Ibu berdiri memandangi besannya penuh amarah, dadaku berdegup kencang takut jika ibu melakukan perbuatan kekerasan, sedangkan Mas Heri mencoba menyadarkan ibu dengan cara memegang lengannya.
"Kenapa Bu Besan? saya minta maaf kalau perkataan saya barusan menyinggung hati Anda, tapi gimana lagi ya lama-lama saya juga jengah melihat Ardan yang ga ada kemajuan, kalau bisa Bu Besan tolong nasihati dia supaya mau bekerja, ga minta makan terus sama mertua," ujar Mama Rista.
Aku menghela napas, perkataan wanita cantik ini memang halus tapi nyakitin, sama seperti hatiku yang sering sakit saat dihina oleh ibu.
Dan sekarang ibu sendiri yang dihina balik oleh besannya, di hadapan orang banyak pula, segala perbuatan pasti akan kembali pada diri sendiri, itu ternyata benar.
Aku kok puas ya lihat ibu digituin, ehh.
"Saya permisi, Bu Besan," ujar ibu.
Di luar dugaan ibu malah pergi dari rumah mewah ini, padahal aku belum puas menyaksikannya dihina oleh Mama Rista, ya Tuhan ampuni aku yang jahat ini, hihi.
"Ooh, iya iya silakan." Mama Rista tersenyum senang sambil mengangguk hormat.
Ibu berjalan begitu cepat menuju pintu keluar, aku dan Mas Heri sampai ketinggalan jauh olehnya.
"Ibu tunggu!" teriak seseorang di belakang sana.
Saat melirik ternyata Ardan yang menyusul.
"Bu, ini aku cuma punya uang segini, semoga bisa membantu ya." Ardan memberikan lembaran uang ke jemari ibu.
"Aku ngasih kok, bukan minjemin," ungkap Ardan dengan pandangan sayu.
"Ohh, jadi kamu tadi minta uang sama Mama bukan untuk beli kebutuhan mandi ya, tapi buat ngasih ibu kamu."
Di luar dugaan Mama Rista muncul dibalik pintu dengan tatapan kecewa, aku tak habis fikir dengan Ardan, ngasih ibunya uang dari hasil meminta dari mertua, benar-benar memalukan adik iparku ini.
"E-engga kok, Ma. Uangnya Ardan belanjakan untuk beli sabun kok, dan sisanya baru dikasih ke Ibu, kasihan Ibu ga punya uang buat makan seminggu ke depan," jawab Ardan jujur sekali.
Rasanya menyesal ikut ke rumah ini bersama Mas Heri jika untuk memalukan diri sendiri, yang dipermalukan memang ibu tapi sebagai menantunya aku pun merasa ditelanjangi habis-habisan.
"Whatt? jadi mereka ke sini mau pinjam uang sama kamu?" tanya Mama Rista shock.
Duhh, aku semakin salah tingkah rasanya ingin terbang saja ke atas sana saking malunya, Ardan ini terlalu jujur jadi orang.
"I-iya, Ma." Ardan mengangguk lemah.
Ya Tuhan, aku jadi tepuk jidat.
"Emang kamu punya uang dari mana? kerja aja engga, lain kali Mama ga akan biarkan kamu pegang uang ya, biar Rista aja."
Mama Rista masuk ke dalam sambil menutup pintu, sadis sekali keluarga besan ibu, berbeda dengan perlakukan bapak dan ibuku, mereka berdua memperlakukan mertuaku itu dengan lembut seperti saudara kandung, ya walau kata mereka orang tuaku orang miskin.
"Ibu kecewa sama kamu, Ardan! Nih uangnya Ibu balikin, Ibu ga butuh!"
Wanita paruh baya itu melemparkan dua lembar uang berwarna merah ke d**a anak bungsunya dengan derai air mata.
Untuk pertama kalinya aku melihat ibu menangis karena dihina orang lain habis-habisan, ia tak tahu saja hatiku bahkan lebih sakit dari yang ia rasakan saat ini karena hinaannya, mending kalau hanya aku yang dihina lah ini kedua orang tuaku pun ikutan dihina.
"Maafkan aku, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan aku ga punya pengalaman kerja di kantoran, selama membujang aku sibuk membantu Ibu ketimbang kerja di luar," ucap Ardan sambil memegang lengan ibunya yang masih sesenggukan.
"Tapi hati Ibu sakit dihina di hadapan orang banyak kaya barusan, Ardan!" tegas ibu dengan Isak tangis.
Padahal hatiku juga sakit jika ibu menghinaku habis-habisan di depan tetangga, bahkan sampai dibanding-bandingkan dengan Rista.
Saat melirik jam tangan ternyata sudah jam setengah sepuluh, aku harus segera ke kios untuk jualan, karena jam sepuluh pagi pelanggan sudah banyak yang datang mengantri.
"Mas, aku duluan ya mau buka kios," bisikku di dekat telinga Mas Heri.
"Ya udah sana," jawabnya sambil berbisik pula.
Selama di jalan bibirku tak berhenti menyeringai, membayangkan muka ibu yang memerah saat dihina di depan banyak orang tadi, entah mengapa seperti sebuah obat bagi luka hati ini.
Ah semoga saja wanita itu mengubah sifat buruknya setelah kejadian ini.
Setelah mengambil peralatan dan bahan-bahan untuk jualan, gegas aku membuka kios, Alhamdulillah sudah ada beberapa remaja yang mengantri untuk beli seblak.
"Sebentar ya, Neng, Mbak siapkan dulu," ujarku pada ketiga remaja itu.
"Siap, Mbak, santai aja. Tumben nih datangnya kesiangan, biasanya jam sepuluh udah ready," jawabnya sambil memainkan ponsel.
"Iya, tadi ada acara sebentar, makanya telat."
Satu jam kemudian kios sudah ramai oleh pembeli, beruntung Sela--adikku yang bungsu--sudah selesai belajar daring dan membantuku melayani pembeli.
Adzan Dzuhur telah berkumandang dan kios pun sepi, Alhamdulillah aku bisa pulang dulu untuk melaksanakan salat.
"Sel, uang lima puluh ribuan, sama seratus ribuan sudah Mbak masukkan ke dalam brankas ya, Mbak mau salat dulu, nanti ditemenin Nasya suruh ke sini," ujarku sambil memasukkan kunci brankas ke dalam dompet kecil.
"Iya, Mbak, gantian ya," jawabnya.
Saat hendak pergi tiba-tiba ibu datang dengan wajah kesal, tanpa permisi ia melangkah masuk ke dalam dan membuka laci tempat penyimpanan uang.
Aku bergegas masuk menyusul.
"Loh Ibu ngapain ambil semua uangku?" tanyaku sambil menepis tangannya.
Beruntung di laci hanya ada uang recehan, karena semua uang hasil jualan barusan sudah masuk ke dalam brankas, dan benda itu berada di tempat yang aman, hanya aku dan Sela yang tahu.
"Ibu lapar mau beli makanan! Kamu ini gimana sih masa jualan udah siang baru dapat duit segini," protes ibu sambil menguras semua uang yang ada di laci.
Benar-benar tak tahu diri! Sudah meminta menghina pula, kukira ia akan berubah setelah mengalami kejadian tadi pagi.
"Sana minggir! Ibu mau beli makanan," cetusnya, lalu keluar dari kiosku tanpa merasa berdosa.
Sela geleng-geleng kepala tak menyangka, pasalnya baru kali ini ia melihat sikap mertuaku yang sesungguhnya, biasanya ia tak Sudi menginjakkan kaki ke kiosku yang katanya sempit dan kumuh ini.
"Copeeet! copeet! toloong dompet saya dijambret!" teriak seorang wanita tak jauh dari kiosku.
Aku dan Sela spontan berlari keluar, di depan sana sudah banyak orang berkerumun, saat melangkah mendekat aku terkejut ternyata orang yang kecopetan itu ibu.
Bersambung.