakter, menjadi percakapan ringan tentang kopi, musik, hingga pandangan hidup. Anne merasa nyaman. Ray punya cara menulis yang hangat, jenaka, dan kadang genit, tapi tak pernah kelewatan. Ia mengira Ray hanyalah penggemar biasa, mungkin pria muda yang terlalu antusias, atau—setengah bercanda ia berpikir—AI yang diprogram untuk mengobrol dengannya. Bagaimanapun, Anne merasa aman. Mereka hanya berbagi kata-kata di dunia maya, tanpa wajah, tanpa identitas nyata.
Saat novel baru Anne, The Dark Side of Me, dirilis, ia meminta pendapat Ray. “Keren, Jeane. Sisi liar karakternya… itu kau, bukan?” tulis Ray, disertai emotikon api. Anne tertawa, tapi ada getar aneh di dadanya. Ray sering memuji “sisi liar” dalam tulisannya, seolah tahu lebih banyak tentang Anne daripada yang ia ungkapkan.
“Jangan terlalu percaya diri, Ray. Ini cuma fiksi,” balas Anne, mencoba menjaga jarak. Tapi Ray tak berhenti. “Fiksi selalu punya sedikit kebenaran, Jeane. Aku suka sisi gelapmu.”
Hari-hari berlalu, dan Stefan kembali pergi ke Singapura untuk negosiasi kontrak besar. Anne ditinggalkan di rumah besar yang sepi. Di tengah kesunyian, pesan-pesan Ray menjadi pelarian. Obrolan mereka semakin intens, semakin personal. Ray mulai menggoda dengan lebih berani. “Kalau aku jadi suami Jeane, aku tak akan biarkan dia sendirian menulis novel di malam hari,” tulisnya suatu malam.
Anne menatap layar ponselnya, berdebar. Ia tahu ini salah, tapi ada bagian dirinya yang tersanjung. Stefan, meski setia dan penuh kasih, jarang punya waktu untuknya. Bisnis selalu nomor satu. “Kau tak tahu apa-apa tentang hidupku,” balas Anne, gestur wajahnya sedikit genit.
Malam itu, Ray mengirim pesan yang mengubah segalanya. “Aku ingin mendengar suaramu, Jeane. Apa salahnya? Kita kan sudah lama ngobrol. Aku bukan AI, lho.” Disertai nomor w******p.
Anne ragu. Jari-jarinya menggantung di atas papan ketik virtual. Ini langkah berbahaya, ia tahu. Tapi kesepian menggerogoti. Stefan baru saja mengirim pesan singkat, “Meetings all day, Sayang. Mungkin baru bisa video call besok.” Anne mendengkus, kesal. Di sisi lain, Ray menawarkan perhatian yang hangat, begitu… nyata.
Dengan jantung berdebar, Anne menyimpan nomor Ray dan mengirim pesan pertama di w******p. “Ini Jeane. Jangan kecewakan aku, Ray.”
Tak sampai semenit, balasan datang. “Akhirnya! Suaramu pasti seksi seperti tulisanmu.” Anne tergelak, tapi juga gelisah. Ini bukan lagi sekadar obrolan penggemar-penulis. Ini sesuatu yang lain.
Obrolan w******p mereka berkembang pesat. Suatu malam, setelah beberapa gelas anggur dan perasaan kesepian yang kian menyesakkan, Anne terbawa suasana. Ray mengusulkan panggilan video, dan entah bagaimana, percakapan mereka berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih intim. Dalam kegelapan kamarnya, dengan hanya cahaya layar ponsel menerangi wajahnya, Anne terlibat dalam panggilan video yang penuh gairah dengan Ray. Desahannya, yang kini ia sadari sebagai momen kelemahan, memenuhi udara malam itu. Meski mereka tak pernah bertemu, Anne sempat mengirim foto setengah bugil kepadanya—foto yang segera ia hapus dari ponselnya, berharap bisa menghapus rasa bersalah itu juga.
Di sisi lain dunia, Stefan menghadapi ujiannya sendiri. Sekretarisnya, Clara, wanita berparas menawan, tak henti mencoba mendekatinya. Di sebuah makan malam bisnis, Clara sengaja duduk terlalu dekat, tangannya sesekali menyentuh lengan Stefan. “Kau terlihat tegang, Stefan. Aku bisa bantu relaks,” katanya dengan senyum menggoda.
Stefan menegakkan tubuh, menjaga jarak. “Terima kasih, Clara, tapi aku baik-baik saja. Aku sudah menikah.” Nada suaranya tegas, tapi sopan. Clara tersenyum tipis, tak menyerah, tapi Stefan tak goyah. Ia mencintai Anne, dan meski kesibukannya sering memisahkan mereka, ia tak pernah berpikir untuk mengkhianati istrinya.
Sayangnya, Anne tak sekuat itu. Panggilan suara dengan Ray berlanjut, suara baritonnya yang dalam dan penuh pesona membuat Anne semakin terpikat. “Kau pasti cantik, Jeane,” katanya suatu malam, membuat Anne tersipu. Kata-kata Ray terasa intim, seolah ia mengenal Anne lebih dalam dari siapa pun.
Puncaknya terjadi saat Stefan memperpanjang perjalanan bisnisnya tiga hari lagi. Anne, merasa diabaikan, larut dalam percakapan dengan Ray. “Kadang aku bertanya-tanya, apa aku masih… cukup untuknya,” curhat Anne, suaranya parau.
“Kau lebih dari cukup, Jeane. Pria mana pun akan beruntung memilikimu,” jawab Ray. “Kalau kau milikku, aku tak akan biarkan kau meragukan dirimu sendiri.”
Kata-kata itu seperti racun manis. Anne tahu ia bermain dengan api, tapi tak bisa berhenti. Ray mulai mengirim pesan-pesan yang semakin berani, menggambarkan fantasi tentang mereka berdua. Anne, yang awalnya hanya tertawa, perlahan membalas dengan nada serupa. “Kau terlalu berani, Ray,” katanya, tapi desis suaranya penuh godaan.
Malam itu, saat Stefan tertidur lelap di hotelnya di Singapura, Anne dan Ray melanjutkan percakapan hingga larut. “Aku ingin bertemu denganmu, Jeane,” kata Ray, suaranya penuh hasrat. “Aku tahu kau juga menginginkannya.”
Anne menelan ludah. “Kita… kita tak bisa, Ray. Aku sudah menikah.” Tapi suaranya lemah, penuh keraguan.
“Kau tak bahagia, Jeane. Aku bisa membuatmu bahagia,” balas Ray, penuh keyakinan.
Anne menutup panggilan itu dengan tangan gemetar. Ia tahu ia telah melangkah terlalu jauh. Tapi ada bagian dirinya yang tak ingin berhenti. Ray telah membangkitkan sesuatu dalam dirinya—sisi liar yang ia tuangkan dalam novel-novelnya, tapi kini ia jelajahi dalam kehidupan nyata.
Hari-hari berikutnya, Anne berusaha menjaga jarak, tapi Ray tak berhenti menghubunginya. Pesan-pesannya semakin posesif, semakin menuntut. “Kau milikku, Jeane,” tulisnya suatu hari, membuat Anne panik. Ia menyadari bahwa apa yang dimulai sebagai pelarian dari kesepian kini telah menjadi ancaman.
Saat Stefan akhirnya pulang, Anne berusaha melupakan Ray. Ia memblokir nomornya, mengabaikan pesan-pesan di i********:. Tapi Ray tak menyerah. Ia terus mencoba menghubungi, mengirim pesan dari akun baru, seolah tak bisa melepaskan Anne begitu saja.
Satu tahun kemudian, malam ini, suara Ray kembali muncul di ujung telepon, membawa kembali kenangan yang Anne coba kubur. Dan kali ini, karena kecerobohannya lupa menutup panggilan, Ray telah mendengar sesuatu yang seharusnya pribadi—momen intim antara Anne dan Stefan. Lebih buruk lagi, Ray tampaknya tak hanya ingin mengingat masa lalu. Ia ingin mengklaim masa depan.
Anne, yang kini terbangun dari gairah dan terduduk di tepi ranjang, memandang Stefan yang tertidur di sampingnya. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan kau lakukan sekarang, Ray? batinnya, penuh ketakutan. Ia tahu, pria itu tak akan berhenti. Dan jika Stefan tahu, segalanya akan hancur.
,