“Lo putusin, deh, si Andra. Dia bukan cowok baik-baik!” Galaksi mengingatkanku. Ini sudah peringatan ke empatnya sejak dia menyeretku keluar dari gedung bioskop. Kali ini kami tengah berada di dalam mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah.
“Gue takut patah hati. Gue takut nyesel.” Aku menundukan kepala sambil memainkan jemari layaknya anak TK yang sedang dimarahi ayahnya.
“Cih, dasar bucin!” cibirnya tanpa menoleh ke arahku, matanya tetap fokus akan jalanan.
Kupandang wajahnya dari samping. Galaksi tampak menghela napas berkali-kali. Kendati dia selalu terlihat tenang dan ceria, entah kenapa saat ini aku menemukan sesuatu yang berbeda di balik ekspresi wajahnya. Galaksi terlihat terluka, kentara dari sorot matanya yang melemah.
“Lo baik-baik aja, kan?” tanyaku. Galaksi bergeming sambil menatap kosong jalanan. “Kalau lo mau cerita, gue siap jadi pendengar.”
“Gue nggak kenapa-kenapa. Ah, bawel banget!”
“Ya udah biasa aja, dong, jawabnya!” jawabku ketus. Kesal akan responnya yang tak sesuai dengan ekspektasi.
Galaksi diam. Kupandang kembali wajahnya. Tiba-tiba aku teringat kejadian kemarin malam, di mana Galaksi menciumku, memasukan lidahnya ke mulutku. Mengingatnya membuat gelenyar aneh dalam diriku membuncah. Kugelengkan kepala kuat-kuat, bahkan kupukul pelan agar kewarasanku kembali. Tidak! Aku tak boleh mengingatnya lagi. Namun, memandang Galaksi membuatku betah berkhayal. Bocah ini terlalu panas menurutku.
“Ngapain lo mukul-mukul kepala?” tanya Galaksi. Aku menoleh padanya dengan wajah innocent-ku. “Ngebayangin aneh-aneh sama Andra, ya?”
Bukan Andra, tapi lo! Teriakku dalam hati. Galaksi malah cengengesan di tempatnya. Entah kenapa, rasa ibaku padanya berubah menjadi kekesalan.
“Dih. Otak lo kotor! Sini, gue bersihin!” ledeknya.
“Apa, sih. Gue nggak mikirin Andra!”
“Berarti mikirin gue?”
“Najis!”
Galaksi terkekeh sambil melirikku sekilas. Keheningan merebak beberapa saat, kemudian dia berucap secara tiba-tiba, “Soal semalam gue minta maaf, ya. Gue khilaf!”
“Hem,” jawabku. Padahal aku berharap dia mengucapkan kalimat yang berbeda. Aku berharap Galaksi mengatakan bahwa dirinya benar-benar tulus menginginkanku dari hati, bahwa Galaksi tertarik padaku dan ingin belajar mencintaiku. Ah, tapi imajinasiku kejauhan. Mana mau seorang Galaksi mencintai remahan kue khong guan macam aku?
“Lo nggak marah, kan?”
“Percuma marah, udah kejadian juga.”
Galaksi mengangguk setuju. Dia menatapku sekilas kemudian tersenyum kecil. Fokusnya kini kembali ke jalanan, memandang rintik-rintik hujan yang membasahi aspal. Langit sore berubah gelap, dan hujan yang mengguyur berangsur deras. Udara dingin menusuk sampai ke dasar tulang, lantas kuusap lenganku naik turun mencari kehangatan.
Galaksi melirikku tanpa kata, lantas tangannya bergerak maju untuk mematikan AC. Dibukanya hoodie hitam yang melekat di tubuhnya, lantas melemparkannya secara serampangan padaku. Tepat di depan mukaku.
“Pake!” katanya ketus.
“Gak bisa manis, ya, lo?”
“Yang penting gue baik.”
Baik apanya? Pikirku dalam hati. Lantas ku kembalikan hoodienya dengan kesal. Galaksi menatapku sambil menaikan sebelah alisnya tak terima. Dia melempar kembali hoodie itu ke mukaku dengan gemas.
“Gue bilang pake, ya, pake!” katanya, menjejalkan hoodie ke tanganku.
“Gue nggak mau!” Aku melempar kembali hoodie itu ke mukanya. Galaksi menurunkan hoodie dari mukanya dengan kasar, karena itu justru menghalangi pandangannya.
“Nurut aja ngapa, sih?” kesalnya. Memandangku dengan gigi bergemeletuk.
“Lo suka maksa, males gue!”
“Pake, nggak?”
“Nggak!” Aku membuang muka darinya, menatap ke arah jendela.
“Kalau lo nggak mau pake, gue pakein, nih!”
“Coba aja kalau berani!”
Galaksi tertawa, aku melihatnya di balik pantulan kaca pintu. “Lo nantangin gue?” tanyanya. Dan aku memilih diam, bersandar ke kursi lalu memejamkan mata.
Tiba-tiba Galaksi menepikan mobilnya ke bahu jalan, kemudian mengerem mendadak. Badanku terdorong ke depan, hampir saja kepalaku terbentur dashboard. Kutatap Galaksi setajam mungkin, sementara cowok itu hanya menaikan sebelah alisnya sambil mendekat padaku. Dia meraih pundaku kemudian menepuknya pelan.
“Gue pakein lo baju, ya.” Galaksi menyeringai. Aku bergerak mundur hingga tubuhku mepet ke pintu mobil dan Galaksi malah cengengesan tanpa dosa.
“Lo mau ngapain?”
“Mau pakein lo baju,” jawabnya santai. Dia memasukan hoodie-nya ke kepalaku, memasukan tanganku satu per satu ke dalamnya. Jantungku bertalu-talu dibuatnya. Yang kulakukan hanya diam menurut bagai anak bayi. Galaksi sukses membuatku merasa terhipnotis.
Galaksi, apakah dia memiliki sihir sehingga aku bisa lumpuh tanpa pergerakan?
“Good girl,” katanya sambil mengacak pelan rambutku. Aku menunduk, melihat penampilanku yang sudah terbalut hoodie. Pandanganku beralih, memandang Galaksi yang kembali menyalakan mesin mobil. Sikapnya begitu santai seolah di antara kita tak terjadi apa-apa. Apa Galaksi selalu seperti ini ke setiap wanita? Kalau iya, aku perlu berhati-hati.
***
Sesampainya di rumah, aku mematikan ponsel kemudian mengisi daya. Biarkan saja ponselku mati semalaman untuk menghindari Andra. Aku terlanjur kesal padanya, dia membuatku terlihat tak punya harga diri. Masa iya dia meninggalkanku demi sebuah jam tangan? Apakah itu tidak keterlaluan?
Mungkin benar apa yang dikatakan Galaksi, aku perlu memutuskannya. Andra bukan lelaki baik-baik, dia lepas tanggung jawab, bahkan malas berusaha. Tapi, apakah di masa mendatang aku nggak akan menyesal? Banyak yang mau, lho, sama Andra, karena dia cowok tampan. Kalau Andra ikut casting sinetron, aku yakin dia pasti lolos.
Lagi pula, sekali pun aku lenyap dari muka bumi, Andra tak akan peduli. Untuk apa repot-repot sembunyi kalau muncul saja tidak akan dicari?
“Damara!” Galaksi berteriak dari ruang tengah. Aku yang baru saja rebahan di kasur mendadak bangkit sambil menggaruk kepala. Ini bocah mau ngapain, sih?
“DAMARA!”
“Bentar!” jawabku.
“Sini, lo!”
Segera aku berlari kecil ke ruang tengah. Di sana ada Galaksi yang sedang rebahan di atas sofa sambil makan kacang. Kulit kacang berserakan di mana-mana, aku memandangnya sambil menggertakan gigi. Menahan emosi.
“Temenin gue!” katanya sambil menepuk pelan ruang kosong mengenakan kakinya. “Noh, duduk di sana.”
Aku duduk tepat di samping kakinya yang masih terbalut kaos kaki. Dia cengengesan sambil menonton pertandingan bola di layar televisi. Menenggak bir kalengan sesekali, kemudian mengupas kulit kacang dan membuangnya sembarangan. Please, lah, jangan buat emosiku membuncah. Sudah cukup Andra yang membuat mood-ku berantakan, jangan Galaksi.
“Kupasin!” perintahnya, melempar sebungkus kacang kemasan padaku secara serampangan. Bungkus kacang itu mendarat tepat di mukaku, dan pelakunya hanya memasang wajah tanpa dosa. “Buruan!”
“Kupas sendiri bisa, kan?” tanyaku, memandangnya tanpa ekspresi. Galaksi hanya menoleh sekilas kemudian mengangkat bahu tak peduli.
“Jempol gue sakit, nih.” Galaksi beralasan.
“Sakit apaan?”
“Sakit aja.” Dia menunjukan jempolnya padaku yang baik-baik saja. Aku memutar bola mata darinya sementara Galaksi hanya cengar-cengir tanpa dosa. Mendadak aku sangsi bahwa Galaksi baru saja patah hati, sikapnya yang bertolak belakang sama sekali tak mencerminkan bahwa cowok itu dalam keadaan yang tak baik-baik saja.
Bersambung...
Galaksi ngeselin, ya? Tapi aku cinta ❤?
Jangan lupa komen di bawah. Yang membuat author semangat buat lanjutin cerita, tuh, komen kalian semua.
Jangan lupa baca ceritaku yang lain;
1.Sesha
2.Perfect Scandal