Episode 3

3088 Words
Dhika datang ke rumah sakit agak siang dan langsung memasuki ruangannya, yang kebetulan di sana sudah ada Claudya. "Pagi, Dhik," sapa Claudya antusias dan Dhika hanya tersenyum menanggapinya. "Oh iya ada kabar baru, kita sudah langsung mendapatkan pengga nti Dr. Chailly. Dia baru saja datang dan sekarang sudah ada di ruangan Pak Hans," jelas Claudya. "Syukurlah, jadi tim kita tidak sampai kekurangan orang" ujar Dhika membuka berkas yang ada di mejtanya. "Hari ini kita ada jadwal operasi yah?" tanya Dhika. "Iya,, nanti sore kita ada jadwal operasi. Seorang gadis remaja yang harus melakukan Transplantasi jantung," jawab Claudya dan Dhika mengangguk paham. Dhika meminta Claudya untuk memeriksa seorang pasien di ruang inap Anggrek no 16. “Aku bawakan kamu sarapan” Seru Claudya sebelum dia berlalu pergi. "Simpan saja di atas meja," ujar Dhika tanpa melirik ke arah Claudya membuatnya  sedikit kecewa karena respon Dhika biasa saja dan cuek. Tetapi Claudya tetap menyimpan bekal itu di meja dan pamit pergi. Saat Dhika tengah sibuk dengan berkas medis di hadapannya, handphonenya berbunyi dan menampilkan nama Om Hans di layarnya. Dhikapun segera mengangkat telepon itu dan Om Hans yang meruPakan direktur utama di AMI hospital meminta Dhika untuk datang ke ruangannya. Tok tok tok Dhika mengetuk pintu ruangan yang menjulang tinggi besar dengan warna coklat gelapnya. Saat ada sahutan dari dalam, Dhika pun masuk ke dalam ruangan itu. Terlihat Om Hans sedang ada tamu, seorang wanita yang duduk memunggungi Dhika. Hans meminta Dhika untuk menghampirinya, Dhika berjalan mendekati meja kebesaran Hans tanpa duduk di kursi, ia berdiri tepat di belakang sang wanita berambut panjang itu. Wanita itu masih tak bergeming, tetap memunggungi Dhika. "Ada apa, Om?" tanya Dhika. "Om mau memperkenalkan Dokter pengganti Dokter Chailly," ujar Hans, membuat Dhika melihat ke arah wanita yang tengah duduk itu, tetapi wajahnya masih belum terlihat jelas. "Dokter, ini adalah Dokter Dhika ketua dari tim 1, yang akan bekerjasama dengan anda," ujar Hans. Wanita itu berdiri dan dengan perlahan berbalik menghadap ke arah Dhika. Deg Mata Dhika membelalak lebar melihat wanita di hadapannya ini. Waktu seakan berhenti berputar, otak Dhika mendadak macet. Nafasnya tercekat bahkan Dhika tak sadar kalau dia tengah menahan nafasnya. Rasanya bumi berhenti berputar bersamaan dengan waktu. Bahkan penjelasan dari Hans-pun tidak Dhika perdulikan. Fokusnya masih kepada wanita yang berada di hadapannya. Sepuluh tahun, Dhika menunggu wanita di hadapannya ini dan kini dia ada di hadapan Dhika dengan keadaan sehat dan tidak kurang satupun. Paras cantiknya masih melekat diwajah blasterannya, meski kini wanita itu terlihat lebih dewasa. "Dhika..." panggilan Hans menyadarkan Dhika dari lamunannya, dengan segera Dhika memperbaiki raut wajahnya. "Halo Dokter Dhika, lama tidak bertemu" ujar wanita di hadapan Dhika itu dengan senyuman kecilnya. “Tha-Thalita..” gumam Dhika seakan masih tidak mempercayai apa yang dia lihat. "Kalian sudah saling kenal?" tanya Hans penasaran. "Iya, Pak Hans. Kami saling mengenal bahkan sangat kenal dengan baik" ujar Thalita tersenyum sinis, Dhika hanya terdiam saja dan terus menatap wajah wanita di hadapannya ini.   Tatapan Dhika terlihat sendu dengan matanya yang memerah menahan air mata. Hatinya terasa sangat bahagia melihat wanita yang dia tunggu selama sepuluh tahun berdiri tepat di hadapannya. Ingin rasanya Dhika merengkuh tubuh wanitanya dan mengatakan betapa dia merindukannya, merindukan kekasihnya, merindukan cintanya, merindukan wanitanya. Tetapi otak dan tubuh Dhika tidak bisa berkOmprOmi dengan hatinya, tubuh Dhika seakan Kaku seperti batu yang begitu sulit untuk dia gerakkan. "Sepertinya kalian perlu bicara berdua, baiklah saya akan pergi. Kebetulan saya harus mengunjungi seminar kedokteran," ujar Hans mengambil tasnya, dan berlalu pergi meninggalkan kedua anak manusia yang masih saling bertatapan penuh kerinduan. Keduanya masih saling memandang tanpa berkedip bahkan tanpa ada yang mampu mengeluarkan suartanya. Dhika menyadari kalau tatapan wanita yang dia cintai kini sudah tidak sama lagi. Tatapan lembut penuh cinta yang selalu Thalita tunjukkan padanya dulu, sudah tidak terlihat lagi. Kini hanya ada tatapan datar dan sorot kebencian tersirat di sana.  Thalita mulai jengah, dia mengalihkan pandangannya dan bergegas mengambil tasnya untuk beranjak pergi. Tetapi sebelum sempat dia memegang knop pintu langkahnya terhenti karena ucapan Dhika. "Kenapa baru kembali sekarang?" tanya Dhika lirih yang kini sudah menengok ke arah Thalita. "Saya datang bukan untuk anda, saya datang untuk bekerja. Dan kebetulan sekali kita menjadi rekan satu tim. Jadi mohon bantuannya Dokter Dhika." setelah mengucapkan itu, Thalitapun berlalu pergi meninggalkan Dhika sendiri. Dhika terdiam di ruangannya, tatapan Lita tadi membuatnya ketakutan. Takut kalau sudah tidak ada perasaan apapun lagi di hati Thalita untuknya, takut kalau kebencian itu masih ada. Bahkan tatapan matanya tadi mampu menyadarkan Dhika, kalau gadisnya kini sudah berubah. Gadis yang dia tunggu selama ini sudah tidak ada lagi. Disisi lain Dhika senang karena Thalita terlihat baik-baik saja bahkan tidak kurang apapun. Tapi disisi lain hatinya sakit, sakit menyadari kalau kebencian itu masih ada dan terlihat jelas di matanya.           --- Sore ini mereka akan melakukan operasi, dan seperti biasanya tim 1 melakukan briefing di ruangan Dhika. Semua anggota tim 1 sudah duduk manis di sofa ruangan Dhika termasuk Thalita, Dokter baru pengganti Dokter Chailly yang memilih keluar karena menikah.  "Selamat sore," sapa Dhika dan semuanya menjawab dengan SeremPak. "Sore ini kita akan melakukan operasi transplantasi jantung pada seorang pasien remaja. Kebetulan juga tim kita kedatangan anggota baru, beliau adalah Dokter Thalita. Beliau akan bertugas sebagai asisten utama pengganti Dokter lly," terang Dhika seprofesional mungkin sambil menatap Thalita yang masih memasang wajah dinginnya. "Hallo semuanya, saya Dokter Thalita Putri. Saya baru menyelesaikan kuliah spesialis Dokter bedah di Universitas Wina di Austria dan satu tahun saya bekerja menjadi asisten utama Dokter bedah di rumah sakit swasta di Wina Austria. Saya mohon bantuannya, karena saya belum begitu berpengalaman." ucap Thalita dengan formal. 'Jadi selama ini kamu bersembunyi di WINA,,' batin Dhika menatap Thalita tanpa berkedip. Thalita yang menyadari Dhika tengah menatapnya, membuatnya sedikit jengah. "Jadi apa yang harus saya lakukan dalam operasi nanti, Dokter Dhika?" tanya Thalita. Dhikapun akhirnya mulai menjelaskan kronologi kondisi pasien, dan apa yang dibutuhkannya. --- Setelah selesai, seperti biasa mereka berdoa bersama dan keluar ruangan, menuju ruang operasi. Dhika sudah berganti pakaian dengan pakaian operasinya, dan berjalan ke wastafel untuk mencuci kedua tangannya. Disana juga Thalita tengah mencuci kedua tangannya. Mereka berdiri berdampingan dengan fokus mencuci kedua tangan mereka masing-masing tanpa bersuara sedikitpun. Thalita beranjak terlebih dulu tanpa mengatakan apapun. "Welcome to back home," gumam Dhika membuat Thalita berhenti berjalan dan menengok ke arah Dhika. "Maaf Dokter, apa anda mengatakan sesuatu?" tanya Thalita. Dhika hanya tersenyum manis dan berjalan melewati Thalita. Thalitapun akhirnya mengikuti Dhika memasuki ruang operasi. Kini mereka semua sudah siap di posisinya masing-masing. "Operasi sudah bisa dimulai, Dokter," ucap Claudya. "Ayo kita sembuhkan pasien," ujar Dhika bersemangat membuat Dokter yang lain saling beradu pandang heran, kecuali Thalita yang berdiri di hadapan Dhika. Dhika mulai melakukan pembedahan pada tubuh pasien. Setelah terbuka lebar dan menamPakan organ tubuh pasien, Dhika melakukan pencangkokan pada jantung pasien. Dhika mulai menjahit setiap sisi jantung di bantu oleh Thalita. Hari ini sungguh hari yang sangat menyenangkan bagi Dhika, wanita pujaannya ada di hadapannya, wanita yang dia tunggu kedatangannya selama sepuluh tahun lamtanya. Wanita yang sangat dia cintai. "Pedal," Seru Dhika, dan Susterpun menyerahkan alat pendetak jantung itu. Dhika langsung memasangkan alat itu disekitar jantung. "Isi 50 joule" ujar Dhika. "Shock!" Deg... Jantung pasien langsung berdetak dalam satu sentakan. "Detak jantungnya normal, kita sudah berhasil," ujar Claudya, saat melihat frekuensi detak jantung pasien pada layar di hadapannya. Semua Dokter tersenyum senang dan mengucapkan syukur. Setelahnya, Dhika melakukan langkah terakhir operasi dan memberi plester besar pada d**a bekas operasi pasien. Pasien dibawa oleh empat Dokter lainnya keluar ruang operasi untuk menempatkannya dikamar inap. Thalita hendak keluar dari ruang operasi seraya melepas masker dimulutnya dan penutup kepalanya, sehingga membuat rambut panjangnya tergerai indah. Dhika yang hendak keluar dari ruang operasi juga sehingga membuat mereka berPapasan di ambang pintu. Keduanya saling bertatapan cukup lama, sampai akhirnya Thalita melangkah keluar ruangan terlebih dahulu meninggalkan Dhika yang masih mematung di tempatnya. Keesokan harinya pagi-pagi sekali Dhika datang ke rumah sakit menggunakan mobil sportnya. Dhika sedikit berlari menuju ruang UGD, karena baru saja di hubungi kalau ada pasien yang butuh pertolongannya. Sesampainya di UGD, terlihat Thalita tengah memeriksa pasien wanita paruh baya itu. Dan memasangkan beberapa peralatan medis ditubuh pasien. "Bagaimana keadaannya?" tanya Dhika mencoba fokus pada pasien, karena jujur saja Dhika tidak mampu lagi menatap mata Thalita yang begitu dingin. "Keadaannya sudah membaik, tadi dia pingsan saat diantar kesini. Detak jantungnya tidak stabil," jelas Thalita membuat Dhika mengangguk paham. Seperti biasa Dhika selalu menempelkan telaPak tangannya pada d**a pasien dan menutup matanya. Cukup lama, Dhikapun membuka matanya kembali dan pandangannya langsung terpaut dengan wanita cantik berjas Dokter di hadapannya yang tengah menatapnya juga. "Bagaimana?" tanya Thalita menyadarkan Dhika yang terbuai dengan mata hitam bulat Thalita. "Kita harus melakukan CT-Scan pada pasien, paru-parunya membengKak." Jawab Dhika membuat Lita mengangguk paham dan menarik blangkar yang pasien tempati, dibantu oleh Dhika. Keduanya berdampingan mendorong blangkar tanpa ada yang mau mengeluarkan suartanya sedikitpun. Sesampainya diruang lab CT-Scan, Dhika mulai melakukan CT-Scan pada pasien dibantu oleh Thalita dan seorang Suster yang bertugas di sana.  Hasilnya muncul di layar computer yang berada di ruangan itu. "Paru-parunya bengKak dan rusak," gumam Thalita. "Iya, itu akibat dari pecandu rokok. Kita harus melakukan operasi segera sebelum terjadi kebocoran," ujar Dhika. "Tapi tidak ada wali yang mengantarkannya, Dok." Seru Thalita. "Dia datang sendiri ke sini, dan pingsan di lobby rumah sakit. Bahkan belum ada yang membayar administrasinya," jelas Thalita. “Dan tidak ada telepon genggamnya.” "Baiklah, tetap saja lakukan operasinya. Masalah administrasi biar nanti saya yang urus, yang penting pasien ini selamat," Seru Dhika kembali memindahkan tubuh pasien ke blangkarnya. Thalita menatap Dhika dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. 'Kamu tidak pernah berubah sama sekali, selalu berusaha menolong orang lain' batin Lita menatap Dhika. *** Dhika baru saja keluar dari operasi, di susul oleh tiga orang Dokter sambil mendorong blangkar pasien. Tak lama Thalita keluar ruang operasi, dan melepas masker dan penutup rambutnya, membuat rambut indahnya tergerai bebas. Thalita merapihkan semua rambutnya menjadi satu dan saat akan memakaikan ikat rambut pada rambutnya, seseorang berkata yang membuatnya mematung. "Biarkan tergerai," ucap seseorang dengan lembut membuat Thalita menatap ke arah suara itu, dimana di hadapannya Dhika tengah berdiri. Setelah mengucapkan itu Dhika berlalu pergi meninggalkan Thalita yang masih mematung. Ingatan Thalita kembali ke sepuluh tahun yang lalu, dimana Dhika selalu saja menyuruhnya untuk selalu menggerai rambut indahnya. Bahkan terkadang Dhika sendiri yang suka merapihkan rambut Thalita. Thalita mencoba mengenyahkan pikirannya itu dan melanjutkan mengikat rambutnya. *** Pagi itu, Thalita tengah memeriksa kondisi pasien perempuan yang kemarin melakukan operasi, di temani oleh dr. Claudya. "Dr. Thalita, aku lihat sepertinya anda sudah mengenal dekat dr. Dhika," Seru Claudya membuat Thalita menghentikkan aktivitasnya yang sedang memeriksa pasien mengguNakan stetoschopenya. "Apa sebelumnya kalian sudah saling mengenal?" "Kami satu kampus, aku adalah adik tingkatnya," jawab Thalita datar dengan kembali sibuk memeriksa pasiennya. "Benarkah? tetapi aku melihat ada kejanggalan dari cara dr. Dhika menatap anda," ujar Claudya begitu penasaran. "Saya tidak tau dr. Claudya, lebih baik anda fokus dengan pasien ini sebelum di tegur dr. Dhika nantinya. Daripada harus mencari tahu urusan pribadi oranglain," sindir Thalita tersenyum sinis sambil melepaskan stethoscope dari kedua telingtanya dan mengalungkannya ke leher jenjangnya.  Setelahnya Thalita langsung beranjak pergi meninggalkan Claudya dengan membawa berkas pasien. Claudya hanya mendengus sinis ke arah Thalita yang berlalu pergi. "Aku yakin, ada sesuatu di antara kalian," gumam Claudya. Thalita fokus membaca berkas pasien yang terlihat masih belum stabil keadaannya. Hingga seseorang menabrak tubuhnya dari belakang, membuat Thalita kehilangan keseimbangannya. Dan membuat berkas yang dipegangnya terlempar ke udara. Tubuh Thalita hampir saja membentur lantai, kalau tidak ada tangan kekar yang menahannya, dan membuat tubuh Thalita tertarik ke dalam pelukannya. Thalita mencengkram erat lengan jas Dokter milik sang penolong. Keduanya masih bertatapan dengan jarak yang cukup dekat, seakan ingin mendalami mata keduanya. Dan dengan gerakan slow motion kertas yang masih berterbangan di udara berjaTuhan ke lantai rumah sakit. Cukup lama mereka saling memandang, mendalami mata masing-masing. Mencari sesuatu yang sempat hilang beberapa tahun ini. Dhika sadar dengan posisinya saat ini dan dengan segera membantu Thalita berdiri tegak dan melepas pelukannya di pinggang Thalita, tetapi Thalita masih mencengkram kuat lengan jas putihnya, seakan tak ingin melepaskan. Pandangan Thalita juga masih menatap ke manik mata coklat milik Dhika. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dhika lembut, menyadarkan Thalita dari lamunannya, Thalita tersadar dengan posisinya saat ini dan dengan segera Thalita melepas cengkramannya pada lengan jas Dokter Dhika. "Aku baik-baik saja," jawab Thalita dengan singkat dan segera memunguti semua kertas yang berSerakan di lantai. Dhika ikut membantu memunguti kertas-kertas itu dan menyerahkannya ke Thalita setelah keduanya sama-sama berdiri tegak. Deg… Karena mengambilnya terburu-buru tanpa sadar tangan Thalita malah menyentuh tangan Dhika. Membuat mereka kembali bertatapan dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga akhirnya Thalita merebut kertas itu dan berlalu pergi meninggalkan Dhika. Dhika hanya tersenyum melihat tingkah Thalita yang sangat menggemaskan menurutnya. Tanpa mereka sadari, dr. Claudya melihat kejadian itu dari lorong lain. "Aku tidak bodoh untuk mengartikan semua yang aku lihat," gumam Claudya dengan tatapan terluktanya. *** Thalita baru saja keluar dari ruangannya hendak pulang, hingga dia bertabrakan dengan seseorang. Yang membuatnya terduduk di lantai karena terdorong. "Maaf," ucap seseorang dengan suara bassnya yang kini berdiri tegak di hadapan Thalita. Seorang laki-laki berbadan tegap dan tinggi tengah tersenyum manis kepada Thalita dengan mengulurkan sebelah tangannya untuk membantu Thalita. "Maaf," ucapnya sekali lagi, membuat Thalita menyambut uluran tangannya dan kembali berdiri tegak di hadapannya. "Aku Rivaldo, panggil dr. Rival saja. dan maaf tadi aku menabrakmu," ucapnya merasa bersalah. "Tidak apa-apa dr. Rival, aku Thalita," ucap Thalita tersenyum seraya melepas jabatan tangannya. "Kamu Dokter baru  yang mengganti Dokter Chailly dari tim 1?" tanya Rival membuat Thalita mengangguk. "Kita baru bertemu sekarang, aku juga Dokter bedah di tim operasi 2," Tambahnya dengan ramah. "Saya juga baru melihat anda, mungkin kemarin karena terlalu sibuk melakukan operasi jadi tidak sempat berkenalan dengan Dokter yang lain," ucap Thalita. "It's oke," jawabnya santai. "Jangan panggil anda, panggil kamu saja. kesannya formal sekali," kekehnya membuat Thalita mengangguk paham. Tak jauh dari arah mereka berdiri, Dhika yang masih memakai jas Dokternya keluar dari ruangan miliknya, tetapi seketika langkahnya terhenti saat melihat Thalita dan Rival tengah berbincang didekat pintu lift. Hatinya terasa terbakar api cemburu, Dhika tidak suka melihat kedekatan Thalita dengan Rival. Apalagi Thalita terlihat tertawa mendengar ocehan lelaki lain di hadapannya. Dhika segera melangkahkan kakinya mendekati mereka berdua. "Khem!" deheman Dhika membuat kedua orang itu menatap ke arahnya. "Eh Dokter Dhika, tidak pulang?" tanya Rival dengan ramah. "Saya jaga malam," jawab Dhika singkat. "Dokter Lita, bisa ikut ke ruangan saya? ada yang mau saya bicarakan," ucap Dhika. "Tapi saya mau pulang, Dok. Bukankan kita tidak ada jadwal operasi lagi," ucap Thalita. "Sebentar saja, ada yang mau saya bicarakan," ucap Dhika tajam membuat Thalita akhirnya menurut. "Baiklah Dokter Rival, senang berkenalan dengan kamu. saya permisi dulu," ucap Thalita dengan senyumannya membuat Dhika mengepalkan kedua tangannya. Dokter Rival hanya menjawab dengan anggukan dan tersenyum manis. Thalita berjalan mengikuti Dhika yang sudah berjalan terlebih dulu menuju ruangan Dhika. "Ada apa Dok?" tanya Thalita saat sampai di dalam ruangan Dhika. "Jangan terlalu dekat dengannya," ucap Dhika tanpa basa basi membuat Thalita mengernyitkan dahinya. "Maksud anda?" tanya Thalita bingung. "Kamu memanggilnya dengan aku kamu, kenapa denganku masih bersikap formal?" tanya Dhika tak terima. "Aku tidak mau lagi melihat kamu dekat dengannya!” "Bukan urusanmu!" ucap Thalita tak kalah tajam. "Tidak ada hak anda melarang saya, Dokter Dhika yang terhormat." ucap Thalita menekankan kata nggak ada hak anda. "Lita! aku tidak mau kamu terlalu dekat dengannya, dia itu seorang playboy," ujar Dhika mencoba menyembunyikan rasa cemburunya. Thalita terkekeh meremehkan ucapan Dhika. "Lalu apa urusannya dengan anda, Dokter?" tanya Thalita tersenyum mengejek.  Dhika mematung di tempatnya, lidahnya seakan kelu untuk mengucapkan sebuah kata. Dhika bingung harus menjawab bagaimana. Apalagi dengan tatapan sinis Thalita, membuatnya takut untuk berkata kalau Thalita hanya miliknya. Dhika takut, Thalitanya akan pergi lagi. "Ini bukan urusan anda, dan tolong jangan urusi lagi urusan saya, permisi." Thalita berlalu pergi setelah mengucapkan itu, sedangkan Dhika masih berdiri mematung di tempatnya dengan tatapannya yang masih menatap punggung Thalita yang semakin menjauh. "Shitttt!!!" umpat Dhika kesal *** Thalita baru sampai di ruangannya pagi itu, dan menyambar jas Dokternya untuk dia Pakai. Tak lama handphonenya berdering dan menamPakkan satu nomor tanpa nama di layarnya. Thalita menatap nomor yang muncul di layar handphonenya itu. "Ternyata dia tidak mengganti nOmor telponnya sama sekali," ujar Thalita saat mengetahui kalau yang menghubunginya adalah Dhika. Thalita segera mengangkat teleponnya dan ternyata Dhika memintanya untuk datang ke ruangannya. Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh sang empu, Thalitapun masuk ke dalam ruangan, terlihat Dhika tengah berdiri menatap keluar jendela yang langsung menamPakan jalanan Ibu kota dengan sebelah tangannya yang dimasukan ke dalam saku celantanya. "Ada apa Dokter memanggil saya?" tanya Thalita karena Dhika tak kunjung berbalik badan. Mendengar suara Thalita yang seakan menyihirnya otaknya, membuat Dhika membalikan badannya dan tatapan mereka langsung beradu. Dhika selalu terhipnotis oleh mata hitam bulat milik Thalita, membuatnya sulit sekali untuk berpaling. Tetapi dengan cepat Thalita memalingkan pandangannya ke arah lain. "Ada apa?" tanya Thalita dingin. Dhika merasa sakit melihat sikap dingin Thalita, tetapi Dhika juga mencoba untuk memakluminya.  ‘Ini semua karena kesalahanku juga,’.batin Dhika. Dhika berjalan ke arah meja kerjtanya dan mengambil berkas pasien di sana. "Bagaimana kondisi ibu Atikah?" tanya Dhika mentanyakan pasien yang kemarin melakukan operasi paru-paru. "Kondisinya masih belum ada perubahan, sepertinya pasien nyaman dengan kondisi tertidurnya," jawab Thalita, membuat Dhika mengangguk paham. "Apa tidak ada walinya yang datang?" tanya Dhika lagi mengalihkan pandangannya dari berkas ke arah Thalita yang masih memasang ekspresi dingin dengan paras cantiknya. Dhika selalu terpesona dengan kecantikan Thalita, bagaimanapun penampilannya, dia selalu terlihat cantik dimata Dhika. Bahkan hatinya selalu bergetar saat menatap Thalita. "Belum ada." jawaban Thalita dingin, Dhika tersenyum kecil melihat sikap dingin Thalita. "Ini data pasien yang baru saja masuk tadi malam. Remaja berumur 18 tahun, namtanya Rahma. Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir," ujar Dhika. "Tolong kamu perhatikan perkembangannya. Kemarin malam aku sudah menyuntikkan oxycodone padanya," ujar Dhika menyodorkan berkas ke arah Thalita. "Kalau begitu saya permisi," ujar Thalita, Dhika hanya menjawabnya dengan anggukan.  Ingin sekali Dhika bertanya apa dia sudah sarapan, dan berbicara se-akrab mungkin tidak formal seperti ini. Tapi Dhika sadar, dia tidak mungkin melakukan itu. Mendekati Thalita lagi harus butuh tahapan tidak bisa dengan mudah dan cepat mendekatinya lagi. Dhika memperhatikan Thalita yang berjalan di luar ruangannya lewat kaca. Karena dinding ruangan disini semuanya terbuat dari kaca. Dhika terus memperhatikan Thalita yang kini menghilang di balik pintu lift yang tertutup. *** Thalita berjalan memasuki ruangan bernomor 115. Thalita melotot sempurna saat menatap gadis remaja yang terbaring lemah di atas blangkar. "Dia.." gumam Thalita kaget, sampai menutup mulutnya tak percaya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD