5 Oti Oci

1573 Words
Sepatu yang dipakai perempuan menentukan langkah si cewek bakal dibawa ke mana. Singkat cerita, sepatu yang nyaman membuat si pemakai luwes jalan-jalan, nongki-nongki, dan pamer kaki jenjang (in case for high heels). Sementara tas yang dipilih perempuan menentukan kekasih macam apa yang bakal mereka kencani, menurut pengalaman gue. Kenapa gue bikin hipotesis begini? Simple as simple of my true experience dipukuli si Tora, gue tahu atasan gue yang tiap marah bakal mengaum layaknya harimau adalah jenis cewek yang butuh cowok dengan gen unik. Unik apanya? Cowok ini butuh gen yang mengandung susunan kromosom dari baja, alumunium, timah, dan sisanya baru manusia normal. Gue sudah jadi korban nyata kesadisan SPV gue. Anehnya gue selalu bisa memaafkan kesadisannya tiap kali mata polos gue dilempar dosa dari lekuk bodi bohay dan b****g montoknya. Adoh, otak perjaka Taemin Shinee jadi tercemar limbah kenangan pas si Tora pake rok pensil. “Kenapa lu senyum-senyum?” Etdaaahh, potongan memori pas si Tora lenggak-lenggok bokongnya lenyap karena suara makhluk setengah astral di sebelah gue. Gaya duduk di sebelah gue, tangannya menyodorkan piring berisi batagor-somay. Tahu batagor? Tahu somay? Nah, ini piring isinya campuran batagor sama somay disiram kuah sambal kacang. Gue terima piring makanan ala-ala karyawan kelas teri kayak gue. Mungkin kalau gue sudah naik level senior staff, gue bisa nongkrong di tempat yang lebih mahal. Itupun kalau hutang apartemen gue lunas. Ah, gue jadi teringat hutang kan. Bisa bikin nafsu makan gue meningkat nih! “Nyokap gue mau mengenalkan anak temannya. Kata nyokap, cowok ini baik, pekerjaannya bagus, hidupnya sudah mapan, dan cinta Tuhan.” Gaya ngomong tanpa gue tanya. Memang kebiasaan kita berbagi hal apapun tanpa nunggu ditanya. Best buddy forever and ever nih. “Terus lo mau?” Gue suap satu sendok munjung camilan sore gue sebelum nanti melanjutkan lembur. Nggak usah ngejek yang biasa lembur sambil menikmati Solaria, gue tetap bangga dan bersyukur masih punya rezeki makan halal begini. “Kenapa nggak dicoba, mungkin dia terbaik.” Mata gue lirik Gaya lalu balik menyantap makanan gue. Gaya melanjutkan omongannya, “gue cuma bisa berdoa yang terbaik sekarang. Nyokap pasti memilih cowok terbaik buat gue.” Oke, bagian ini gue coba pahami dari posisi dia. Dan gue buntu. Gue kenapa ya? *** Kak Diara dan Tora teman sebangku pas SMA?? Yakin?? Mata gue memicing curiga, susah percaya dengan perkataan Rai soal mereka teman seangkatan dan cukup dekat. I mean, teman sebangku tergolong teman dekat. Lo berbagi meja gitu selama setahun. Tapi ada sekolah yang mengatur perpindahan teman sebangku tiap semester, atau tiap satu bulan sekali. Bisa jadi si Tora nggak cukup kenal Kak Diara. Wadeuh, otak Hyun bin berasap nih!! Mereka bisa disebut bestfriends kayak gue dan Gaya nggak? “Bu.” Suara gue keluar agak terpaksa. Melihat kondisi kubikel karyawan yang sudah sepi, gue beranikan diri bertanya duluan. “Hm.” Bibir merah begitu pelit banget digerakkan sedikit buat kasih tanggapan sopan. Ini nih yang pasti jadi alasan cowok-cowok malas pedekate sama dia, cuek dan dingin tambah judes dan tukang ngomel. Butuh yang model kulkas dua pintu kayak Gege buat jadi life partner Tora. “Ibu dulu teman sebangku Kak Diara?” Gue meneguk ludah kesusahan. Tora melirik gue mirip Meriam Bellina pas jadi emak tiri nyeremin banget. Merinding bulu kuduk gue dilihat begitu. Nggak mungkin banget lirikan membunuh gini bisa jadi indikasi seorang cewek naksir cowok. Yakin seratus persen si Tora mau gorok leher gue. “Bicara langsung ke intinya. Tidak usah basa-basi kalau ujungnya mau membuat keki,” sinis Tora yang sampai sekarang masih gue anggap Tante perawan sadis. “Saya cuma mikir ibu dekat sama Kak Diara. Mungkin kalian pernah berbagi kisah pribadi, macam celeb crush atau kencan pertama sama senior. Ibu pernah pacaran sama cowok?” Nggak pakai tunggu gue tarik napas habis ngoceh, Tora bikin smash pulpen di jidat gue. Siaul, sakit Gilak!! Gue melotot ke dia yang pura-pura sibuk sama ketikan meneketempe. Lahar cinta eh lahar kemarahan gue siap meledak. Pas gue sudah dapat ide usil, malaikat penyelamat Tora nongol tanpa diundang pergi tanpa diantar. Memang masih sejenis jelangkung. “Jossy, sudah makan malam?” Bibir gue bercebik kesal. Mesti banget ya Gege lembur di malam yang samaan. “Belum.” Tora langsung berubah mode cewek manis level tante-tante. Iyalah tante-tante, sudah berumur doi. “Ada rencana malam ini?” Gue mendengus kesal. Helooow, gue ada di sini. Masih napas, masih hidup malah dicuekin. “Tidak ada.” “Makan di apartemen gue. Gimana?” Wah, Gege eror nggak kira-kira. Bisaan dia ajak Tora makan malam padahal gue adek serahim nggak ditawarkan. Abang begini mau gue tuntut ke pengadilan, bisa tergolong perdata apa pidana? Apa perceraian? “Boleh kalau tidak ganggu candle light dinner tuan Gemmy dan istri.” Tora senyum lebar. Damn to the damn, Gege malah ketawa lihat tingkahnya yang sok unyu-unyu. “Oke, kalau gitu gue tunggu di depan lift.” Setelah tepuk bahu Tora, Gege cabut balik ke ruangannya. Mata gue beralih ke Tora yang sibuk beres-beres tas pembawa memarnya. “Ibu mau pulang?” “Tidak usah tanya sudah terlihat saya mau pulang.” Jleb, jawaban Tora menancap jantung gue. Nggak kenal ramah-tamah banget atasan satu ini kalau berkaitan sama gue. “Saya antar pulang ya, bu?” Speak sedikit, kali saja Dewi Fortuna nongol dan bawa hawa kebaikan buat harimau satu ini. “Tidak perlu.” Dia jalan tanpa mau melirik gue sama sekali. Sakitnya, Bray, nasib gue sebagai cindarvella di kantor. Bisa nggak sih gue tukar posisi sama Mr. Grey? Ingat satu petuah yang selama ini mami Yulia bilang, 'cowok lain boleh jual sikap cool, gue sebagai bontot kesayangan pantang jual mahal'. Cadas banget nggak petuah emak kandung gue, ada ya emak sendiri menasihati anak laki-laki jadi tukang obral pesona. Dan naas rezeki gue nggak pernah mempan tebar pesona ke mana-mana. Berbekal petuah itu, gue kejar Tora dan Gege. Modal muka aspal, gue ikut nimbrung acara makan malam mereka. Nggak usah nanya gimana ekspresi Tora pas gue mengajukan diri ikut mamam gratis. Dia bete, kesal, kaget, marah, dan terlihat pengen bunuh gue. Serah dah! Gege nggak melarang kok. “Om Epel!!” Lengkingan Fatih menyambut gue yang masuk paling belakangan ke unit apartemen Gege. Om lain boleh bahagia disambut keponakan tercinta. Si Tora saja kayak takjub lihat bagaimana Fatih welcome sangat. But, tolong perhatikan seksama. Fatih datang, lari tepatnya, dengan tangan terentang ke arah gue. Please jangan terenyuh. Pengalaman gue sudah banyak sebagai om ini bayi Rusa. Dan mata gue menangkap keganjilan. Tangan Fatih kotor sesuatu berwarna cokelat muda. Belum sempat gue mengelak, dia sudah terjang kaki gue. Tangannya melingkar erat di paha kanan gue. Fix, celana gue berasa lembab nggak jelas. “Fatih, mama suruh cuci tangan malah kabur.” Suara Kak Ratu memperkuat tebakan gue. Tangan Fatih kotor dan sekarang mengotori gue. “Loh kok Fatih peluk Om Arvel? Cuci tangan dulu! Itu kotor bekas minyak kentang goreng.” Fatih dengan jeniusnya melepas pelukannya buat menyeka kedua tangannya di paha kiri gue. Damn to the damn, bayi rusa satu ini punya tanduk setan tersembunyi. “Kiin mama,” kata Fatih sambil memamerkan dua telapak tangannya. Iya bersih, bayi rusa meper di kaki gue. Bola mata gue berputar kesal. Saat itu, for the first time, gue lihat Tora cekikikan. “Clean, Fatih.” Kak Ratu ngomel anaknya kalau pakai bahasa Inggris sering ngaco. Mama Hippo saja ngaco, Fatih ngaco kan wajar. Mata gue balik ke Tora. Dia manis juga kalau ketawa. Coba muka juteknya dikurangi, pasti banyak cowok mau dekati dia. “Ini siapa?” Tanya Kak Ratu sambil menunjuk Tora. “Saya Jocelyn, teman Gemmy.” Tora mengulurkan tangannya dan berjabatan dengan Kak Ratu. Kulit Tora nggak seputih Kak Ratu tapi sama-sama mulus. Kelihatannya. Lain kali gue coba cek tingkat kemulusan kulit Tante Tora tapi gue perlu persiapan iman kena pukul tas. “Cantik. Aku pikir gebetan baru Arvel.” Kak Ratu melirik gue centil. Gue nyengir saja sampai ucapan berikutnya Kak Ratu yang bikin muka gue berubah asem. “Tapi nggak mungkin ada cewek mau sama cowok yang isi rekeningnya bisa sisa lima rebo perak.” Tora ketawa bareng Kak Ratu dan Gege. Koplaknya, keponakan gue yang baru bicara lancar sedikit ikutan ketawa. Kayak ngerti saja. Gue dibikin tambah cemberut di sini. “Tapi aku bisa terima kalo calon cindarvella secantik ini. Lumayan perbaikan gen adek iparku,” tambah Kak Ratu. “Cindarvella?” Kedua alis Tora mengerut. “Tahu kisah Cinderella kan?” Giliran Gege yang nimbrung. “Ya.” Tora mengangguk ragu-ragu. “Arvel kayak Cinderella di keluarga. Mirip anak tiri, disuruh-suruh sama dua abangnya dan mami Yulia. Jadi aku kasih panggilan sayang ke dia cindarvella,” tutur Kak Ratu yang sukses bikin Tora melirik ala-ala tokoh antagonis di sinetron. Plus senyum penuh siasatnya. Njirr, gue mesti siap-siap ada gempuran serangan Tora di kantor. “That's a cute nickname,” kata Tora sok manis. Kak Ratu dan Gege mengangguk sambil senyum-senyum ke arah gue. Lalu mereka jalan duluan ke ruang makan. Tora membuntuti mereka dan gue paling bontot jalan di belakang bareng Fatih. “Oti nama capa?” Fatih bertanya sambil tarik celana gue. “Auntie Jossy,” jawab gue masih menatap punggung Tora. Mau seksi kalau keji kayak Tora, absolut gue nggak bakal suka. “Om Epel suka Oti Oci.” Gue dan Tora berhenti bersamaan. Dan kita barengan melotot ke Fatih yang menatap polos kita bolak-balik. Ini bayi rusa kalau bukan keponakan gue, sudah gue rendam rinso biar mati kuman-kuman yang menyebarkan isu paling fitnah sedunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD