Sisi Gelap

1175 Words
Tiba di lantai tiga, Teressa tampak keluar dari lift. Gadis itu tergesa-gesa, berjalan sembari menengok ke belakang, takut kalau orang-orang tadi mengejarnya. "Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu? Ini sebuah kecurangan besar. Saat semua orang mati-matian belajar dan berusaha demi lolos tes OST, tapi mereka dengan seenaknya malah merenggut hak semua orang." Sepanjang perjalanan gadis itu merasa kesal. Ia mengomel dengan sendirinya sembari berjalan cepat. Dia sendiri tidak tahu, apa yang akan diperbuat sekarang. Baru masuk hari pertama kuliah, dia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga. "Perbuatan ini tidak boleh dibiarkan. Mereka harus segera dilaporkan agar orang-orang seperti mereka tidak mengulanginya lagi!" Teressa menghentikan langkahnya saat melihat seorang pekerja berseragam cleaning service yang tengah berbicara dengan seorang mahasiswa. Mereka berdua berbincang dengan berbisik. Tentu saja itu memancing rasa penasaran Teressa. Gadis itu terus memperhatikan gerak gerik kedua pria di ambang pintu sana. Petugas cleaning service tersebut memberikan sebuah bingkisan pada mahasiswa tadi. Setelah mengobrol sejenak, lantas mahasiswa itu masuk ke dalam dan petugas itu pun berjalan pergi. Karena terburu-buru, tak sengaja petugas itu menabrak Teressa. "Sorry!" ujar petugas itu tampak menoleh ke arah Teressa. "Its Okey!" balas Teressa seraya tersenyum ramah. Petugas cleaning service itu buru-buru menjauh. Namun, sesuatu terlihat jatuh berceceran. Dua kapsul tampak tergelincir ke lantai. Lantaran curiga, Teressa merendahkan tubuhnya dan mengecek dua kapsul itu. Gadis itu mengambil dan mengamatinya. "Obat apa ini? Kalau melihat dari gerak-gerik mereka, sepertinya ini obat-obatan terlarang. Apa jangan-jangan... ini sejenis narkotika?" Teressa menelan ludah. Tampak bermain dengan asumsinya. "Aku harus mencari tahu kebenaran ini." Gadis itu segera memasuki ruangan di mana mahasiswa tadi masuk ke dalamnya. Di dalam sana masih ada banyak sekali ruangan. Teressa menyisir setiap sudutnya. Terdapat CCTV di sana, tetapi sepertinya itu sudah rusak. Atau mungkin sengaja dirusak? Terdengar suara seorang pria dan wanita yang keluar dari sebuah ruangan. Teressa buru-buru bersembunyi. Memilih mengintip dari balik dinding. "Kau tahu, hidup itu hanya sementara, jadi kita harus menikmatinya!" Pria itu menyedot putung rokok dan menyerburkan asapnya sembari bersandar di pintu bersama seorang gadis. "Kita bisa mati kapan pun, kita tidak tahu. Tapi, sebelum Tuhan merenggut nyawa kita, apa salahnya kita berbuat sesuka hati kita," ujarnya lagi. Lantas ia menyodorkan putung rokok yang masih utuh itu pada gadisnya. "Kau mau?" "No, Thanks!" tolak gadis itu ramah. "Ayolah Rachel, jangan sok cupu. Kau itu tidak pantas menjadi gadis cupu. Lihat rambut merah mudamu ini, ini style yang cocok sebagai seorang 'b*tch'. Haha!" Pria itu tertawa setelah mengejek gadis yang bernama Rachel di sebelahnya. "Mic, please. I don't like if you call me a b*tch!" Rachel tampak kesal saat pria bernama Michael itu mengejeknya. "Oke, sorry … sorry …!" Michael merangkul pundak Rachel dan mencium rambutnya. "Bro! Kau masih di sini?" Seorang pria lagi muncul dari dalam ruangan. Teressa melihat kalau itu pria yang sama yang berbicara pada petugas cleaning service tadi. "Pestanya sudah dimulai, dan kalian masih di sini?" kata pria itu seraya berkacak pinggang. "Vallen, ini 'kan masih jam kuliah. Masa iya kita akan berpesta sekarang? Nanti kalau kita kena masalah bagaimana?" Rachel tampak tak setuju. "Rachel, kita 'kan punya orang dalam, ngapain harus takut? Lagian itu ganja dan narkoba sudah aku pesan banyak, masa kalian nggak tergiur sih sama makanan kita sehari-hari? Hah?" Vallen tersenyum genit pada Rachel. "Sudahlah … lupakan soal kuliah, sekarang mari kita berpesta!" Michael merangkul bahu mereka dan mengajaknya masuk ke dalam. Teressa terkejut bukan main. Lagi-lagi matanya menjadi sebesar piring. Ia tak menyangka kalau universitas yang terkenal dengan prestasi juga keagungannya itu, ternyata menyimpan sisi kelam yang tersembunyi. Teressa diam-diam ikut masuk ke dalam ruangan. Ia terkejut saat melihat ketiga mahasiswa itu mulai mengonsumsi narkoba. Tak punya pilihan lain, Teressa segera mengambil ponselnya di dalam tas kecilnya lalu mulai merekam aksi mereka. "Dunia harus tahu kalau ternyata universitas ini menyimpan skandal besar!" gumam Teressa sembari terus merekam. "You are right, Girl!" Tiba-tiba sebuah tangan membungkam mulut Teressa dari belakang hingga membuat gadis itu melotot. Teressa buru-buru menengok ke belakang. Terkesiap saat seorang gadis berambut keriting dengan warna pirang tersebut menyeringai ke arahnya. "Video yang sangat bagus!" Gadis bernama Reyna itu merebut paksa ponsel milik Teressa. "Kembalikan!" Teressa berhasil merebut kembali ponselnya. Lantas, ia mendorong tubuh Reyna agar menyingkir darinya. Kemudian gadis itu segera terbirit dari sana. Michael, Vallen, dan Rachel yang tadinya tengah asyik, kini terkejut melihat keributan di sana. Mereka bertiga segera bergegas menghampiri Reyna. "Ada apa, Rey?" tanya Rachel. Sepertinya mereka sudah lama akrab. Atau memang mereka satu komplotan? "Stupid! Kalian semua bodoh! Gadis itu telah merekam video kalian tadi, sedangkan kalian malah asyik-asyikan mengonsumsi narkoba!" sungut Reyna pada mereka. "Apa?!" Rachel, Michael, dan Vallen mengucap serempak–kaget. "Kurang ajar! Kita harus menghentikan dia, sebelum terjadi masalah!" gertak Michael emosi. "Ayo cepat kita kejar dia!" Lantas mereka pun berlari keluar mengejar Teressa. Teressa yang saat itu tengah berlari, mulai panik mencari pintu keluar gedung. Begitu mata binarnya berhasil menangkap pintu keluar, ia segera mempercepat langkahnya. "Hey, B*tch! Berhenti kau!" teriak Vallen marah. Menyadari mereka membuntutinya, Teressa semakin panik. Gadis itu terus mempercepat langkahnya agar mencapai pintu. Keringatnya mulai menguar dari pori-pori, dan jantungnya berdegup begitu kencang. "Jangan sampai mereka menangkapku," ujarnya gemetar. Brak!!! Tubuh Teressa terpeleset jatuh saat tak sengaja menabrak seseorang. Ia mendongakkan kepala, menatap ke arah pria berseragam cleaning service di depannya. Teressa mengidentifikasi wajah itu. Detik selanjutnya, barulah teringat kalau sosok itu merupakan pria yang sama yang memberikan obat-obatan terlarang pada Vallen tadi. Teressa melotot ketakutan. Membangkitkan tubuh dan melangkah mundur. Namun, saat ia menengok ke belakang, terdapat empat mahasiswa tadi yang menghadangnya. "Jangan biarkan gadis itu lari!" teriak Reyna pada petugas cleaning service tersebut. "Tangkap dia!" perintahnya kemudian. Petugas cleaning service tersebut mulai berjalan ke arah Teressa, dan dengan cepat menarik lengan gadis itu. Menggenggam erat pergelangan tangannya, dan meremasnya. Tatapannya sangat tajam menumbuk pada wajah Teressa yang bagai anakan kucing. "L-lepaskan aku!" pinta Teressa sembari mencoba menyingkirkan pegangan tangan pria paruh baya itu. Namun terasa sangat sulit. "Jangan sampai kau melepaskannya, Jack!" Michael tersenyum sinis. Jackie, nama petugas cleaning service itu. Dia adalah pengedar narkoba di universitas tersebut. Lebih parahnya, dia melakukan bisnis itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Saat ini, pria berumur empat puluh dua tahun itu menarik lengan Teressa agar lebih dekat dengannya. Lantas, ia mengendus aroma parfumnya, membuat gadis itu melengos jijik. "Tubuhmu sangat harum!" Bibir terapit kumis itu mengucap desah tepat di telinga Teressa. "Lepas!" Teressa meronta mencoba melepas diri, tetapi pegangan pria paruh baya itu semakin mengerat. Kini petugas cleaning service itu mulai lancang. Dengan kurang ajarnya, ia mulai menempelkan hidungnya pada pipi mulus Teressa dan menjelajahinya. "Katakan anak-anak, apa yang harus aku lakukan dengan gadis ini?" Jackie bertanya genit pada keempat mahasiswa di depan sana. "Terserah kau saja, Jack! Yang terpenting, gadis itu harus diam!" ujar Vallen menyeringai. Jackie tersenyum beringas, membuat Teressa semakin kelabakan. Wajah pria itu benar-benar berandal kala melihat kecantikan Teressa. "Katakan siapa namamu, Cantik?" Jackie bertanya dengan membelai rambut cokelat Teressa dengan tangan kirinya. "Cih!" Teressa meludahi wajah Jackie. Namun, pria itu malah menyudutkan senyumnya. Lantas, ia mengusap ludah itu dengan jemarinya, dan ia gunakan membasahi bibirnya sendiri. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD