Dua

1473 Words
Bara mengatur langkah kaki agar lebih cepat memasuki mobil yang terparkir di basement gedung apartemen Regan, di iringi langkah kecil Ratna yang terseok di belakang tubuhnya. Di genggaman lelaki itu terdapat tas ransel kecil yang sudah usang. Terasa tidak cocok bersanding dengan jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Ketika sampai di kendaraan miliknya. Bara langsung menghempaskan tas lusuh itu di jok mobil belakang. Lalu melirik Ratna yang masih terdiam kaku. "Cepat masuk," perintahnya, menatap Ratna yang masih berdiri diam di tempat. Ratna yang mendapat perintah itu mempercepat kinerja otaknya, mengangguk patuh, lalu tangannya mulai membuka pintu belakang hanya saja gerakan terburu Ratna tiba-tiba di hentikan oleh suara Bara yang menyahut tegas. "Duduk di depan. Aku bukan supir." Ratna memasang muka bodohnya. Ia lupa Bara tidak suka jika Ratna duduk di belakang kemudi. Itu akan membuat Bara merasa seperti supir pribadinya. Ratna segera menyahut. "B-baik Tuan." Lalu lari terbirit ke pintu mobil yang berlawanan, membuka pintu, melesat masuk ke dalam dan berakhir duduk di samping kemudi. Bara melihat tingkah menyebalkan Ratna hanya bisa menghembuskan napas secara kasar. Segera masuk ke mobil dan menyusul Ratna duduk di jok kemudi. "Pakai seatbeltmu." Ucapan Bara membuat Ratna langsung menoleh, gadis itu menatap Bara tak mengerti. "Apa Tuan?" Bara memejamkan matanya sejenak. Berbicara dengan Ratna harus menggunakan extra kesabaran. Sungguh tidak mudah untuk dirinya yang sangat buruk mengontrol emosi. "Maksudku pakai sabuk pengaman. Seperti ini." Bara memperlihatkan tali seatbelt yang menjuntai di sisi tempat duduknya. "Dan kamu harus memakainya seperti ini." Meskipun sudah menjelaskan tutorial cara memakai seatbelt dengan baik. Kening gadis itu tetap mengerut. "Saya ndak bisa pakainya Tuan." Dan selanjutnya yang bisa Bara lakukan hanya berdecak di dalam hati. Bisa-bisa semakin hari tensi darahnya akan selalu naik, jika terus meladeni ke udikan gadis desa ini. Pasti akan sia-sia, jika ia mempraktekkan pun Ratna tetap tidak akan mengerti alhasil Bara yang harus bergerak sendiri. Beringsut mendekati Ratna dan membuat tubuh gadis itu menegang kaku. Ratna mengerjap kaget saat wajah tampan Bara terlihat dekat sekali dengan wajahnya. Hidung yang mancung, bulu mata lentik dengan dagu tirus yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat wajah Bara terlihat sangat sempurna. Selama ini Ratna tidak pernah bertemu dengan pria sesempurna ini, di kampung tidak ada yang seperti ini. "Kenapa melihat wajahku seperti itu?" Pertanyaan Bara membuat Ratna langsung tersentak. Ia melihat posisi Bara sudah tegak di tempat asalnya. Ratna menunduk. Tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kejujuran lidahnya. Dari kecil Ratna sudah diajari untuk berbicara jujur terhadap semua hal. Termasuk hal yang ia lihat sekarang. "Wajah Tuan sangat tampan seperti bule. Saya belum pernah liat bule sebelumnya. Cuman pernah liat di TV tetangga. Yang acara jalan-jalan itu loh Tuan. Yang berenang mendaki, panas-panasan gitu acaranya." Bara mengerutkan kening mendengar lontaran polos dari mulut mungil gadis ini. "Bentar Tuan saya ingat-ingat dulu. Kayaknya sekarang bule itu udah nikah sama artis cantik. Siapa toh namanya. Ratna lupa lagi." Tidak memedulikan ekspresi Ratna yang mengerut mengingat-ingat hal yang tidak penting. Bara lebih memilih menghidupkan mesin mobil dan menjalankan roda empatnya untuk berputar. Mengitari kota Jakarta di malam hari yang sedang macet-macetnya. Bara melirik waktu yang terdapat di arloji tangannya. Sudah pukul 9 malam. Dan ia harus repot menyetir hanya untuk membuat gadis udik di sampingnya kembali menjadi pembantunya. Dan itu sangat merepotkan untuk waktunya yang terbilang cukup sibuk. "Ah ya Tuan!" Suara melengking Ratna sontak membuat Bara terkejut. Dengan raut kesal Bara langsung melirik Ratna tak suka. "Kamu bisa diam tidak!" Kedua bahu Ratna mencelos jatuh saat melihat wajah menyeramkan Bara. Tatapan intimidasi dari laki-laki ini sangat menyeramkan, dan kini tatapan itu telah kembali fokus ke arah jalanan di depan. Ratna menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengatakan, tetapi dia sudah mengingatnya. Haruskah ia mengatakannya pada Tuan Bara? "A-anu Tuan. Saya sudah mengingatnya." Bara melirik wajah takut Ratna. "Apa?" "W-wajah Tuan yang tampan mirip sama bule yang namanya amis daun." Mobil berhenti seketika akibat kemacetan yang melanda. Dan itu membuat Bara bisa mengalihkan fokus seluruhnya untuk menatap Ratna dengan kerutan bingung di dahi. "Amis daun?" ulangnya, merasa sangat asing dengan nama yang sedang Ratna lontarkan. "Iya Tuan, kalau ndak salah istrinya namanya Raiso." Kening Bara refleks mengerut. Kemudian di detik selanjutnya napas Bara terdengar sangat kesal. "Maksudmu Raisa?" "Nah itu Tuan. Ratna lupa huruf akhirnya. Wah Tuan hebat bisa inget nama artis cantik Raisa." Dengan wajah seperti orang bodoh. Bara langsung melempar tatapannya sejauh mungkin dari wajah cantik yang sedang berseri di samping tubuhnya. Mulutnya ingin sekali memuntahkan makian si ujung lidah tetapi ia tahan. Bisa semakin gila jika ia terus meladeni gadis sinting ini berbicara. Dan apa dikatakannya. Amis daun? Shit! Itu Hamish Daud maemunah! Otaknya bisa saja sinting jika terus meladeni gadis udik itu. Heran Regan bisa memberikan gadis seudik ini untuk menjadi pembantu di rumahnya. Apa tidak ada wanita lain. Yang lebih layak, bukan gadis udik seperti Ratna. *** Drett drett Bara merogoh ponsel di saku celananya yang terus bergetar sedari tadi sambil berjalan memasuki pintu utama rumah yang sudah tiga tahun ini ditempatinya. Ratna masih setia mengekor dengan memeluk tas ransel lusuh yang terdapat pakaian miliknya di dalam. Masih memperhatikan punggung tinggi tegap Bara yang kini sedang fokus menerima panggilan. Saat ini Ratna bisa mendengar percakapan mereka. Dan Ratna juga bisa sedikit mendengar suara samar wanita yang menjadi lawan bicara Tuannya. "Ada apa?" pertanyaan Bara terdengar sangat terganggu. "Arsya sudah pulang belum?" "Belum, besok Arsya pulang." "Aku kangen banget sama Arsya Bar. Minggu depan aku ke rumahmu ya." Ratna ikut berhenti saat langkah Bara tiba-tiba terhenti. "Boleh kan? Aku kangen banget sama Arsya." Bara mengorek kunci pintu rumahnya sambil menjawab pertanyaan tersebut. "Terserah kamu." "Yess thank you. Sekalian aku ingin mengenalkan seseorang." Tubuh Bara tiba-tiba terdiam. Ia tahu maksud wanita itu datang ke rumahnya. Mengenalkan seseorang lagi? "Baru lagi?" "Em ya. Pria sebulan lalu yang aku kenalkan sudah aku putuskan." "Why?" "Karena ... kami tidak cocok." Bara berdecih mendengar jawaban tak bertanggung jawab wanita di seberang sana. "Terserah kamu lah. Yang pasti aku tidak suka jika anakku menjadi bahan uji coba kecocokanmu." "Tapi Bar, aku melakukan itu juga demi kebaikan Arsya. Bagaimana pun aku ibunya, aku tidak mungkin menikah lagi pada laki-laki yang tidak bisa menyayangi Arsya dengan tulus." "Terserah kamu. Aku tutup." Bara menutup panggilan itu secara sepihak, menyimpan ponselnya ke saku celana. Kemudian mata tajamnya melirik Ratna yang masih mematung di tempatnya, kini gadis itu berdiri di samping tubuhnya sedang menatap tanpa berkedip wajah Bara yang baru selesai menelpon. "Kamu ngapain?" Ratna mengerjap, terkejut dengan pertanyaan Bara. Buru-buru mundur dan kembali berdiri di belakang, untuk menghalau kecurigaan dari Tuannya. Bara berbalik. Masih belum puas pertanyaannya belum di jawab Ratna. "Kamu sedang apa tadi? Menguping pembicaraan orang?" Kedua tangan Ratna langsung mengibas. Kepalanya menggeleng menampik tuduhan sepihak Bara. Ratna tidak menguping kok. Hanya tak sengaja mendengar. "Saya ndak menguping kok Tuan. Hanya saja saya perhatikan wajah Tuan bener-bener tampan mirip kang mas bule yang ada di TV amis daun." Bara memijit pelipisnya. Pusing dia dengan ocehan Ratna yang selalu salah. Dan apa katanya. Dia tampan? Bara tidak menyangka ada seorang pembantu yang berani terang-terangan memuji majikannya tampan di depan orangnya sendiri. "Terima kasih karena kamu sudah memujiku tampan. Namun ada yang salah dalam ucapanmu. Nama bule itu bukan amis daun tapi hamis daud okay." Ratna terlihat diam. Seperti tengah menggali ingatannya dan mengalikannya pada ucapan Bara barusan. Tidak sadar ia menoyor kepalanya sendiri saat ia tahu bahwa memang ada kesalahan terhadap daya ingatnya yang tidak terlalu tajam. Padahal Ratna belum jadi nenek-nenek sudah jadi pelupa begini. "Ah Tuan benar. Namanya hamis daud. Bukan amis daun. Wah Tuan juga hapal nama-nama aktor toh. Tapi menurut Ratna wajah Tuan lebih tampan dari hamis daud. Seharusnya Tuan ndak boleh gitu. Harus artis yang lebih ganteng. Orang biasa ndak boleh ganteng-ganteng," ucap Ratna tegas. Mendengar itu Bara semakin mengetatkan rahangnya. Mengesalkan sekali gadis ini. Setiap pembicaraan yang diolah mulutnya selalu tidak ada yang benar. "Terserah lah. Sekarang kamu masuk. Lalu tidur. Ini sudah malam. Dan ingat besok pagi jangan salah memasukan gula di kopiku lagi. Aku sudah menaruh gula dan garam di tempat yang berbeda, ada tulisannya juga." Ratna tersenyum lalu mengangguk mengerti. "Baik Tuan. Akan saya laksanakan." Tanpa melihat Ratna. Bara segera melangkah menjauhi gadis itu. Memasuki rumah besar miliknya, lalu ketika telapak sepatunya menapak di anak tangga ia kemudian berbalik mencegah Ratna melangkah ke arah kamarnya. "Ratna, jangan lupa kunci pintu rumah." Langkah Ratna seketika terhenti. "Ah, iya Tuan saya lupa. Untung Tuan kasih tau." Gadis itu bergegas kembali lagi ke pintu utama dan menguncinya. Bara menghela napas, denyutan pusing melanda kepalanya semakin menjadi. Mempunyai pembantu seperti Ratna harus mempunyai kesabaran tinggi. Agar tidak stress memikirkan kebodohan yang terus ditimbulkan gadis itu. Mengunci pintu saja dia lupa. Usianya baru 19 tahun padahal. Tetapi tingkahnya sudah seperti penghuni panti jompo. Benar-benar mengesalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD