Awal Kisah Bermula

1291 Words
"Zira, biaya pengobatan adikmu--" "Saya akan mengusahakannya, Dokter. Jadi tolong ... tetap lakukan yang terbaik untuk adik saya." Wanita memakai hijab berwarna biru muda itu tergugu di dekat jendela salah satu rumah—tempat sang adik melakukan pengobatan. Tangannya yang pucat dengan ujung jari memerah meraba kaca yang menjadi sekat seolah adiknya yang berada di depan sana bisa dia sentuh dan dia belai rambutnya seperti biasa. Padahal yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah melihat adiknya dari jauh dan senantiasa berdoa, semoga adiknya baik-baik saja. Ayra Hazira. Wanita berusia 23 tahun itu menyeka sudut matanya yang basah. Adik semata wayangnya yang dia beri nama Dirgantara itu sedang terbaring tak berdaya dengan alat penunjang kehidupan yang menempeli sekujur tubuhnya. Mata Dirga terpejam rapat, meski dia tau Dirga tidaklah terlelap. Dirga hanya berpura-pura saja karena tidak mau melihatnya menangis sesaat kesadarannya belum hilang. Entah sejak kapan Dirgantara menderita penyakit gagal ginjal yang membuatnya harus melakukan cuci darah berulang selama 3 tahun terakhir karena sebelumnya, Dirga sangat baik-baik saja. Dirga adalah adiknya yang pintar, aktif dalam semua kegiatan di sekolahnya dan rajin membantunya bekerja karena ayah sekaligus ibu mereka, tiada 7 tahun silam karena sebuah kecelakaan. Namun, 3 tahun yang lalu. Tepat sebelum ulang tahun Dirga yang ke 12, teman sekolah Dirga tiba-tiba menghubunginya dan mengatakan jika Dirga dibawa ke rumah sakit setelah pingsan tanpa sebab. Dan saat itulah, dunianya berubah hancur dalam sekejap setelah dokter mengatakan jika adiknya menderita sebuah penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Sebenarnya Zira sudah terbiasa melihat Dirga seperti ini. Akan tetapi, tetap saja sakit menyaksikan Dirga harus berjuang dengan hidupnya sendiri. Penyakit Dirga yang jahat itu, membuat Dirga tidak bisa beraktivitas seperti dulu lagi. Gerak tubuhnya terbatas karena Dirga lemah. Dirga pun terpaksa berhenti sekolah karena dunia luar begitu tidak adil padanya. Tentu dia tidak mau, jika Dirga diperlakukan semena-mena karena kondisinya yang seperti ini. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan pernah berhenti memperjuangkan kesembuhan Dirgantara. Adik lelaki satu-satunya itu dia pastikan sehat seperti sedia kala karena kemungkinannya pun masih besar selama Dirga rutin menjalani prosedur kesehatan. Tinggal memikirkan biayanya saja dan dia masih berusaha. Ruangan menjadi begitu hening sesaat. Melihat bagaimana kesedihan Zira, dokter muda bernama Adam itu pun berdeham pelan untuk mengalihkan perhatian. Adalah bohong, jika dia tidak mengagumi bagaimana tangguhnya wanita berhijab di depannya sekarang. “Dirga akan baik-baik saja, Zira. Kamu tidak perlu khawatir atasnya. Aku akan tetap membantu seperti biasa. Itulah yang ingin aku katakan.” Kepada Zira, dokter Adam memang mengatakan jika pihak rumah sakit masih bisa menangguhkan semua hutang-hutang atas pengobatan Dirga. Padahal yang sebenarnya, ada campur tangannya karena dia tidak tega melihat wanita itu menanggung beban teramat sangat. Buru-buru Zira mengusap air matanya yang berjatuhan. Dia memutar tubuhnya kemudian menunjukkan sebuah senyuman tipis seraya mengangguk pelan. Sama sekali tidak menyangka jika dia akan bertemu dengan dokter sebaik dokter Adnan yang tidak hanya bertanggung jawab dalam menangani kondisi Dirga melainkan keterbatasan biaya yang dia punya. Yang jelas, dokter itu masih muda dan dirinya begitu beruntung karena dokter itu bersedia membantunya. "Terima kasih banyak, Dokter. Saya tidak tahu harus membelas kebaikan dokter bagaimana. Namun yang jelas, kebaikan dokter tidak akan pernah saya lupakan." ada tawa getir yang terbit di bibir Zira begitu mengingat nasib Dirgantara. Dia merasa begitu bersalah karena terlambat mengetahui penyakit yang Dirga derita. Andai lebih cepat, mungkin Dirga tidak harus merasakan sakit ini terlalu lama. Dokter Adam mengangguk. Sekali lagi dia melihat wanita muda di depannya dengan senyuman kagum. Karena kelangsungan hidup Dirga, wanita bernama Zira itu sampai merelakan semua harta benda peninggalan keluarganya habis tak tersisa. Memang tidak se banyak orang kaya di luar sana. Namun, yang dia tahu keluarga Zira adalah keluarga yang berkecukupan karena memiliki usaha konveksi dan yang lainnya. Dan sekarang, kebahagiaan Zira pun wanita itu pertaruhkan. Siang malam Zira bekerja hanya untuk pengobatan Dirga. Demi apa pun, Dirga sangat lah beruntung karena memiliki kakak perempuan seperti Zira yang begitu menyayanginya. “Dirga selalu mengatakan padaku jika suatu hari nanti dia akan membuatmu bangga, Zira. Dia juga berjanji untuk bertahan sekuat dia bisa karena tidak mau meninggalkanmu sendirian. Jadi percayalah jika semuanya akan baik-baik saja. Kamu tidak boleh sedih atau Dirga akan menjadikannya sebagai beban pikiran.” Dokter Adam memberikan nasihat sekaligus semangat untuk wanita rapuh itu. Bagaimana pun dia mengerti bagaimana perasaan Zira. Setiap detiknya, Zira pasti dihantui oleh perasaan khawatir sekaligus takut akan kondisi Dirga yang sewaktu-waktu bisa drop dan mungkin saja menyerah pada hidupnya. “Kalau begitu, katakan juga pada Dirgantara untuk terus bertahan, Dokter. Jangan memikirkan saya dan cukup fokus pada kesehatannya. Sekali lagi terima kasih banyak karena sudah merawat Dirga dengan baik selama ini. Titip Dirga. Nanti sepulang bekerja, saya akan menjemputnya seperti biasa.” “Tentu saja.” “Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam.” Zira meninggalkan pijakan. Menjauh dari dokter Adam yang terus memandangi punggungnya begitu dia menyusuri koridor dengan langkah gontai. Situasi ini, jelas membuatnya tak berdaya. Hati dan pikirannya selalu ada bersama Dirga sehingga untuk fokus bekerja pun dia tidak bisa. Sebelumnya, dia telah kehilangan pekerjaannya sebagai pelayan di restoran. Entah secara sengaja atau tidak seorang teman membuat namanya jelek sehingga pemecatan itu terjadi tanpa dia perkirakan sebelumnya. Beruntungnya, setelah dia keluar dari restoran itu dia memiliki pekerjaan baru. Yakni merawat para orang tua yang dititipkan ke panti jompo oleh anak-anaknya. Meski gajinya tidak sebesar saat dia bekerja di restoran, akan tetapi gaji yang dia dapat dari panti jompo cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga mencicil biaya pengobatan Dirga yang semakin menumpuk setiap pekannya. Masa ini tidak lagi sama dengan masa kemarin saat harta benda peninggalan ayahnya masih ada untuk dia jual. Saat ini, semuanya sudah terkuras habis dan satu-satunya yang bisa dia andalkan adalah dirinya sendiri. Doanya, semoga Tuhan segera mengubah semuanya menjadi lebih baik. Entah dengan cara bagaimana? Yang jelas dia percaya jika akan ada pelangi setelah badai. Panti Jompo beberapa menit kemudian. Zira sudah sampai di panti jompo tempatnya bekerja selama beberapa pekan. Segera dia melakukan tugasnya seperti biasa. Kebetulan shift jaganya hari ini dimulai dari jam 12 siang sampai jam 10 malam karena sebelumnya, dia sudah izin kepada penanggung jawab panti jika dirinya masih harus ke rumah sakit untuk mengantar Dirga cuci darah dan beruntungnya, penanggung jawab panti bernama Bu Sinta itu mengizinkannya. Sembari membawa troli berisi makan siang untuk para orang tua, Zira melihat situasi sekitar yang begitu tenang. Panti jompo di gang Roseline ini memang termasuk kawasan elite karena para orang tua yang tinggal di tempat ini mayoritas dari keluarga kaya. Sebenarnya, ada juga dari kalangan orang-orang menengah tetapi, jelas berbeda tempat tinggalnya sesuai uang yang mereka punya. Perawat di panti jompo ini lumayan banyak. Mereka dipisah berdasarkan kebijakan penanggung jawab panti kemudian mendapat bagian masing-masing dan kebetulan, di sinilah dia bertugas setiap hari. Merawat 20 orang tua bersama 5 pekerja lain. Menjalani getirnya kehidupan yang membuatnya sampai di situasi ini. Andai Ayah dan Ibu masih ada ... mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti sekarang. “Astagfirullah!” Denting kotak makanan yang berjatuhan di lantai ketika ujung troli yang Zira bawa ditabrak secara tergesa oleh seorang pria, pun menyadarkannya secara paksa dari lamunan. Zira gelagapan. Seketika berpandangan lekat dengan pria berpenampilan rapi itu dengan rasa takut teramat sangat. Rasanya, dia tidak terlalu larut dalam lamunan sehingga kehilangan arah. Memang pria itulah yang kurang memerhatikan jalan sampai menabrak troli yang dia bawa. Namun, mana pernah orang kaya mau mengalah? “Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja.” Lekas Zira mengambil sapu tangan bersih dari saku pakaian kerjanya. Hendak membersihkan ujung sepatu mengkilap yang terkena tumpahan makanan tetapi, pria itu justru membuat gerakan dengan mengangkat sebelah tangan sehingga dia berhenti seketika. “Bagaimana bisa ada gadis ceroboh sepertimu?! Menyebalkan!” Zira tertegun. Saat itulah dia menyadari jika berurusan dengan orang kaya sama saja membawa masalah dalam hidupnya yang sudah rumit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD