“Gue denger-denger, rumah lo dijual. Emang bener?” tanya Sita. Aku yang sedang makan cilok dari plastik mendadak terbatuk. Dia tahu dari mana? Padahal aku menyembunyikan fakta ini serapat mungkin, tapi pada akhirnya bocor juga.
“Tahu dari mana?” tanyaku sambil mengunyah. Kali ini kami tengah berada di dalam gudang. Sembunyi dari pelanggan untuk sekadar mengganjal perut. Aku membeli cilok sementara Sita memesan bakso cuanki.
“Dari Seno. Seno dari Damar. Katanya lo juga tinggal bareng sama pemilik rumah barunya, ya? Dia pacar lo? Tapi bukannya pacar lo si Andra? Atau kalian udah putus?”
Damar kurang ajar. Kenapa bocah itu begitu ember? Aku menelan kunyahan cilok di mulutku, lantas menenggak air mineral. “Gue kerja paruh waktu sama pemilik rumah barunya.”
“Rajin amat. Berapa duit? Kalau gue, sih, ogah kerja paruh waktu. Nggak bakal punya waktu istirahat.”
“Itu lo. Kalau gue, kan, beda lagi.”
“Iya. Kerja paruh waktu lo dibayar berapa?”
“Empat juta per bulan.”
Mata Sita membola, sedetik kemudian dia tersedak kuah cuanki kemudian terbatuk. Mampus, efek kepo, tuh, kayak gitu.
“Gede amat. Gue juga mau kalau gajinya segitu.”
Aku memutar bola mata darinya. “Katanya tadi males?”
“Itu tadi. Sekarang beda lagi.”
Dan kami tertawa bersamaan. Sita salah satu temanku yang nggak munafik. Dia selalu berkata jujur apa adanya, juga orangnya lebih menghargai perbedaan. Dia berbeda dengan Siti, musuh bubuyutanku yang sering ngomong A, tapi praktek B. Senang mengabsen kesalahan orang lain, tapi buta mengoreksi diri sendiri.
Saban hari, Siti selalu mengeluh tentang adik iparnya. Dia selalu mengunggulkan keluarganya yang katanya kaya, tapi dia sendiri cuma lulusan SMA. Padahal adik iparnya begitu baik, bahkan selalu meminjamkan uang ke Siti, tapi Siti tak pernah membicarakan kebaikan adik iparnya, yang selalu dia absen hanya kesalahannya saja.
Berbeda kalau pihak keluarganya yang berbuat baik. Cuma dikasih ulekan sama emaknya saja heboh pamer ke mana-mana, tapi adik iparnya yang memberi sepaket alat make up lengkap dia sebut barang KW. Juga, Siti selalu SKSD ke orang-orang yang punya nama. Ke Bu Haji yang ada di komplek kami, ke bos minimarket, ke Bu Lurah, dan jajaran orang kenamaan lainnya. Apalah daya remahan rengginang macam aku, hanya dipandang sebelah mata. Jadi, mari banyak duit biar orang-orang macam Siti bisa SKSD ke kita. Nanti tinggal kita depak perlahan sampai kena mental. Kuy, halu saja dulu sampai dicatat malaikat.
Ah, kok aku semakin kesal sama Siti, ya?
“Kayaknya tadi aku lihat Seno mabok di sini, deh, Bos.” Siti yang panjang umur datang ke gudang bersama bos kami. Aku dan Sita bertukar pandang saat bos melihat kami asyik makan. Tamat sudah riwayatku di tangan Siti yang caper.
“Malah asyik-asyik makan, bukannya kerja kalian!” Bos memandang kami sambil bertolak pinggang. Siti yang berada di belakangnya hanya diam, berpura-pura tak melihat kami. “Kerja! Jangan makan mulu!” lanjut Bos. Aku dan Sita langsung berdiri dan menunduk patuh.
“Mungkin mereka lapar, Bos.” Siti mencoba menenangkan. Sudah membuat perkara, sok-sokan jadi penengah. Aku semakin benci ke Siti yang suka caper ini.
***
Saat aku sedang asyik mengelap kaca toko, tiba-tiba sebuah mobil BMW terpakir di halaman, dan sosok Galaksi muncul mengenakan setelan kemeja putih dan celana chinno hitam. Dia berjalan sambil menyugar rambut cokelatnya ke belakang kemudian memandangku dengan sebelah alis terangkat. Sumpah, parasnya begitu rupawan. Kalau dilihat-lihat, dia sangat mirip dengan V BTS. Nyaris mendekati sempurna layaknya pahatan dewa.
Omong-omong, rambut hijau bola tenisnya sudah diganti menjadi warna cokelat. Setidaknya dia terlihat normal untuk saat ini.
“Lap sampe mengkilat!” Galaksi menggodaku, kemudian memasuki toko tanpa sempat aku menjawab. Kuintip dia dari kaca, Galaksi terlihat berjalan berputar-putar mengelilingi gondola. Sesekali menggaruk kepalanya bingung. Aku tertawa cekikikan memandangnya, dan Galaksi memandangku secara tiba-tiba, dia melotot nggak terima saat tahu sedang diketawain.
Perlahan Galaksi berjalan mendekat padaku, dia berdeham singkat kemudian mengusap hidungnya sekilas.
“Damara lagi apa?” tanyanya. Aku terbahak mendengar Galaksi yang sok-sokan bersikap manis.
“Lo nggak lihat gue lagi apa?”
“Ngelap kaca.”
“Itu lo tahu.”
Tiba-tiba Galaksi menyondongkan tubuhnya, menarik lengan seragamku agar mendekat, lantas ia berbisik tepat di telingaku. “Gue butuh pengaman.”
“Apa?”
“Gue butuh pe-nga-man.”
“Pengaman apaan? Case hp?”
Galaksi mendesis pelan. Ia mencubit pinggangku yang mana bikin aku meringis sakit. “Kon-dom, geblek.”
Mulutku membulat. a**************i? Buat apa? Apa dia sudah punya pacar lagi? Kalau iya, kenapa cepat sekali. Udah kayak ganti dalaman aja.
Dan entah kenapa, hatiku sakit saat mendengarnya. Padahal seharusnya aku nggak berharap banyak. Jelas-jelas kami berbeda kasta. Dan kesempatan untuk memeluk Galaksi sangat tidak mungkin bagi satelit bumi macam aku. Aku berada di bawah kuasanya, dan hanya Galaksi yang dapat memutar balikan keadaan.
“Ngelamun mulu. Ada nggak?”
“Bentar.” Aku berlalu menuju ke rak depan. Di sana ada banyak a**************i dari berbagai merek. Kuambil sekotak, lantas memberikannya ke Galaksi. Galaksi terlihat memandangku ragu-ragu tapi di detik selanjutnya aku tertawa palsu. “Mau bawa cewek mana, nih?” tanyaku berpura-pura ceria.
“Nggak bawa cewek mana-mana,” jawabnya singkat. Dia pergi ke meja kasir untuk membayar belanjaannya. Sementara aku hanya memandang punggung tegapnya dengan beribu harap yang nggak mungkin terwujud sampai kapan pun.
“Nanti gue nggak bakal pulang kayaknya. Lo nggak usah nungguin gue.” Galaksi menghampiriku kembali setelah selesai membayar. Dia menepuk pundakku kemudian tersenyum tipis.
“Oh, nggak apa-apa. G-gue juga bakal jalan sama Andra.” Aku berbohong. Galaksi tampak membulatkan mata sejenak.
“Gue bilang nggak usah deket-deket sama Andra. Dia bukan cowok baik-baik!”
“Tapi gue suka sama Andra.” Aku kembali berbohong. Tak apa, kan, berbohong demi kebaikan?
“Gue nggak ijinin lo jalan sama bocah itu!”
“Siapa, lo?” tanyaku nggak terima.
“Lo mesti kerja. Nggak boleh pacaran! Gue bayar lo, ya, inget!”
Aku menautkan kedua alisku tak mengerti. Dia menyuruhku berdiam diri di rumah sementara dirinya asyik-asyik tidur dengan cewek lain, begitu?
“Kerjaan pasti gue beresin. Dan urusan pribadi gue bukan urusan lo!” Aku mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajahnya. Galaksi menepis jari telunjukku kemudian menyeretku pergi menjauhi area toko. Bagaimana tidak, Sita, Seno, dan Deon sudah saling senggol saat melihat pertengkaran kami. Aku yakin sekarang mereka sedang bergosip.
“Apa, sih, lo ngatur-ngatur gue!” Aku menarik tanganku yang dicengkram kencang olehnya. Galaksi menyudutkanku ke tembok belakang toko. Di sini sepi tak ada siapa pun.
“Gue bakal cium lo, kalau lo nggak mau nurut sama gue!”
Bersambung...
GAK USAH BAPER! GALAKSI PUNYA GUE!
Gimana part ini? Baper nggak? Komen di bawah buat yang suka sama cerita ini.