Episode 2

2959 Words
Dhika Pov   Seperti yang sudah aku rencanakan, weekend ini aku pergi ke Bandung untuk mengunjungi sahabat-sahabatku. Dewi salah satu sahabatku, sudah menghubungiku berkali-kali. Bahkan mengancamku agar segera datang ke kota Bandung dan menengok keponakanku yang baru lahir satu bulan yang lalu. Memang sudah 6 bulan ini aku tidak pernah berkunjung kesana. Aku terlalu malas untuk mendengar ceramah dan ocehan dari mereka, mengenai perempuan dan pernikahan. Cukup Mommy yang selalu merecokiku dalam masalah perempuan dan pernikahan ini. Sedikit akan aku jelaskan tentang sahabat-sahabatku itu. Aku dan mereka sudah bersahabat dari sejak kecil, bahkan sejak kami masih di dalam kandungan. Karena kebetulan orangtua kamipun bersahabat.  Kami memberi nama Brotherhood pada persahabatan kami, yang artinya persaudaraan. Kami sePakat ingin menjalin persahabatan ini menjadi sebuah persaudaraan dan kekeluargaan. Persahabatan yang terjalin sejak kecil ini, beranggotakan delapan orang dengan lima orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Persahabatan yang diketuakan oleh aku sendiri PraDhika Reynand Adinata. Daniel Cetta Orlando,dia adalah wakil ketua di Brotherhood. Dia termasuk orang yang sangat jelik dan sangat hati-hati dalam bertindak. Maktanya tak heran dia menjadi seorang pengacara yang cukup hebat dan terkenal di kota ini. Selain Daniel, ada juga Erlangga Prasaja. Dia sahabatku yang paling santai, kata-katanya cuplas ceplos dan apa adanya. profesinya adalah seorang Dokter sama sepertiku, hanya saja dia lebih memilih Dokter umum dan bertugas di AMI hospital cabang yang di Bandung. Ada juga ArSeno Basupati, dia sahabatku yang sangat emosional, gampang marah dan tersinggung tetapi sebenarnya dia begitu baik dan humoris. Profesinya adalah seorang CEO diperusahaan yang bergerak dalam bidang percetakan. Oktavio Adelio Mahya tetapi kami sering di panggil sang Aligator, atau lebih tepatnya Gator. Karena dia keturunan buaya muara dari rawa-rawa. Dan dia yang paling bontot dalam persahabatan ini. Orangnya sangat sederhana, humoris dan mudah akrab dengan sesama. Umurnya masih sangat muda dan jauh dibawahku. Tetapi diusitanya yang muda dia berhasil menjadi seorang pengusaha muda terkenal dalam bidang perhotelan, meneruskan usaha orangtutanya. Mengingat dia, aku teringat alasan dia tidak ingin menikah. Dia hanya ingin bermain-main saja dengan para kaum hawa, mungkin karena belum menemukan wanita yang sesuai dengannya. Dan untuk para perempuannya, aku mempunyai sahabat yang paling bawel dan selalu saja mengganggu ketentramanku, memang aku paling dekat dengannya karena sifat dewasa yang dia miliki. Dia juga yang memaksaku untuk datang ke Bandung dengan ancaman akan membuat cafeku bangkrut, ancaman macam apa itu. Tidak masuk diakal, dan dia adalah Dewi Zaleka Fredelima Earnnal, dia seorang ibu rumah tangga dan juga membantuku mengurusi café yang aku bangun saat aku kuliah dulu. Dia menikah dengan seorang CEO dari perusahaan yang bergerak dalam bidang proferty. Irene Zahrah Arundati, dia sahabat perempuanku yang paling muda, yang paling cerewet dan selalu ceria. Umurnya sama dengan Okta, tetapi dia sudah menjadi seorang Ibu Rumah Tangga. Iren adalah istri dari ArSeno, anak Brotherhood juga. Mereka yang paling awet berpacaran.  Dan yang terakhir Elzabeth Corinna Emery, dia sahabatku yang paling jutek dan galak. Tetapi anehnya dia malah menjadi seorang guru TK, aku heran bagaimana wanita segalak dia bisa menjadi seorang guru tk. Dia sudah menikah dengan salah satu anggota kepolisian, meski pernikahannya sudah jalan 3 tahun, tetapi mereka belum dikaruniai seorang anak. Mereka semua adalah sahabat-sahabatku, sahabat sejatiku. Mereka selalu ada dalam keadaan susah maupun senang, mereka juga selalu membantu setiap ada sahabatnya yang kesusahan. Diantara kedelapan sahabatku itu hanya aku dan Oktavio yang belum menikah. Sedangkan yang lainnya sudah menikah dan memiliki anak. Aku tersadar dari lamunanku saat sudah sampai di depan sebuah perumahan. Aku membelokkan mobil sportku memasuki perumahan elit Taman Sari ini. Aku memasuki pekarangan sebuah rumah yang terlihat sederhana tetapi gaya klasik modernnya terlihat jelas di sana. Dihalaman rumahnya sudah terdapat beberapa mobil yang berjejer, aku sangat tau siapa saja pemiliknya. Aku turun dari mobil dengan membawa beberapa kantung berisi kado untuk para keponakanku. Aku berjalan memasuki rumah yang pintunya terlihat terbuka sedikit, terdengar suara gelak tawa dan suara berisik dari ruang keluarga. "Assalamu'alaikum" Seruku saat memasuki ruangan itu membuat semua orang menatap ke arahku. "Om Dhikaaaaaaa" panggil seorang anak laki-laki berumur 5 tahun menghampiriku. "Hallo Verrel, ini Om bawa oleh-oleh buat kamu." Aku menyerahkan kotak kado berwarna biru kepada Verrel yang meruPakan anak dari sahabatku Daniel dan Serli. "Yeeee,,, aku dapet kadoo.. makasih Om..." Verrel berjingkrak senang saat menerima kado itu, membuatku gemas melihatnya. Dan saat bersamaan juga 4 orang anak yang meruPakan anak dari sahabatku juga berlari menghampiriku. 3 orang anak perempuan dan satu laki-laki yang umurnya lebih dari Verrel. Kini sudah berdiri di hadapanku, membuatku berjongkok di hadapan mereka. Aku mengeluarkan kado dari kantong yang aku bawa. "Ini khusus untuk keponakan Om yang kembar. Buat Randa dan Rindi."  Aku menyodorkan kado ke arah dua gadis kembar yang sangat lucu dan cantik. Mereka adalah anak dari sahabatku Irene dan Arseno. Aku mengusap kepala mereka berdua yang terlihat sibuk membuka kado. "Rasya mana Om?" tanya seorang gadis cantik berumur 4 tahun itu dengan mengadahkan kedua telaPak tangannya, membuatku tersenyum. "Ini untuk keponakan Om yang paling chubby." Aku menyerahkan kado berwarna pink sambil mencubit pipi chubbynya. "Yee... makasih Om." Rasya mencium pipiku dan berlari menghampiri kedua orangtutanya. "Percy dapet gak om Dhika? Kalau nggak, nanti Percy aduin Mama lho," ucap anak berusia 6 tahun ini. Dia sangat mirip dengan Mamtanya tukang mengancam. "Ada gak yah,? Tapi kantongnya udah kosong, maaf yah Percy, Om lupa," ucapku berpura-pura merasa bersalah. "MAMA...!!!" teriak anak ini seperti biasanya membuatku ingin tertawa. "Dhika, jangan mulai. Gue gak mau dia sampe nangis," Seru Dewi yang tengah duduk bersandar di sofa panjang sambil menggendong bayinya. "Baiklah. Buat Percy, Om bawa special. Kamu ambil sendiri di mobil Om sama yang buat adik kamu yah." Wajahnya yang tadinya cemberut kini menjadi berseri. Dasar anak kecil. Setelah membagikan kado, aku berjalan ke arah sahabatku dan menyalami mereka. Aku memilih duduk di samping Dewi. "mana coba anak lu yang kedua?" Ucapku mengambil alih bayi perempuan lucu dalam gendongan Dewi. "Lu kemana saja, baru dateng?" tanya Daniel. "Gue sibuk" ucapku datar sambil menatap bayi lucu di hadapanku. "suami lu kemana za? Gak dateng?" tanyaku pada Elza. "Dia lagi piket" jawab Elza. "Maklum, lakinya Mamake kan anggota pembasmi kejahatan" ujar Okta "Kak Dhika, kamu udah sangat pantas lho punya bayi," ujar Serli sambil membantu putrtanya membuka kado. "Iya jangan hanya ngurusin pasien mulu, tapi urusin masa depan lu" Timpal Dewi, aku tidak menghiraukan ucapan mereka dan lebih fokus membawa main bayi kecil di pangkuanku. "Jangan mulai deh, Dhika baru datang. Kasian dia, ntar ngambek lagi kayak kemarin dan imbasnya dia gak pernah datang-datang lagi," ucap Elza. Elza memang selalu memahamiku, meskipun dia terlihat cuek tetapi dialah yang selalu peka dengan perasaan sahabatnya sendiri. "Elza bener, jangan hanya si Dhika yang diPaksa buat nikah. Nih playboy buluk belum nikah-nikah juga" ucap Angga melirik ke arah Gator. "Yaelah, kalau nikah itu gampang. Tapi gue gak mau, gue malas berkOmitmen sama cewek. Yang udah-udah juga bikin ribet dan nyusahin" cibir Gator. Aku tau dia menyindir siapa. Karena saat kehamilan Serli dan Irene, mereka selalu saja merecoki Gator dan mengganggunya dengan berbagai macam aneka ngidamnya. Membuat Gator kabur ke Jakarta. "Alasan saja lu, gak ribet kali. Nikah tuh enak. Iyakan ayah" ucap Dewi kepada suaminya. "Iya enak buat lu berdua, nah kalau bininya kayak kaleng rOmbeng dan cewek Metromini ogah gue," ucap Okta "Eh Gator, lu gak tau aja. Gue itu termasuk istri idaman para laki-laki, laki gue aja bersyukur dapet istri kayak gue" ujar Irene dengan bAnggtanya "Iyalah si Seno bersyukur di depan lu. Nah dibelakang lu, dia itu nyesel nikahin lu. Dia takut sama lu,,hahahaha"  Semuanya cekikikan mendengar ocehan Okta, karena memang semuanya tau kalau arseno susis alias suami takut istri. "Emang begitu Sayang?" tanya Irene penasaran. "Nggak kok Honey, jangan dengerin si Gator," ucap Seno lembut. " Dasar Julid!" cibir Seno. "Dasar susis," timpal Gator. "Yang terbaik tuh bininya si Angga, dia gak pernah ngerepotin gue saat hamil Rasya. Mereka nikmatin rumah tangga mereka berdua tanpa nyusahin orang lain gak kayak dua cwek aneh ini," ujar Gator menunjuk Serli dan Irene. "Lu juga kalau ntar udah nikah, pasti ngerasain gimana rasanya. Indah lho menjalani hidup berumah tangga, iyakan sayang." Angga merangkul Ratu yang terlihat merona. Mereka berdualah yang selalu terlihat adem ayem dan romantis. "Gue nyusahin lu juga, karena Verrel ponakan lu. Sama anak sepupu sendiri juga," cibir Serli. "Iya, kalau bukan sepupu gue, gue sih ogah. Apalagi ngidam lu aneh banget. Pake pengen keliling semua kota di luar jawab Pake kereta api lagi. Bikin gue muntah-muntah karena terlalu lama dikereta api. Gue curiga si Verrel cita-citanya mau jadi masinis kereta api," ucap Gator.  Ya, aku ingat saat itu, Serli merengek ke Gator untuk menemaninya keliling kota di luar Jawa mengguNakan kereta api. Meninggalkan Daniel sendiri selama seminggu. "Enak aja lu kalau ngomong, anak gue mau jadi seorang Dokter kayak Omnya," ucap Serli. "Gimana Verrel aja Bun, dia bebas menentukan apapun keinginannya" ujar Daniel dengan bijaksantanya. Kami terus berlanjut membicarakan berbagai hal. "Ommmm Dhikaaaaa..." tawaku terhenti saat melihat Percy datang dengan membawa kado menghampiriku. "Ada apa?" tanyaku, kalau sudah berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Aku mampu meluPakan semua masalah dan luka membekas di dalam hatiku. "Aku nemuin foto ini di jok mobil Om. Tante ini siapa Om? Cantik banget, malahan Mama dan Tante-tante yang ada di sini jauh kalah cantiknya sama Tante yang di foto ini," cerocos Percy membuatku mengambil foto itu. Aku tersenyum melihat gadis yang ada di foto ini. "Dia memang sangat cantik." Aku tersenyum kecil mengingatnya. Wanitaku... Semuanya terdiam, saat aku melihat mereka tengah menatapku dengan berbagai pandangan. "Ada apa dengan kalian? Easy guys... Gue baik-baik saja." "Dhik, ini udah 10 tahun dari kepergian Lita," ucap Daniel. "Ya gue tau, tapi gue gak nyerah untuk selalu menunggunya dating," jawabku dengan percaya diri. "Lu yakin dia akan kembali?" tanya Angga membuatku melihat ke arahnya. "Ya, gue yakin!" ucapku pasti, meski hatiku merasa bimbang. "Apa mungkin Lita masih hidup?" tanya Serli. "Dia masih hidup, aku yakin!" Aku sangat yakin dengan feelingku kalau Lita masih hidup. "Dhik, jangan seperti ini. Lu harus-" ucapan Dewi terhenti saat gue menatap tajam ke arahnya. "Nggak Wi, lu gak perlu ngomong apa-apa lagi. Udah gue bilang, gue hanya akan menunggu Lita semasa hidup gue. Ntah berapa tahun lagi gue harus menunggunya. Sampai gue matipun, gue akan tetap menunggunya," ucapku tegas. "Lu juga harus pikirin diri lu, Dhik." Kali ini Seno yang bersuara. Ini pembahasan yang paling aku benci. "Masa depan gue akan baik-baik saja, kalian gak perlu khawatir. Gue akan baik-baik saja," ucapku. "Apa lu gak iri sama kita-kita yang udah punya keluarga dan anak?" tanya Daniel. "Tidak! Gue akan membangun keluarga asal dengan Lita dan tidak dengan wanita manapun!" ucapku beranjak setelah mengembalikan bayi Dewi kembali ke Ibunya. "Gue ke mushola dulu." Aku pergi meninggalkan semuanya menuju mesjid yang tak jauh dari rumah Dewi.   Dhika Pov End "Dia selalu saja begitu," keluh Dewi. "Kalian semua jangan selalu merecokinya, kasian dia. Gue paham dengan apa yang dia rasakan, perasaan bersalahnya pada Lita dan rasa cintanya sangat besar," ucap Elza. "Gue setuju sama lu Mamake, jangan buat Dhika semakin terbebani. Leader kita itu butuh dukungan dari kita sebagai sahabatnya. Gue yakin Lita belum mati, gue udah cari tau tentang kebakaran yang terjadi di rumah sakit 10 tahun yang lalu, dan tidak ada tanda-tanda kalau Lita menjadi korban," ujar Okta. "Gue juga berharap Lita belum meninggal," gumam Serli menatap kosong ke depan. Daniel paham dengan apa yang Serli rasakan. Ia memegang tangan Serli dan meremasnya. Membuat Serli tersenyum ke arahnya. *** Semuanya tengah menikmati makan malam bersama di taman belakang rumah Dewi. Semua anak-anak sudah tertidur pulas dan kini hanya tinggal para orangtua. Tak lama datang suami Elza yang bernama Jackson. "Malam semua..." sapa Jack yang baru datang. "Malam Jack." jawab semuanya. "Hai Sayang, maaf aku terlambat." Jackson mengecup kening Elza dan duduk di sampingnya. "Eh ada Pak Dokter juga, apa kabar Dhik?" sapa Jack. "Baik, Jack." jawab Dhika. "Guys,, ini barbequenya udah mateng. Ambil sendiri yah!" teriak Irene dari tempat pemanggangan barbeque. "Dasar Kaleng Rombeng, gak usah teriak-teriak. Suara cempreng lu ganggu gendang telinga gue!" keluh Okta yang tengah mengolesi daging dengan margarin dan bumbu dengan koas di tangannya. "Diem lu Gator!" jawab Irene mendengus. "Honey… Ini ambil daging punya kamu," teriak Irene lagi. Padahal jarak Irene dengan Seno tidak terlalu jauh, tetapi Irene sangat suka berteriak. "Iissshhh.... Gue sumpel juga congor lu Pake koas nih," keluh Okta kesal, tetapi Irene hanya cuek saja dan malah berjalan menghampiri Seno seakan ucapan Gator adalah angin lalu. Tak lama Serli datang menghampiri Okta dengan membawa piring di tangannya. "Yaelah, Kaleng Rombeng ilang kini datang lagi cewek Metromini," keluh Okta, hidupnya kenapa selalu di recoki oleh 2 wanita menyebalkan ini. "Ngomong apaan lu?" tanya Serli dengan nada galak. "Gue lagi berdoa, biar kuntilanak-kuntilanak gak pada ngerecokin gue mulu," ujar Okta. "Yang mana ini yang udah mateng?" tanya Serli. "Belum ada," jawab Okta sibuk membulak balikan daging. "Daritadi lu ngapain aja sih Gator? Kenapa belum ada yang mateng?" sewot Serli. "Heh Kun kun Metromini, gue bukan chef lu yang harus masakin buat lu. Masak aja sendiri!" ucap Okta sambil mengambil barbeque miliknya ke dalam piring. "Itu buat gue dulu," rebut Serli. "Enak aja, kalau lu mau, ya masak sendiri," jawab Okta. "Buat gue dulu, lu masak lagi." Serli menyerobot piring Okta dan pergi meninggalkan Okta begitu saja. "Dasar Metromini gendeng! Seneng bener lu nyerobot makanan gue!" amuk Okta tapi Serli cuek aja dan duduk di samping Daniel. "Ada apa sih Bun? Kenapa si Gator ngamuk?" tanya Daniel kepada Serli tetapi Serli hanya mengedikkan bahunya diiringi cengengesannya karena berhasil membuat kesal Gator. Tak lama Okta datang dengan membawa banyak barbeque. "Nih makan, kalian enak pada ghibah di sini nah gue sibuk sendiri!" keluh Okta duduk di samping Dhika. “Mana ada ghibah enak, yang ada juga dosa kali,” kekeh Ratu membuat yang lain terkekeh. “Harusnya lu bersyukur dan gak banyak ngeluh karena terhindar dari dosa,” timpal Angga membuat Gator mencibir. “Lagian itu kan emang tugas lu, Gator.” Kini Serli kembali bersuara. "Dasar Metromini, gue pites tau rasa lu!" gerutu Okta sebal. "Ck, kalian berdua kayak anak kecil aja, cekcok mulu. Gak baik kalau di liat Verrel," ujar Daniel menengahi. "Maktanya kalau cari bini jangan model kayak Metromini gini," ujar Okta membuat Serli melotot. "Apa lu?" balas Okta, keduanya beradu pandang dengan tajam. "Udah udah..." Daniel mengalihkan pandangan Serli menjadi ke arahnya. *** Dhika kembali bekerja di rumah sakit, tadi pagi dia kembali dari Bandung dan langsung menuju ke rumah sakit. Dhika yang sudah memakai jas putih miliknya berjalan menuju receptionist, untuk mentanyakan beberapa data pasien. "Suster, pasien atas nama Ny. Thalita diruang UGD kembali kejang-kejang," ucap Perawat laki-laki itu membuat Dhika terPaku ditempatnya. "Saya akan hubungi Dokter Jhon segera," jawab Suster itu dan terlihat menghubungi seseorang.   "Kamu bilang siapa tadi nama pasiennya?" tanya Dhika menatap ke arah Perawat laki-laki itu.   "Ny. Thalita, Dokter. Dia baru masuk rumah sakit tadi malam karena Serangan jantung," jawab Perawat itu.  Tanpa berpikir panjang, Dhika berlari begitu saja menuju ruang UGD. Dhika berhenti di ambang pintu UGD dan melihat blangkar yang berisi seorang gadis, tetapi wajahnya belum terlihat karena terhalang tirai rumah sakit. Jantung Dhika berpacu dengan sangat cepat saat melangkah mendekati blangkar itu. 'Apa benar ini dia,,, apa ini benar-benar dia... Thalitaku....' Batin Dhika terus berjalan perlahan menuju blangkar tetapi tiba-tiba seorang Dokter paruh baya mendahuluinya dengan seorang Perawat. Dokter itu sibuk memeriksa gadis itu, langkah Dhika terhenti tepat diujung sisi blangkar. Wajah gadis itu masih belum jelas karena terhalang Dokter. Saat pasien terlihat sudah tenang, Dokter berdiri tegak dan terlihat jelaslah wajah gadis yang tengah terlelap itu. Dhika terPaku ditempatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Matanya sudah merah menahan air matanya. 'Dia......ternyata bukan Thalitaku,' batin Dhika. "Dokter Dhika." panggilan itu menyadarkan Dhika dan berpaling menatap ke arah Dokter paruh baya itu. "Ada apa?" "Tidak apa-apa Dokter Jhon, tadi saya hanya lewat saja dan melihat pasien kejang-kejang," ucap Dhika mengatur nafas dan detak jantungnya yang hampir keluar dari tempatnya.  Setelah perbincangan singkat itu, Dhikapun berlalu pergi meninggalkan ruangan dengan hati yang tak menentu. 'Aku pikir dia telah kembali,, aku pikir dia kembali datang untukku' batin Dhika. Saat Dhika berjalan melewati lift, tanpa sengaja pandangan Dhika melihat ke arah lift yang hampir tertutup. Di sana ada seorang gadis tengah berdiri dengan memainkan handphonenya. Mata Dhika melotot sempurna saat melihat gadis itu,, tanpa pikir panjang Dhika berlari ke arah lift tetapi Sayangnya lift sudah tertutup sempurna. Berkali-kali Dhika menekan tombol lift tetapi tidak terbuka, Dhika menatap ke atas pintu lift dimana di layar merah kecil itu menunjukkan lantai 1. Dhika berlari menuju tangga darurat, ia berlari seperti orang kesetanan menuruni tangga menuju lantai 1. Berkali-kali Dhika hampir jatuh, tapi tidak dia perdulikan. Dhika terus berlari menuruni tangga. Gadis di dalam lift itu keluar dari lift dan berjalan dengan anggun menuju lobby rumah sakit, tak lama Dhika keluar dari pintu tangga darurat dan berlari keluar rumah sakit. Saat itu juga gadis yang dia kejar tengah menaiki sebuah taxi dan berlalu pergi. Dhika yang melihatnya langsung berlari mengejar taxi hingga keluar area rumah sakit. "Thalita.!!!" Teriak Dhika, tetapi taxi itu semakin cepat melaju. Dengan terbatuk dengan nafasnya yang tersenggal dan peluh yang sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Pandangannya tak luput dari taxi yang semakin menjauh. "Aku yakin itu dia..... aku yakin itu benar Thalitaku," gumam Dhika. "Aku akan mencarimu, Lita," ucap Dhika tersenyum bahagia.  Dhika memasuki ruangannya dan meneguk satu botol aqua kecil, lalu dia mengeluarkan handphonenya dan menghubungi seseorang. Kebetulan yang menyenangkan, karena tadi di belakang taxi itu tercetak jelas nomor telepon dari sopir taxi itu. Dhika segera menghubunginya dan mentanyakan perihal gadis yang baru saja menumpangi mobilnya, tetapi sopir taxi itu berkata kalau gadis itu turun di halte bus. "Kamu tidak berubah, kamu sangat pintar dalam hal mengecohku. Kamu tau aku akan mengejar kamu," gumam Dhika. Dhika kembali menghubungi seseorang untuk melakukan pencarian Thalita kembali.   ‘Tak akan lama lagi kita akan segera bertemu, Sayangku.’   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD