Pagi di Malang dimulai dengan kabut tipis, dan Inari duduk di balkonnya dengan piyama lusuh yang sudah ia pakai sejak tadi malam. Secangkir kopi hitam di tangan. Kepala penuh sesak oleh sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia jalani lagi dalam hidupnya.
Ia memandangi teleponnya. Chat terakhir dari Bramasta terpatri di matanya.
Bramasta: Tidur yang nyenyak, Inariku. Kamu rumah buat aku.
Inari mengembuskan napas panjang.
Rumah. Kata itu sudah membuatnya merasakan sesuatu yang membuatnya bahagia dan bangga. Dia teringat tentang masa lalunya dengan mantan suaminya. Lelaki yang berjanji akan selalu setia, mengkhianati pernikahan mereka demi wanita lain yang dianggap lebih dari Inari, membuat Inari menjadi sangat terpukul. Sekarang, seseorang mengatakan dirinya sebagai rumah, membuatnya merasa sangat tersentuh.
Inari tidak membalas pesan itu. Bukan karena tidak ingin, melainkan karena takut apa pun yang ditulisnya akan membuat dirinya semakin tenggelam dalam rasa bahagia ini. Meski begitu, ia membuka chat itu berulang-ulang sampai layar ponselnya redup sendiri. Dia tidak mau tersakiti, tetapi perhatian dan kenyamanan yang Bramasta tawarkan tidak mampu ditolak olehnya.
Sekitar pukul sepuluh pagi, teleponnya berdering. Nama yang muncul membuat napasnya tercekat.
Bramasta. Ia sempat ingin diamkan, tapi jemarinya bergerak sendiri. Dia tidak bisa menahan keinginan hatinya. Logikanya tidak secepat hatinya bertindak sehingga mengambil alih kontrol tubuhnya tanpa sadar.
“Halo...” suaranya serak.
“Ri, kamu udah sarapan? Aku ada dekat sini. Boleh mampir?”
Deg. Inari memejamkan mata.
“Sini? Sekarang?” Suaranya kecil, tapi senyumnya terbit cukup lebar.
“Iya,” sahut Bramasta santai, seperti tidak sadar bahwa tubuh Inari langsung menegang mendengarnya.
“Bukannya kamu harus kerja?”
“Aku nggak di kantor, aku ada urusan di luar. Aku juga... rindu kamu.”
Kalimat itu menghantam dadanya. Dalam sekaligus menyakitkan bagi seseorang yang pernah terluka dan sulit untuk percaya cinta untuk tidak merasakan apapun saat mendengar kerinduan seseorang pria untuknya setelah sekian lama tidak mencicipi manisnya sebuah perhatian dari lawan jenis yang disukai.
“Bram…” Inari hendak menolak, tapi lidahnya seolah membatu.
“Aku cuma sebentar, janji.”
Nada suaranya merendah, merayu.
“Biarkan aku lihat kamu sebentar aja. Aku akan mati karena kangen kalau belum melihat wajahmu, Sayang...”
Sayang. Tembok itu runtuh seketika. Ia kalah. Lagi.
“Ya sudah… hati-hati ya,” bisiknya.
Detik itu juga, ia menyesalinya. Akan tetapi sudah terlambat.
Setengah jam kemudian, suara mobil terdengar berhenti di depan rumahnya. Inari menyingkap tirai sedikit. Bramasta turun dari mobilnya dengan kemeja biru, rambut agak berantakan, membawa plastik berisi makanan.
Inari membukakan pintu. Bramasta langsung tersenyum—senyum hangat yang dulu hanya milik seorang laki-laki 14 tahun yang suka meminjamkan pulpen dan membela Inari dari ejekan teman laki-laki lain.
Kini senyum itu segera akan menjadi miliknya. Inari merasakan hatinya bergetar.
“Aku bawain rawon.” Bramasta mengangkat plastik itu. “Kamu semalam kurang makan. Aku nggak mau kamu sakit.”
“Tadi aku udah—”
“Ri,” potong Bramasta lembut sambil menyentuh pipinya. “Aku pengin kamu makan yang banyak biar aku nggak khawatir.”
Sentuhan itu membuat tubuh Inari merinding. Bukan karena dingin—tapi karena hangat itu belum resmi menjadi miliknya. Mereka memang dekat, tetapi belum ada kepastian tentang status mereka.
"Boleh aku masuk?"
Inari mengangguk pelan.
Mereka masuk ke rumah. Bramasta membuka plastik, menata semua di meja makan kecil Inari.
“Aku nggak nyangka kamu datang sepagi ini,” gumam Inari sambil duduk.
“Aku juga nggak nyangka kamu bikin aku segila ini,” jawab Bramasta santai, membuat Inari langsung menoleh.
“Bram…” Bibirnya bergerak tapi kehilangan kata.
Karena inilah bahaya sebenarnya, Bramasta tidak terlihat seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Ia hadir sepenuh hati, seolah ia tidak memiliki orang lain selain Inari membuat perempuan itu percaya untuk membuka hatinya dan mempersilakan pria itu merasuk ke dalam hatinya lebih dari yang direncanakan.
“Ri,” panggil Bramasta lagi sambil duduk di sampingnya, bukan di seberang. “Semalam aku tidur terlalu nyenyak. Kamu bikin aku lupa segalanya.”
Ucapan itu membuat daada Inari terasa sesak.
“Kamu tidak boleh lupa segalanya,” balasnya pelan.
Bramasta menatapnya lama, lembut, tidak defensif dan tidak marah. Hanya… menatap seperti laki-laki yang mencintai perempuan di hadapannya.
“Aku tahu kamu udah tahu, Ri,” ucapnya tiba-tiba.
Inari tersentak. “T-Tahu apa?”
“Bahwa aku mencintaimu.”
Darah Inari seperti berhenti mengalir. Tangannya gemetar.
“Aku nggak mau kamu takut, atau mundur. Aku nggak akan biarkan kamu sendirian lagi.”
Inari meletakkan sendoknya. “Jangan bilang kayak gitu.”
“Aku serius.”
“Tolong jangan.”
Bramasta meletakkan tangannya di atas tangan Inari.
“Ri… aku akan menikahimu...”
“Apa? Kita baru bertemu kemarin.”
"Aku akan menikahimu secara agama lebih dahulu. Setidaknya, tetangga atau orang lain tidak akan berbisik hal buruk tentangmu bila aku datang ke sini."
"Hah? Kamu..."
Bramasta mengeluarkan sesuatu. Sebuah cincin.
"A-apa ini?" Suara Inari bergetar.
"Ayo nanti kita ke rumah pak RT, sekalian cari pak kyai agar mereka menikahkan kita."
"Secepat itu? Kamu yakin?" Mata Inari membulat. Kaget sekaligus nyaris tak percaya.
Bramasta mengangguk, "Aku mencintaimu... aku serius sama kamu."
“Kenapa?”
"Karena kamu pantas."
Air mata Inari terjatuh.
"Aku janda, tanpa anak..." Suara Inari pecah. "Dan... mungkin selamanya tidak akan bisa memberimu keturunan."
"Aku tidak peduli..." Bramasta menatapnya lekat seolah tidak akan pernah mundur sekalipun Inari memaksanya mundur.
“Bagiku, kamu adalah rumahku. Apa aku bukan rumah untukmu, Inari?”
Bramasta menatap Inari dengan tatapan yang membuat matanya semakin basah. Hatinya hancur, semua keraguan itu lenyap berganti dengan keyakinan kalau mungkin kebahagiaan yang selama ini dirasa tidak akan pernah datang pada akhirnya akan tiba. Semesta seolah berkata ini adalah saat baginya bahagia.
"Kamu mau menjadi istriku, Inari?" tanya Bramasta dengan suara tegas, seolah keyakinannya sudah mencapai batas maksimal.
"Aku mau...." Air mata Inari berjatuhan. Dadanya sesak, tetapi bahagianya mengudara dengan indah.
Bramasta memasangkan cincin itu di jari manis Inari. Mereka berpelukan sebentar.
Dua orang itu saling merangkul dan Inari bersandar di pelukan kekasihnya sembari memejamkan mata.
“Aku cinta kamu, Ri,” bisik Bramasta manis di telinganya. “Mau serumit apa pun, aku nggak akan lepasin kamu.”
Air mata hangat jatuh perlahan di pipi Inari.
Karena kadang, kata ‘cinta’ tidak datang sebagai anugerah—tapi sebagai pengikat. Sekalipun jerat itu adalah sebuah dosa.
---
Bramasta pulang satu jam kemudian, setelah memastikan Inari makan dan meneguk kopi yang ia buatkan khusus untuknya. Tidak ada drama atau pertengkaran lain. Rencana pernikahan siri itu akan dibahas nanti, bila mereka sudah siap melakukannya, yang jelas tidak akan ditunda. Bramasta sudah berjanji dan Inari bersedia.
Sebelum pergi, Bramasta memegang kedua pipi Inari dan mencium keningnya.
“Aku balik dulu. Nanti malam aku telepon.”
Inari hanya mengangguk.
Saat pintu ditutup, tubuhnya langsung lunglai. Ia menyandar pada kusen pintu, d**a berdegup kencang, hati remuk sekaligus penuh. Ia tahu yang ia lakukan adalah hal yang benar atau salah. Setelah lima tahun menjanda, dia akan segera menjadi seorang istri untuk kedua kali.
Inari ingin kabur, tapi semakin mencoba menjauh, semakin erat Bramasta menggenggamnya.
Ia berjalan pelan ke dapur dan melihat dua mangkuk rawon, satu setengah habis, satu lagi belum disentuh. Inari menyentuh keningnya. Masih terasa hangat bekas ciuman pria yang akan segera menjadi suaminya itu.
“Ya Tuhan…” bisiknya. “Aku akhirnya akan menikah dengan pria yang mencintaiku dan kekuranganku.”
Inari bersyukur tanpa tahu kalau itu adalah awal dari kehancuran yang tidak bisa dihentikan.