Disekap

1948 Words
"Kau kira kau bisa bebas begitu saja dariku, hah?!" Aryo membungkam mulut Teressa, membuat gadis itu kesusahan untuk bernapas. "..." Gadis itu tak bisa berbicara. Ia hanya bisa meronta-ronta, menginginkan sebuah kebebasan, namun pria berjas hitam itu tak akan sudi membebaskannya. Teressa menginjak kaki Aryo, berhasil membuat pria itu refleks menyingkirkan bungkaman tangannya. "F*ck you!" Aryo mendorong tubuh Teressa hingga menempel di pojok lift. Kemudian, ia mendekatinya dan mengurung tubuh gadis itu dengan tangannya. "Kalau dilihat-lihat, kau rupanya cantik juga, ya?" Aryo tersenyum cemar. "Lihat lekukan tubuhmu ini, sangat seksi membuat hasratku b*******h. Dan bibirmu yang merona ini, bagaimana rasanya? Bolehkan aku mencicipinya?" bisik Aryo membuat Teressa ketakutan. Teressa mendorong tubuh Aryo dari hadapannya. Namun pria itu malah memegang tangan Teressa. Kemudian, Aryo meletakkan tangan lembut gadis itu di pipinya dan digunakan untuk merabanya. Ia menciumi tangan itu dengan bibirnya yang terapit brewok tipis, dan itu membuat Teressa semakin jijik. "Kecantikanmu telah membuat tubuhku terbakar, Sayang. Bahkan kejantananku sampai menegang di bawah sana. Kau ingin menyentuhnya?" bisik Aryo bernada kotor. "Lepaskan aku!" Teressa masih mencoba memberontak. Namun Aryo semakin nekat. Ia memegang erat tangan gadis itu dan menguncinya di belakang pinggang. Lantas, pria itu kembali mendekatkan tubuhnya untuk menempel dengan tubuh Teressa. Aryo mulai beringas. Ia memandang Teressa dengan nafsu. Sedangkan gadis itu hanya bisa memejamkan kelopak ketakutan. Aryo tersenyum licik melihat wajah Teressa yang seperti anakan kucing. Bahkan, kini ia hendak mengecup bibir seksi merona milik gadis itu. Kedua bibir mereka sudah hampir bersatu, tetapi harus urung saat suara dering ponsel terdengar dari saku Aryo. Pria itu membuang napas kesal. Ia mengurungkan niatnya untuk mencicipi bibir Teressa dan memilih mengecek siapa yang telah berani mengganggu adegan panasnya. Alih-alih marah, Aryo malah melotot terkejut saat melihat nama istrinya yang menghubungi. Dia, Alina! "Halo!" sapa Aryo malas. "Ada apa kau menelponku?" "Bagaimana kau bisa membiarkan seorang gadis mengetahui rahasia kita?!" Suara wanita dari seberang sana terdengar murka. "Gadis itu telah melaporkan kalian tadi di ruanganku. Cepat cari dia! Jangan sampai dia mengadu pada pejabat kampus atau bahkan kepada rektor!" Aryo melirik ke arah Teressa yang masih ketakutan. "Tenang saja, gadis itu sudah bersama denganku. Aku membungkam mulutnya," kabar Aryo dengan tatapan sinis. "Bagus!" Segera pria itu mematikan panggilannya dan menaruh ponselnya kembali ke dalam saku. Lantas ia terfokus pada Teressa lagi. Pria itu menyudutkan senyumnya. "Oh, jadi kau sudah mengadu pada ibu dekan? Sayang sekali, kau telah mengadu pada orang yang salah. Ibu dekan itu adalah istriku, ibu dari anakku. Dia juga terlibat sama halnya seperti kami." Aryo tersenyum beringas. "Aku tidak akan membiarkan kebohongan ini terus berlanjut!" Teressa membuka suara, dengan nada penuh ancaman. "Oh, ya? Apa yang akan kau lakukan? Hah? Sekarang kau ada di dalam genggamanku. Kau tidak bisa bebas begitu saja!" Aryo mendekatkan tubuhnya lagi pada Teressa. "Mari kita lanjutkan perbincangan panas kita lagi," senyumnya begitu licik. "Jangan sentuh aku!" Teressa mengacungkan jari telunjuknya tepat di hadapannya. "Kau adalah seorang dosen, harusnya kau malu melakukan hal ini pada mahasiswimu!" "Lupakan soal dosen, Sayang. Dosen juga manusia, dia juga punya hasrat dan nafsu. Kau telah berani membangunkan hasratku dan nafsuku, jadi apa salahnya jika aku menjamahmu?" Lagi-lagi Aryo tersenyum licik. "Jangan berani menyentuhku atau aku akan mengatakan semuanya pada istrimu! Tentang gadis tadi, kau juga mencoba bertindak c***l padanya. Aku akan memberitahu semua pada istrimu!" ancam Teressa berapi-api. Ia ingat kalau dosen berhidung belang yang di hadapannya saat ini juga memiliki hubungan spesial dengan Lydia. "Beraninya kau?!" Plak!! Tangan kekar pria itu menampar wajah Teressa dengan keras hingga tubuh langsingnya menatap dinding lift. Beruntungnya lift itu sudah membuka, jadi Aryo tidak jadi menyiksa gadis itu lagi. Saat Teressa hendak melarikan diri, Aryo dengan cepat menarik tangannya dan membawa keluar bersamanya. Teressa ingin memberontak, tetapi kedua maniknya menangkap pria petugas kebersihan yang tadi—Jackie. Jackie tampak mencari-cari keberadaannya. Dia tidak sendirian, tetapi ada juga Michael, Vallen, Rachel, dan Reyna. Mereka semua tengah sibuk mencari Teressa. "Itu dia!" Valen melihat Teressa yang berjalan dengan seorang dosen–Aryo. Nyali mereka mendadak ciut. Takut jika gadis incarannya membeberkan rahasianya pada sang dosen. "Apa dia akan mengatakan segalanya pada dosen itu?" gumam Reyna cemas. "Sekarang nasib kita akan tamat jika seluruh kampus ini tahu perbuatan kita," Rachel juga tampak khawatir. "Tapi sialnya kita tidak bisa menangkapnya sekarang!" Michael mengepalkan kedua tangannya–kesal. Debaran jantung Teressa kian bergejolak. Melirik penuh kewaspadaan ke arah mereka. Namun, satu ide terbesit dalam benaknya. Aku harus bersikap biasa saja dengan dosen badjingan ini. Mereka tidak akan berani menangkapku jika aku terus bersama dengannya. Lagipula, mereka juga tidak tahu kalau dosen ini juga sebenarnya sedang menangkapku. Teressa mulai mengatur napasnya. Diam dan menurut. Ia tidak lagi memberontak saat Aryo membawa bersamanya. Mereka berjalan cepat, meninggalkan mahasiswa-mahasiswa tadi yang menatap gentar. Tiba di sebuah lorong-lorong yang sepi, Teressa kembali memberontak. Ia hendak lari, tetapi cengkeraman tangan Aryo mengikat erat di pergelangan Teressa. Gadis malang itu tak bisa mengenali ruangan-ruangan di sekitarnya. Semua ruangan itu tertutup dan tidak ada papan nama di atasnya. Rupanya, Aryo sengaja membawa gadis itu di ruangan rahasia yang ada di kampus tersebut. "Masuk!" perintahnya tegas. "Tidak!" Gadis itu menolak mentah-mentah. "Sialan!" Aryo langsung mengangkat tubuh ramping Teressa dan memikulnya, lalu dibawa masuk ke dalam salah satu ruangan di sana. "L-lepas … lepas!" Teressa memukuli punggung Aryo dengan ransel yang masih mengikat di tangannya. "Diam!" Aryo mendudukkan tubuh gadis itu di sebuah kursi, yang terletak di tengah-tengah ruangan. "Cih!" Teressa meludahi wajah Aryo, membuat pria itu semakin murka. Aryo mengusap saliva di wajahnya. Lalu pria itu mulai memegang wajah Teressa. Lantas, dengan paksa ia menyambar bibirnya. Memagut ranum itu dengan ganas, membuat Teressa kesusahan untuk bernapas. "Ah! Berengsek!" Aryo menyudahi ciuman gilanya itu saat ujung lidahnya terasa ngilu akibat terjepit benda keras. Plakk! "Berani sekali kau menggigit lidahku!" Aryo menghadiahkan tamparan keras untuk kedua kalinya pada gadis itu, hingga membuat Teressa pingsan. "Andai kau mau menikmati ciuman tadi, pasti kau tidak akan seperti ini!" Lelaki itu menegakkan tubuh, mencari tali panjang di sekitar dengan bantuan cahaya ponsel, lantas menggunakan simpul tali tersebut guna mengikat tubuh Teressa di kursi itu. Setelah terikat kuat, ia juga menyumpal mulut gadis itu dengan kain. Dret … dret … suara getar ponsel terdengar. Pria itu menengok. Rautnya berubah kecut saat melihat nama sang istri yang terpampang di layar panggilan. "Kau sudah mengamankannya?" tanya Alina dari seberang telepon sana, saat Aryo sudah menerima panggilannya. "Sudah. Aku mengurungnya di ruangan rahasia. Sekarang dia pingsan," kata Aryo mengabari. "Bagus. Kau cepat pergi dari sana. Kita urus gadis itu nanti, sekarang waktumu mengajar. Aku tidak ingin semua staf dan juga dosen lain curiga padamu." "Oke!" Setelah mengakhiri panggilannya, Aryo bergegas pergi dari sana meninggalkan Teressa yang pingsan terikat di kursi. *** "Bagaimana?" Lydia bertanya pada Aryo saat melihat pria itu keluar dari lift. "Kau tenang saja. Rahasia kita aman. Aku sudah mengatasi gadis itu." Aryo hendak menyentuh wajah Lydia, tetapi tiba-tiba Arjun datang, membuat Aryo mengurungkan niatnya. "Ayah, kami tidak menemukan gadis itu," kata Arjun setelah sampai di dekat Aryo. "Aku sudah berhasil menangkapnya. Sekarang, lebih baik kau kembali ke kelas dan ikuti pelajaran. Aku yang akan mengurus semuanya," kata Aryo mengabari. "Thanks God!" ucap Arjun menadah ke atas. Lantas menatap ke arah gadis di depannya. "Lydia, ayo… aku akan mengantarmu di kelas!" "Oh, Lydia!" Aryo menyahut cepat. "Kalau kau mau kita juga bisa ke kelas bersama. Jam ini aku ada jadwal mengajar di kelasmu kan, bagaimana?" Aryo memang keterlaluan. Dia bahkan bisa melakukan berbagai cara agar bisa dekat dengan kekasih putranya itu. Lydia melirik ke arah Arjun. Kemudian Arjun memberinya kode untuk pergi saja bersama ayahnya, karena dia dan Lydia berbeda jurusan. Lydia jurusan management dan Arjun jurusan bisnis ekonomi. Dan Aryo adalah dosen manajemen, tentu saja Arjun mengizinkan mereka bersama. Bodohnya, pria itu mengira kalau Lydia akan menjadi dekat dengan calon mertuanya jika mereka terus bersama. Padahal, justru Aryo yang ingin merebut Lydia dari putranya itu. Arjun segera berjalan pergi meninggalkan mereka berdua. "Sekarang pengganggunya sudah pergi, bolehkah kita berjalan bersama?" Aryo berbisik genit di telinga Lydia. Lydia menatap ke arah Aryo. Ia memandangi wajah pria itu, terutama bibirnya. Di sudut pipinya itu ada noda lipstik yang membekas. Lydia menjadi curiga. "Bersihkan dulu lipstik di sudut bibirmu itu!" kata Lydia dengan kesal, lalu ia beranjak meninggalkan Aryo. Aryo mengusap lipstik di sudut bibirnya. Lydia tidak boleh tahu kalau dia habis mencium bibir gadis lain. Segeralah ia mengejar kekasih putranya itu. "Lydia, kau salah paham." Aryo menarik tangan Lydia. Gadis itu menatap Aryo ragu. "Kau tidak perlu berbohong, Pak. Lagi pula, apa masalahnya denganku. Aku adalah pacar putramu. Dan kau, hanya seorang dosen. Oh aku lupa, kau juga adalah calon ayah mertuaku." Perkataan Lydia telah membuat Aryo kesal. "Jangan lupa, sama seperti Arjun, aku juga berhak memilikimu. Kau-" "-pelankan nada bicaramu, Pak dosen. Jangan sampai semua orang mendengarnya!" Lydia berkata pelan penuh penekanan. "Makanya, turuti perintahku!" Aryo menggenggam tangan Lydia dan mengulum senyum. "Sekarang, kita pergi ke kelas?" Lydia memutar mata bosan. Mereka pun berjalan bersama dengan bergandengan tangan. *** "Ini semua salahmu!" Michael menampar Jackie dengan keras. "Mengurus gadis saja tidak becus!" Vallen ikut menghardik. "Orang rendahan akan tetap menjadi rendahan!" sahut Reyna kesal. "Jika sampai nama kami dipanggil ke ruang rektor, maka kau yang akan tamat, Jackie!" "Ini juga salah kita. Kita yang kurang hati-hati, lalu kenapa kalian menumpahkan kesalahan ini pada Jackie saja?" Rachel tampak membela petugas cleaning service itu. "Chel, kenapa kau malah membela petugas tidak becus ini?!" Michael mengerutkan keningnya. "Aku tidak sedang membela siapapun, Mich!" kata Rachel tegas. "Tapi aku hanya kasihan pada orang yang tidak sepenuhnya bersalah. Jackie sudah menjalankan bisnis narkoba ini bertahun-tahun dan tidak ada satupun orang yang tahu bahkan mencurigainya, tapi kenapa baru kali ini semuanya berantakan. Dan kalian malah sibuk menyalahkannya? Harusnya kalian berpikir bagaimana bisa gadis itu mengetahuinya!" Baru kali pertamanya ini Rachel memarahi teman-temannya itu demi seorang petugas kebersihan. "T-tadi saat kita berbicara di luar, gadis itu melihat kami," ujar Jackie pada Valen dengan sedikit gugup. Reyna menatap Valen penuh pertanyaan. "Jadi yang ceroboh siapa?!" bentaknya membuat Vallen menciut. "Baiklah … baiklah … aku mengaku salah. Tapi aku juga tidak sengaja dalam hal ini." Valen mencoba membela diri. "Daripada kita saling menyalahkan, lebih baik kita mencari gadis itu! Kalau perlu kita bunuh saja gadis itu!" ujar Valen pada mereka. "Masalahnya kita tidak tahu kemana perginya gadis itu!" Michael mendesah kesal. "Kita cari dosen tadi!" usul Rachel. "Dosen itu pasti masih bersamanya!" "Aku tahu dosen itu!" Jackie kembali angkat bicara. "Dia adalah dosen jurusan management. Namanya Aryo. Aku sudah sering melihatnya menggoda mahasiswi-mahasiswi cantik. Tapi …" Jackie memotong perkataannya begitu saja. "Tapi apa?" tanya Michael. Jackie menjawab, "Istrinya itu adalah seorang dekan fakultas. Jika sampai gadis tadi memberitahu dosen itu, kemudian dosen itu menyampaikan hal ini pada istrinya, maka dekan itu akan segera mengadukan pada rektor-" "-dan kita akan tamat!" selak Valen cepat. "Kalau begitu, kita bunuh saja mereka. Siapapun yang tahu rahasia kita, kita tidak bisa membiarkannya hidup lebih lama lagi!" ujar Michael keras kepala. "Are you crazy?" Rachel menggeleng tak menyangka. "Mich, kau akan membunuh seorang dosen dan dekan? Kita akan terkena kasus besar!" lanjutnya menandakan tak setuju. "Aku juga belum berani membunuh orang." Vallen tampak menyerah sebelum berperang. "Kalau kalian tidak, aku juga ingin terseret kasus ini. Membunuh gadis itu masih mending, tapi dosen dan dekan? Itu sulit, Mich!" tegas Reyna. "Kalau begitu, suruh orang saja yang membunuhnya!" Michael tersenyum ke arah Jackie. Ia menepuk pundak petugas cleaning service itu dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana, Tuan Jackie? Apa kau bisa melakukan pekerjaan ini?" tanya Michael licik. Jackie hendak menolak, namun ia tak berani saat melihat Vallen dan Reyna menyilangkan tangannya di perut dan memandang ke arahnya penuh angkuh. "B-baiklah. A-akan aku coba," kata Jackie terpaksa. Mereka semua tersenyum puas. *** TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD