Ponselmu untukku

783 Words
Ibu menangis kejer seperti anak kecil, ia duduk di tanah sambil meraung, aku dan Sela saling memandang. "Allah ga ridho kali ya duitnya dirampas paksa sama mertua Mbak, makanya ga lama langsung dicopet," bisik Sela. Kali ini aku setuju dengan pendapatnya. "Mau disamperin ga? aku mah ogah mending masuk lagi, panaas," ujar Sela, lalu ia menjauh dari kerumunan. Sebenarnya aku ingin pergi saja dan memilih melaksanakan salat Dzuhur, tapi kasihan juga melihat ibu yang sedang terkena musibah. "Bu, kenapa uangnya bisa dijambret sih? terus jambretnya ketangkep ga?" tanyaku sekaligus pada orang-orang yang berkerumun. "Engga, jambretnya naik motor, Neng," jawab seorang bapak tukang parkir. "Iya, jambretnya langsung kabur mana bawa motornya secepat kilat kaya Valentino Rossi," jawab seorang ibu paruh baya. "Jadi ga ada yang nyusul jambretnya?" tanyaku lagi "Engga ada, Mbak, gimana lagi. Yang sabar ya, Bu," jawab ibu yang tadi. "Hapekuuu! Amira hape Ibu juga ada di dompet gimana dong? Ibu udah ga punya hape lagi, mana banyak nomor penting," ungkap ibu dengan Isak tangis. Aku bingung harus berkata apa, ada senang karena ibu dapat karma dalam hitungan detik, dan ada juga rasa kasihan melihatnya meraung seperti anak kecil. "Sudahlah, Bu, ikhlaskan aja mungkin itu adzab eh maksudnya peringatan dari Allah." Aku keceplosan. "Gimana mau ikhlas di dompetnya ada hape Ibu, kalau duitnya ilang sih ga masalah, wong duit receh lah ini hape, harganya jutaan!" tegas ibu. Aku mundur satu langkah, dalam keadaan susah pun ia masih sempat menghina uangku uang receh, sebesar apapun musibah yang menimpa sepertinya wanita ibu takkan berubah. "Kalau Ibu punya malu ayo ikut aku pulang, kalau engga ya terserah nangis aja di sini, sampai subuh pun hape Ibu ga akan balik," ujarku sambil melangkah hendak mengambil motor. "Ayo, Bu, mau ikut aku pulang atau masih betah duduk di situ?" tanyaku sedikit berteriak, motor sudah terparkir di hadapan wajahnya. Meski malas-malasan ibu tetap naik ke atas motor, selama di jalan ia tetap meracau seperti anak kecil, minta telponin Mas Heri sama Ardan, dan juga minta ponsel yang baru. Entah kapan kamu bertaubat, Bu. Yang ada di otakmu cuma uang dan gengsi saja. Tiba di rumah aku langsung menelpon Mas Heri dan Ardan sesuai mau ibu, setelah selesai baru melaksanakan salat Dzuhur, saat melihat jam ternyata sudah pukul setengah dua. "Nasya, kamu temenin Bi Sela jualan ya, Mama mau salat dulu dah mau telat ini, kamu naik angkot aja biar cepet," titahku pada Nasya. "Iya, Ma." Gadis kecil itu segera bersiap. Lokasi warung seblakku dan rumah memang lumayan jauh jika jalan kaki, tapi jika naik angkot hanya perlu membayar dua ribu. Selesai salat Mas Heri dan Ardan terlihat sudah datang, mereka berdua sibuk menenangkan ibu yang menangis karena kehilangan ponselnya. "Amira, coba ceritakan awalnya gimana sih kok bisa dompet Ibu dijambret?" tanya Mas Heri saat melihatku keluar dari kamar. Kesempatan buat membongkar kebusukan ibu di hadapan anak-anaknya, sayang sekali Rista tak ikut kemari. "Gini, Mas, awalnya Ibu ngambil duitku di laci tempat penyimpanan uang hasil jualan, aku sudah bilang jangan ambil semua karena uang itu untung jualanku sejak pagi, tapi Ibu ga dengerin malah membawa paksa semuanya." "Aku udah coba ikhlasin mungkin itu bukan rezeki, ga lama kemudian ada seseorang yang teriak kecopetan, pas aku lihat keluar ternyata ibu. Gitu Mas ceritanya," ujarku bersemangat. Mas Heri terdiam, sedangkan ibu melotot ke arahku mungkin tak terima aku membongkar semuanya di hadapan Mas Heri dan Ardan. "Harusnya Ibu ga boleh gitu sama Mbak Amira, masa duit hasil jualannya diambil semua, begini 'kan jadinya kecopetan, itu karena duitnya ga berkah, Bu," sahut Ardan menasihati. Akhirnya ada juga yang menasihati wanita matre ini, semoga saja ia kapok. "Apa jangan-jangan kamu ga ikhlas ya duitnya diambil Ibu, terus nyumpahin Ibu yang jelek-jelek," selidik Mas Heri. Ibunya yang salah masih saja dibela, dasar buta! "Kamu bener, Heri. Mungkin ini karena kamu kali nyumpahin Ibu, Mir, keterlaluan kamu ya berani-beraninya nyumpahin mertua sendiri, Ibu sumpahin juga mudah-mudahan kamu ketiban sial abis ini," sahut ibu penuh amarah. Aku geleng-geleng kepala melihat sikap ibu dan anak ini, bukannya minta maaf karena sudah berbuat dzalim, malah balik menyumpahi yang jelek-jelek, ya semoga saja sumpah serapah jelek ibu kembali ke dirinya sendiri. "Terus hape Ibu gimana, Heri? Ibu ga bisa kalau ga pegang hape," rengeknya seperti anak kecil. "Ya gimana lagi, Bu, zaman sekarang ga ada harga hape yang sejuta, kalau second sih mungkin ada," jawab Mas Heri pasrah. "Engga! Ibu ga mau pake hape second apalagi yang harga sejuta, hape kamu aja buat Ibu." Ibu merebut ponsel Mas Heri yang tergeletak di atas meja. "Ya jangan dong, Bu, terus aku gimana buat komunikasi?" Mas Heri keberaatan. "Kamu pakai aja hape Amira, terus nanti suruh dia beli lagi, masa beli motor sanggup beli hape baru engga," celetuk ibu seenaknya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD