Dihina balik

999 Words
"Ardaaan!" teriak seorang perempuan dari lantai atas, suaranya cukup melengking. "I-iya, Ma!" jawab Ardan sambil berteriak pula. Kami semua mendongkakkan wajah, tapi belum ada seseorang yang muncul di pandangan. "Ini sprei kotor kok masih di kamar Mama, bawain donk ke ruang cuci," sahut ia yang sudah pasti mertuanya Ardan. Kami semua saling memandang merasa heran, kenapa Ardan seperti seorang pembantu di rumah ini? aku yakin Mas Heri dan ibu pun merasakan kejanggalan ini. "Iya, Ma, sebentar lagi Ardan bawa ke bawah, ini ada tamu dulu," jawab Ardan masih berteriak. Tak ada lagi jawaban dari atas sana, kami bertiga memandangnya penuh pertanyaan. "Kamu kok kaya pembantu sih disuruh-suruh gitu?" selidikku. Ardan menunduk menyembunyikan rasa gugupnya. "Engga apa-apa, Mbak, sudah biasa sebentar ya," jawabnya, lalu lelaki bertubuh tinggi dan kurus itu segera berlalu dari hadapan kami. Dari kejauhan kulihat Rista yang masih mengenakan baju tidur turun dari lantai atas, aku geleng-geleng kepala, ini sudah jam delapan pagi tapi ia baru bangun. "Mas, aku mau minum kopi anterin ya ke kamar, jangan lamaa," pintanya pada Ardan "Terus hape aku dicas dimana sih? kok ga ada?" tanya Rista lagi. Sepertinya ia belum menyadari kedatangan kami. "Ada kok dicas di kamar sebelah," jawab Ardan. "Ya sudah nanti ambilin ya sekalian sama kopi," titah Rista lalu naik ke lantai atas. Kami bertiga diam termenung saling memandang menyaksikan perlakuan Rista dan keluarganya terhadap Ardan, apakah pantas seorang istri bersikap begitu terhadap suami? "Bu, Ardan kok kaya pembantu sih, percuma punya mertua kaya tapi nginjek harga diri kita seenaknya," celetukku dengan suara pelan. Mas Heri dan ibu melirikku bersamaan. "Jangan ngomong macem-macem kamu, Amira!" tegas ibu sambil melotot. "Siapa yang ngomong macem-macem aku ngomong seadanya kok, Ibu juga lihat sendiri 'kan barusan," sanggahku dengan suara pelan. Tak berselang lama Ardan kembali membawa sprei dan selimut dalam pelukannya, lalu di belakangnya Rista mengikuti, kali ini pakaian yang dikenakannya sedikit rapi, wajahnya pun sudah dipoles bedak. "Eh ada tamu, pagi-pagi begini," ujarnya sambil tersenyum paksa lalu duduk di hadapanku. "Iya, Ris, Ibu ngajak ke sini katanya mau pinjam uang buat makan seminggu ke depan," ujarku tanpa basa-basi Terlihat mata ibu membulat menatapku sebagai bentuk protes, padahal harusnya ia berterima kasih karena aku sudah membantunya bicara, hihi. "Beneran Ibu ke sini mau pinjam uang?' tanya Rista sambil melirik ibu. "Emmm ... bener, Sayang, kamu 'kan banyak uang pasti punya lah uang sekitar satu jutaan, Ibu butuh buat makan, tahu sendiri 'kan kakak iparmu Amira orang miskin cuma jualan seblak mana punya dia duit segitu," sahut ibu sambil tersenyum paksa. Lagi-lagi ujungnya menghina, aku yakin sekali sebentar lagi ia akan dihinakan oleh ucapannya sendiri. "Bukannya Mas Heri kerja?" tanya Rista. Ah kesempatan buat menghina balik. "Gajinya cuma 3jutaan, itu pun dipotong karena sudah kasbon duluan, suamiku itu cuma satpam, Ris, gajinya ga cukup buat kebutuhan sebulan, ga kaya orang tua kamu yang sukses jadi pengusaha," celetukku. Mas Heri terlihat membulatkan mata sebagai kode untuk diam, tapi aku tak mau. "Sebentar ya aku ke belakang dulu mau ambil minum." Rista tersenyum kecut. Mas Heri dan ibu seolah bersiap memarahiku habis-habisan, aku pura-pura ingin ke kamar kecil dari pada harus mendengar ocehannya, malu-maluin kalau sampai kami ribut di rumah orang. Ternyata Rista dan Ardan sedang ada di dapur, mereka terlihat saling berdebat, aku jadi penasaran apa yang mereka ributkan. "Kasih ajalah 500ribu, itung-itung sedekah, Ris." Terdengar suara Ardan. "Tapi hari ini aku udah janji mau neraktir temen-temen, Papa juga bulan ini ga akan kasih aku jatah uang, itu juga gara-gara kamu beliin ibu mesin cuci yang harganya mahal, Papa itu ga suka kalau kamu pakai uangku seenaknya, tahu diri dong," sanggah Rista. Oh ternyata mesin cuci yang Ardan belikan untuk ibu beberapa Minggu lalu itu uangnya dari papanya Rista, itu pun ia tak senang membelikannya, padahal ibu sudah pamer ke semua orang kampung, kalau menantunya yang kaya raya begitu perhatian. Aku mengelus d**a, perkataan Rista terhadap Ardan seperti perkataan Mas Heri padaku, nyelekit di hati. "Ya tapi aku mau berbakti sama ibu, Ris, kok kamu jadi itungan gitu sih." Ardan berbicara. Aku celingukan ke kiri dan kanan takut ada seseorang yang melihatku sedang menguping di balik tembok. "Kalau kamu mau berbakti sama ibu ya silakan, tapi pakai uang sendiri jangan pakai uangku! Dan sekarang aku ga mau ya minjemin ibu uang." Terdengar suara langkah kaki mendekat, sepertinya Rista akan keluar dari dapur, dengan jalan berjingkat-jingkat aku segera pergi karena takut ketahuan. "Eh ada Bu Besan," ujar mamanya Rista Ia terlihat cantik dan awet muda, tersenyum pada kami sambil mengulurkan tangan, setelah selesai bersalaman ia duduk bersama kami. "Apa kabar, Bu?" tanya ibu sambil tersenyum, padahal ia tak pernah tersenyum semanis itu jika sedang menyambut kehadiran ibuku. "Sebentar ya, ada telpon," jawab Mama Rista sambil berdiri dan menatap layar ponsel. Aku menahan tawa, kasihan sekali ibu dicuekin. Tak berselang lama datang beberapa orang tamu, sepertinya mereka dari kalangan orang berada, terlihat dari penampilannya yang berkelas tak seperti kami bertiga. Aku sedikit merasa minder dengan mereka, Mama Rista menyambut hangat tamu-tamu yang dandannya cetar itu, lalu mempersilakan duduk bergabung bersama kami. "Jeng, mereka siapa? mau minta sumbangan ya?" tanya salah satu diantara mereka. Kami bertiga saling melirik. "Ohh bukan, Jeng, ini mertuanya anakku, Bu Ninik," jawab Mama Rista sambil tersenyum paksa. "Oh maaf-maaf, abis penampilannya kaya orang minta sumbangan sih, saya ga habis fikir kok bisa Rista nikah sama keluarga seperti ini, mana suaminya pengangguran ga bisa nafkahin istri, makan aja numpang sama mertua," celetuknya lagi, nyelekit. Kulihat wajah ibu berubah merah menahan amarah, ternyata hinaan yang sering dilontarkan padaku kembali pada dirinya sendiri. "Hahhh, saya juga pusing sama suami Si Rista itu, di suruh kerja di kantor papanya ga bisa, dikasih jabatan sebagai manager ga bisa, kerjanya salah semua, masa iya harus dikasih kerjaan jadi OB, 'kan malu-maluin, mendingan dia di rumah aja bantu-bantu Bi Sumi," celetuk Mama Rista. Aku tak menyangka perkataannya akan sekejam itu di hadapan orang banyak, wajah ibu terlihat merah seperti kepiting rebus, ia berdiri sambil mengepalkan tangan, ya Tuhan ibu mau ngapain, jangan sampai buat keributan di sini. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD