Yang kaya itu orang tua Rista

1141 Words
"Ini apa, Bu?!" tanya Mas Heri dengan nada tinggi. Ada api kemarahan di matanya, sementara ibu gelagapan dalam kebisuan. "Ck ck ck, ternyata Ibu bohong sama anak sendiri?" sahutku menambah panas suasana. Terlihat mata ibu mendelik melirikku, baru kali ini kulihat wajahnya sepucat itu, bagaikan kerupuk yang tersiram air. "Tega ya Ibu abisin duit aku seenaknya, tahu sendiri 'kan gajiku itu hanya segitu, bukannya Ibu janji mau ditabungkan uangnya." Mas Heri masih terlihat kecewa. "Sudahlah, Mas, gimana pun juga uangnya udah terlanjur dibelanjakan, sekarang dan ke depannya ya Ibu harus bisa ngatur keuangan untuk sebulan dengan uang yang tersisa," celetukku sambil menyeringai senang. Melihat ibu terpojokkan seperti melihat pertunjukkan sirkus gratisan. "Dan ya aku ga bisa bantu, tahu sendiri 'kan aku ini cuma jualan seblak untungnya cuma buat jajan Nasya aja sama bayarin biaya sekolahnya," lanjutku lagi berbohong. Malas saja jika harus menutupi kekurangan sehari-hari sementara diantara mereka tidak ada yang tahu diri, malah menghinaku sesuka hati, coba mereka baik hati aku pun tak mungkin sekejam ini. Nasya disekolahkan di sekolah swasta yang cukup bagus di kota ini, awalnya aku tak setuju karena biayanya mahal. Namun, ayah mertua bersikeras untuk menyekolahkan Nasya di sana dengan dalih ia sanggup membiayainya hingga lulus. Siapa sangka jika umurnya akan pendek, dan sekarang aku harus kerja keras untuk membiayainya karena jika mengandalkan gaji Mas Heri tak mungkin sanggup, ia juga tak mau jika kusuruh pindah ke sekolah negri. "Aku ga mau tahu pokoknya sisa uang itu harus cukup sebulan, aku ga mau sampai kasbon lagi!" tegas Mas Heri lalu ia masuk ke dalam. Sekilas aku memandang ibu yang diam membisu, lalu ikut Mas Heri masuk ke dalam. "Kalau kamu keberatan Ibu pegang gajimu ya sudah nih Ibu balikin!" Wanita paruh baya itu mengeluarkan semua uangnya ke hadapan Mas Heri. "Ibu cuma belanja segini aja protes, inget ga kamu bisa Segede ini diurus siapa? dulu kamu minum air s**u siapa?" lanjutnya lagi dengan air mata. Aku memutar bola mata malas, habisnya jengah saja melihat tingkahnya, bukan minta maaf malah mengungkit-ungkit jasa masa lalu. "Ambil aja sana duitmu biarkan Amira yang pegang! Kamu emang anak ga tahu tahu terima kasih, dari kecil Ibu yang ngurus tapi sudah besar dan berpenghasilan, uangnya malah dikasih sama istrimu, ini ga adil!" Ibu masuk ke dalam sambil membanting pintu keras-keras. Beberapa menit kemudian ia kembali sambil menenteng tas besar. Mas Heri menatap ibunya dengan iba. "Mau ke mana, Bu?" tanya Mas Heri, sepertinya ia menyesal. "Aku mau tinggal sama Ardan dan Rista, mereka kaya raya ga seperti kalian sudah miskin perhitungan pantas aja ga kaya-kaya," jawabnya nyelekit. Aku geleng-geleng kepala, segitunya ambisi ibu ingin jadi orang kaya. "Jangan, Bu, Ardan itu 'kan tinggal sama mertuanya, iya Heri minta maaf, Ibu betul harusnya aku ga semarah itu, maklum dari tadi Amira nyerocos terus jadinya ya hatiku panas." Mas Heri bersimpuh di kaki wanita itu. Apa maksudnya coba dia bawa-bawa namaku. "Benar ternyata kamu dalangnya ya, Amira. Ingat ya jangan coba-coba menghalangi Heri untuk berbakti dengan ibunya!" Ancam ibu sambil menatapku tajam. "Sudah untung aku tak nyuruh Heri buat ceraikan kamu!" lanjutnya dengan d**a kempas-kempis. Kuucap istighfar dalam hati sebanyak mungkin, adu mulut dengan wanita itu percuma tak akan menang, dan ia pun tak mau mengalah. "Kamu juga Heri jangan mudah terhasut, kita masih punya Ardan dan Rista mereka kaya, Ibu yakin mereka ga akan biarkan kita kelaparan, emangnya dia!" Ibu melirikku lagi dengan sinis. "Yang kaya itu orang tuanya Rista, Bu, inget. Sekarang aku tanya Ardan kerja apa coba? apa dia bisa ngasih uang? selama mereka ke sini apa pernah ngasih ibu uang?" tanyaku dengan pandangan menantang. Dipikir aku akan menangis di pojokan saat mendapat hinaan darinya, air mataku berharga jika digunakan untuk menangisi mereka. "Kalau aku ga jualan seblak, mungkin setiap akhir bulan kita ga bisa makan karena nafkah yang Mas Heri kasih hanya cukup untuk dua Minggu, lalu yang dua minggunya lagi dari mana? ya dari uangku dari hasil jualan seblak, Bu." Aku menyeringai. "Tapi mulai sekarang aku ga mau bantu nutupin kebutuhan sehari-hari lagi, minta aja sana sama Rista, buktikan kalau mereka itu kaya!" Aku segera masuk ke kamar malas jika harus mendengar ocehan Mas Heri dan ibu yang selalu menghinaku, suatu saat akan kubuktikan jika diri ini bisa sukses dengan hasil jerih payah sendiri. * Tiga Minggu telah berlalu, hampir setiap hari aku dan Nasya makan di luar karena makanan selalu habis, tapi jika ibu masak lauk asin dan sayuran baru akan tersisa. "Heri, kita main ke rumah Rista yuk, Ibu udah ga punya duit siapa tahu Ardan bisa bantu," ujar ibu di dapur. "Ya sudah aku kabari Ardan dulu," jawab Mas Heri. "Kamu juga harus ikut, Mir, biar lihat sendiri mantuku sekaya apa," celetuknya saat aku menghampiri. Aku mengangguk, mungkin lebih baik ikut dari pada penasaran tentang kehidupan mereka yang sering dibanggakan ibu. "Nomor Ardan engga aktif, Bu," ujar Mas Heri saat kami bersiap hendak berangkat. "ga apa-apa kita jalan aja, itung-itung kejutan buat mereka." Kami pun berangkat, Mas Heri membonceng ibu sedangkan aku naik motor sendiri. Tak lama kami tiba di rumahnya Rista, benar ternyata rumah itu besar dan mewah. "Lihat Amira ini baru rumah, luarnya aja udah bagus apa lagi dalemnya bisa-bisa kamu pingsan entar saking terpesona," bisik ibu. Aku hanya mendelik malas, aneh sekali dengan ibu rumah orang lain kok dibanggakan. "Kalau rumah ini yang bangun atau yang belinya Ardan baru aku akan takjub," balasku dengan berbisik pula, wanita itu diam padahal aku dan mas Heri sudah naik ke teras dan memencet bel. Tak berselang lama pintu terbuka, kebetulan sekali Ardan yang membukakan pintu. "Mas Heri, Mbak Amira, ayo masuk," ujar Ardan Kami bertiga duduk di ruang tamu, rumah ini terlihat sepi dan kosong karena mertua Ardan tak terlihat menyambut kami. "Rista sama mertuamu ke mana?" tanya ibu. "Oh, ada di atas, Bu. Kalau Rista masih di kamar," jawabnya. "Begini, Ardan. Ibu udah ga punya uang untuk kebutuhan sehari-hari, kamu ada uang ga? Ibu pinjam dulu ya buat makan seminggu ke depan." Ardan terdiam sejenak, dari sorot wajah sepertinya ia merasa tegang. "Emmm ... gini, Bu, nanti aku minta sama Rista dulu ya," ungkapnya seperti tak enak. "Kok minta sama Rista sih," sahut ibu merasa heran. "Se-sebenarnya, uangnya dipegang Rista, Bu," jawab Ardan gelagapan. "Kamu ini gimana sih uang kok dipegang istri ga punya prinsip banget," jawab ibu dengan wajah masam. "Ibu tahu sendiri 'kan aku ga kerja, kebutuhan kami juga ditanggung sama Papa dan Mama mertua, ya wajarlah kalau Rista yang pegang," jawab Ardan Tak salah lagi dugaanku, ternyata Ardan dan Rista itu tak memiliki apa-apa. "Jadi, kamu ga dikasih uang pegangan, Dan?" tanyaku dengan dahi mengerenyit. "Engga, Mbak. Kalau Rista sih iya dia dikasih ATM sama papanya," jawabnya sambil menunduk. Aku melirik ibu dengan pandangan mengejek, kebetulan sekali ia juga sedang melirik ke arahku. "Tuh 'kan, Bu, apa aku bilang yang kaya itu orang tuanya Rista," bisikku, seketika ibu terlihat salah tingkah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD