Chapter 9

1131 Words
Setelah membawa pulang 10 mobil balap baru ke garasinya, mood Freya sudah membaik. Ia tidak lagi mengamuk tak jelas atau meneriaki siapapun. Freya kembali seperti biasanya, kembali sibuk dengan segudang aktivitas padatnya. Namun, ada satu orang yang masih menggila. Keenan tetap menggila dengan terus mabuk-mabukan. Pagi ini Freya ke garasinya sebelum berangkat ke acara amal yang sudah ia jadwalkan sebelumnya. Ia menatap jajaran mobil-mobil mewahnya. Ia tersenyum puas.  “Aroma kemenangan” ucapnya dengan bangga. Setelah itu ia keluar dari garasinya dan menuju ke meja makan. Di tempat yang sama Keenan sudah yang kembali rapi dengan setelan jasnya. Meski demikian, pria itu diam seribu bahasa. Seolah sedang melancarkan perang dingin terhadap istrinya. Freya berkali-kali mendecak kesal karena ekspresi muram di wajah Keenan yang membuatnya ingin muntah. Pria itu terlihat sangat menggelikan bagi Freya. Keenan terlalu tua untuk sekedar patah hati dan mengambek seperti itu, yah begitulah perkiraan Freya. Namun, siapa yang bisa tahu apa yang ada di hati orang lain. Apa yang terlihat belum tentu seperti itulah sesungguhnya. Freya hanya bisa menerka-nerka. Tepat 10 hari sudah Sandra meninggalkan mansion tersebut dan selama itu pula Keenan terus menggila. Freya yang baru tiba dari sebuah acara makan malam dengan para istri pejabat secara tidak sengaja berpapasan dengan suaminya. Pria itu membawa sebotol wine di tangannya.  “Istriku…”  Keenan tersenyum dengan wajah berantakannya. “Mau minum dengan suamimu ini?” tanya Keenan yang dalam kondisi mabuk.  Freya hanya menghela nafas panjang.  “Minumlah di lantai 3”  Freya kemudian berlalu ke kamarnya.  “Kenapa dia begitu mengerikan? Sindrom patah hati akut? Atau bagaimana sih? Apa memang seperti itu?” tanya Freya secara beruntun saat Davina ikut masuk ke kamarnya. “Kenapa kau bertanya lagi, kaulah tersangkanya. Kau membawa separuh jiwanya pergi” ucap Davina sambil cekikikan. “Sebenarnya bagaimana kau mengancamnya hingga ia tunduk begitu?”  Freya malas menjawab pertanyaan Davina, ia hanya menggedikkan bahunya.  “Apa dia tidak tidur di lantai 3?” Davina yang hendak keluar dari kamar Freya menghentikan langkahnya dan berbalik menatap wajah Freya. Davina segera menggeleng.  “Selama 10 hari ini?”  Davina kemudian mengangguk.  “Tuan Wilfred hanya mengecek kamar-kamar di lantai 3 lalu kembali ke kamarnya tanpa meniduri siapapun. Sepertinya Tuan Wilfred tidak menyukai wanita-wanita di atas.” Freya mengangguk paham.  “Kalau begitu gantilah seluruh penghuni lantai 3, dia mungkin akan segera membaik jika menemukan patner barunya”  Setelah itu Freya menyuruh Davina keluar dari kamarnya. Freya berdiri di ruang gantinya dan menatap pantulan dirinya di cermin.  “Apa aku terlalu kejam soal Sandra kepadanya?” **** Sudah dua minggu Keenan makin muram. Pekerjaannya terbengkalai, ia juga tak lagi bisa diajak kerja sama mengenai rencana Freya masuk ke white house. Freya berkali-kali menggerutu karena ia harus berusaha sendiri. Padahal sebelumnya ia sudah membagi tugas dengan Keenan. Namun, saat ini semuanya terpaksa diambil alih oleh Freya. Freya berkali-kali datang sendirian di berbagai acara karena suaminya sedang mengalami sindrom patah hati tingkat tinggi. Freya sampai di mansion dengan wajah kelelahan, bagaimana tidak, ia mati-matian mempersiapkan diri untuk kursi nomor 1 di Amerika. Pemilihan presiden memang masih sekitar 1 tahun lagi. Namun, pergelutan dan pertarungan di dunia politik sudah makin tak terhindarkan. Freya memang belum akan mencalonkan suaminya di periode ini. Masih banyak yang harus mereka lalui, tapi ia harus mulai dengan mendekati sang calon pemilik kursi nomor 1 itu. Menyatakan dukungan dan menjadi penyokong dana. Tujuannya agar di periode selanjutnya saat semuanya sudah benar-benar siap, Freya siap membawa suaminya masuk ke white house. Tak mengapa ia kelelahan sekarang, toh memang inilah tujuannya. Tak mengapa ia menghabiskan milyaran sampai trilyunan asalkan ia bisa mencapai tujuannya. Menghancurkan monster itu. “Apa dia tidak ke lantai 3?” tanya Freya pada Davina saat melihat Keenan berjalan dengan langkah tak stabil akibat pengaruh alkohol.  “Tidak, sama sekali tidak”  Freya menghela nafas panjang.  “Apa dia tidak menyukainya?”  Davina menggedikkan bahunya. “Aku menyiapkan sesuai yang dikatakan Gibson, gadis-gadis manis seperti Sandra. Kata Gibson seperti itulah selera Tuan Besar.” Freya tertawa mengejek.  “Jika dia tidak ke lantai 3, bawa saja yang di lantai 3 turun ke kamarnya.”  Davina segera mengangguk lalu berjalan ke lantai 3 sementara Freya masuk ke kamarnya.  “Dia benar-benar kekanak-kanakan, dia sudah setua itu tapi cih benar-benar sangat labil” cibir Freya. 2 jam kemudian, pintu kamar Freya terketuk. Davina masuk dengan langkah terburu-buru.  “Aku sudah melakukan perintahmu” Freya menunggu hingga Davina selesai dengan ucapannya. “Tuan Besar tidak menyukai gadis yang kubawa”  Freya memutar bola matanya dengan malas.  “Jadi aku membawa semua yang di lantai 3 masuk ke kamar Tuan Besar.” “Lantas?” tanya Freya dengan penasaran. “Oh My God, jangan bilang dia meniduri 7 orang itu sekaligus?”  Freya sampai menutup mulutnya karena shock. Davina segera menggeleng.  “Tuan Besar marah-marah dan menyuruh semua penghuni lantai 3 pergi. Tuan Besar membentak mereka dan menyuruh semua gadis-gadis muda itu meninggalkan mansion.” **** “Apa yang terjadi dengan presdirmu?” tanya Freya pada Gibson.  Gibson yang sudah bekerja bertahun-tahun bersama Keenan hanya bisa tersenyum canggung.  “Tuan Wilfred tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan mengenai…” Gibson menjeda ucapannya.  “Eriska?” tanya Freya dengan ekspresi datar. Gibson sedikit tercengang karena begitu mudahnya Freya menyebut nama itu.  “Iya, bahkan saat Nona Eriska diseret ke penjara, Tuan Wilfred tak seburuk ini. Sebelumnya Tuan Wilfred tetap bekerja apapun masalah yang dihadapinya. Tapi, saat ini Tuan Wilfred benar-benar sangat buruk.” Freya menyesap teh hijaunya dan berpikir sejenak.  “Lantas apa yang harus kulakukan?”  Gibson terdiam lalu menggeleng.  “Kau lebih dulu mengenalnya. Tunggu, apa menurutmu aku harus membawa gadis itu lagi padanya?” tanya Freya.  “Menurutku tak perlu Nyonya, tak akan baik jika membawa gadis itu lagi.” Freya juga berpikir demikian, namun kondisi Keenan saat ini sangat menjengkelkan.  “Dia membuatku kesal, aku harus bekerja sendirian. Aku bahkan harus menemui orang-orang di pemerintahan sendiri. Ah, dia sangat menjengkelkan. Kenapa dia begitu kekanak-kanakan hanya karena seorang gadis.” Freya bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan Gibson. Freya berjalan bersama Davina di perusahaan milik suaminya, semua pegawai menunduk sopan padanya sementara Freya tersenyum ramah bak ratu kepada semua orang. Jika sudah berhadapan dengan banyak orang, wajahnya yang tadi kesal menahan amarah langsung cerah seketika. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Davina saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.  “Menontonnya” ucap Freya dengan nada malas. “Biar saja dia seperti itu, saat dia lelah dia akan kembali seperti sebelumnya. Untuk sementara, urusan perusahaan akan ditangani Gibson. Aku sudah mengatakan padanya jika dia membutuhkan bantuan, dia akan menghubungimu.” Davina hanya mengangguk.  “Lantas bagaimana dengan perjalanan ke white house?”  Freya menghembuskan nafasnya dengan keras.  “Seperti biasa, aku sudah melakukannya bertahun-tahun tanpa dia. Aku hanya perlu bekerja ekstra sekarang. Aku akan menambahkan bonus untuk kalian karena pekerjaan semakin banyak sebelum pemilihan.” Senyum Davina segera mengembang mendengar penambahan bonus.  “Sepertinya moodmu sedang bagus. Aku mencintaimu Freya Nadine Wilfred” Davina berteriak di dalam mobil.  “Kalau soal uang cepat sekali” sindir Brandon.  “Apa masalahmu huh? Aku membutuhkan uang untuk hidup mewah, selagi masih muda aku akan mengumpulkan banyak uang biar aku bisa menikmati masa tuaku dengan setumpuk uang di sisiku.” Davina tersenyum bangga. **** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD