Kantor jam setengah tujuh pagi berbanding terbalik dari kondisi jalan di Jakarta tiap Kamis pagi. Lengang, nyaris menyerupai pemakaman umum. Badanku yang awalnya membungkuk untuk mengintip suasana di dalam ruangan yang dijejali kubikel kini bisa bernapas lega. Aku berdiri tegak, merapikan kusut pada blus dan rok pensilku lalu melangkah anggun menyusuri lorong yang terbentuk dari deretan dinding kubikel.
Memang tidak ada siapapun yang melihat betapa anggunnya aku berjalan tapi aku seorang perempuan yang berhasrat ingin tampil memukau di setiap kesempatan. Bahkan ketika tidak ada satupun orang yang melihat. Siapa yang peduli. Aku cantik demi diriku.
Aku meletakkan tas di atas meja. Tanpa sengaja suara dentingan kecil mengalihkan aktivitas membongkar isi dalam tasku. Secangkir kopi di atas meja yang masih mengepulkan uap panas. Mataku menemukan satu lagi pelengkap cangkir itu, secarik sticky note ditempel di atas meja persis di sebelah cangkir. Aku mengambil kertas kecil itu, membaca isinya yang sukses membuat mataku membesar.
Selamat pagi, Bu SPV :D
Silakan menikmati kopi buatan saya sebagai penyemangat hari ibu!!
From: bocah konyol kesayangan Ibu ;)
Tidak butuh berpikir ulang, aku remas kertas itu lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah. Kurang ajar bocah satu itu. Aku sudah sengaja berangkat kerja lebih, memulai kerja duluan sehingga tidak perlu berlama-lama dengannya hari ini. Tapi aku salah langkah. Dia datang lebih awal.
Karena absensi kantor menggunakan mesin fingerscan, aku tidak tahu bocah konyol itu sudah datang atau belum. Lain hal jika kami menggunakan Amano atau absensi tulis tangan. Akh, lupakan semua yang berkaitan bocah konyol itu. Aku harus menyelesaikan presentasiku hari ini dan pulang tepat waktu.
Sambil menunggu laptopku menyala, mataku melirik kubikel si bocah konyol yang kosong. Bukannya dia sudah datang, kenapa mejanya masih rapi?
“Nyari saya, Bu?”
Aku melompat saking terkejutnya mendengar celetukan tiba-tiba itu. Kepalaku berputar ke belakang. Si bocah tersenyum lebar. Aku ingin membubuhi mulutnya dengan bon cabe level 30 agar dia tidak bisa lagi mengumbar deretan gigi putihnya itu.
“Siapa yang mencari kamu?” Kilahku sambil berpura-pura fokus pada layar laptop yang menampilkan powerpoint proyek besutan terbaru.
“Yakali saja ibu rindu. Mungkin.” Tangannya yang semalam meremas bokongku sengaja dia goyang di depan mukanya. Saat ini aku ingin mencakar seluruh badannya. Tiga tahun dan tidak pernah sekalipun dia berhenti menjadikanku bahan lelucon. Bahkan pelecehan yang dia lakukan semalam. Bagaimana bisa pria macam ini menjadi adik Raihan?
“Jangan memimpikan Rai mulai sekarang. Atau saya bakal makin nempel ke ibu,” kata bocah konyol. Cara bicaranya santai tapi aku paham ancaman yang dia layangkan padaku. Aku bukan perempuan tidak tahu diri yang akan merebut milik perempuan lain. Aku tahu batasanku.
“Kenapa kamu terus berpikir saya suka sama Raihan?” Aku memainkan peran polos. Padahal aku ingin sekali menghujat bocah konyol ini yang seenaknya mengatur perasaanku.
“Karena hanya akan menyakiti ibu.” Dia berkata tanpa memandangku. “Sebaiknya ibu mulai membuka diri kepada pria-pria seusia ibu. Nggak bosen apa, Bu, kerja mulu? Refreshing dengan dating atau flirting kayaknya bisa jadi referensi kegiatan ibu mulai sekarang.”
“Kamu berpikir saya perempuan yang akan mendekati siapapun pria yang mendekati saya?”
“Saya berpikir ibu punya kualifikasi di atas rata-rata yang bakal bikin cowok manapun jiper duluan mendekati ibu.” Dia menghela napas dan melepasnya cepat lalu memindahkan posisi duduknya hingga menghadapku. “Saya nggak menyalahkan ibu yang punya tuntutan besar ke pasangan. Siapapun yang lihat ibu akan merasa wajar tapi apa semua yang direncanakan ibu sesuai dengan apa yang disiapkan Tuhan. Itu yang perlu ibu pertimbangankan mulai sekarang. Mempersiapkan diri terhadap semua kemungkinan terburuk.”
“Kamu ngaco,” bentakku.
“Namanya usaha memperbaiki kondisi memang berpotensi dibilang ngaco, Bu. Jadi kenapa ibu nggak coba memulai hari baru. Brand the new life,” katanya sambil membentuk pola pelangi dengan kedua tangannya yang terentang di atas kepala. Bocah penuh khayalan.
“Urusi urusan kamu. Setelah Raihan setujui proyek kerjasama kita dalam pembangunan taman kota, kamu yang bertugas menyiapkan pelayanan publik itu dan menghubungi media.”
“Yaah, kerjaannya nggak bisa sedikit saja?”
“Kamu digaji untuk bekerja, kerjakan!”
“Gaji saya juga merepet UMR, bu. Susah semangat kerja. Hutang saya lama kelarnya nih.”
“Kamu.punya.hutang?”
“Punya dong,” jawabnya bangga. Otak bocah ini pasti konslet di setiap selnya. Dia bisa mengakui kelemahannya di depan orang lain. Kecuali hutang bukanlah kelemahan baginya.
“Penyebab hutang saya bisa jadi mahar menikahi ibu,” lanjutnya yang aku hadiahi lemparan pulpen. Nasib sedang berpihak padaku, pulpen yang aku lempar tepat mengenai dahinya. Membuatnya mengaduh kesakitan. Rasakan!!
***
Malam ini aku berencana mampir ke salon langganan di daerah Senopati. Memang besar potensi terjebak macet tapi aku sudah klop dengan para beautician di sana selain itu treatment yang mereka tawarkan sangat sesuai kebutuhanku.
Parkir khusus karyawan perusahaan berada di G2, sangat menguntungkan dibanding nasib karyawan dari perusahaan tenant yang kebanyakan berada di G3 atau G4. Sementara G1 lebih diperuntukan kepada para eksekutif dari perusahaanku bekerja, bos-bos tenant, dan tamu.
Saat melangkah menuju slot parkirku, di kejauhan aku melihat si bocah konyol dan teman dekatnya berjalan sambil tertawa. Entah apa yang mereka bahas hingga bisa menarik perhatian banyak pejalan kaki di sini. Apalagi aku akui teman si bocah konyol mempunyai tawa renyah yang membius orang ikut tertawa bersamanya.
Lain cerita denganku. Sudah lama aku tidak mengenal teman dekat di kantor. Tepat sejak hari itu. Ah, apa-apaan aku mengingat hal yang tidak penting itu. Baiknya aku melangkah cepat menuju mobil dan membelah kepadatan lalu lintas sampai salon. Sebagai perempuan tiga puluh tahun, aku punya concern besar pada penampilan. Ditambah profesiku yang sering berhadapan dengan klien dan mitra perusahaan, aku harus tampil maksimal.
Tua dan jelek adalah permasalahan bagi mereka yang kurang menyayangi diri mereka sendiri. Aku tidak menampik usiaku. Yang aku perbaiki di sini adalah penampilanku. Sama halnya dengan pepatah; 'Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.' Maka aku membuat pepatahku sendiri; 'Tua itu pasti, cantik itu kewajiban.'
“Kamu yakin pacaran sama bocah ingusan itu?”
Aku terperanjat akan suara itu. Wicak berdiri di dekat mobilku. Menatapku intens. Oh no, jangan bilang dia sudah mengetahui kebohongan yang aku buat kemarin malam.
“Aku sampai sengaja menunggu kamu untuk memastikan ini semua. Dan kamu berhasil buat aku terkejut lagi. Bocah ingusan itu bawahan kamu sekaligus anak pemilik perusahaan. Kamu sedang memainkan permainan apa?” Mata Wicak yang dulu selalu lembut menatapku kini menyorotku jijik.
“Bukan urusan kamu,” kataku sambil meneruskan langkahku menuju mobil.
“Masih bermimpi menjadi nyonya besar? Bangun, Jossy. Kamu hanya beruntung bisa bertahan di perusahaan ini, bukan berarti kamu selevel dengan mereka. Anak-anak yang terlahir dengan sendok perak di mulutnya itu tidak sesuai untuk kamu yang kecilnya menyuap nasi akik.” Perkataan Wicak semakin ketus dan sini. Dia tidak perlu mengingatkanku pada masa lalu. Aku masih ingat dan sadar siapa aku dan darimana aku berasal.
“Kalau kamu sudah selesai bernostalgia, silakan pergi,” kataku. Aku mati-matian berusaha bersikap tenang.
“Nostalgia, hah?” Wicak berkacak pinggang di depanku.
Badanku bergetar. Aku takut. Sungguh. Posenya kini mengingatkanku pada kenangan mengerikan itu.
Tolong, selamatkan aku!
“Sayang, kamu di sini?”
Kepalaku dan Wicak berputar ke asal suara. Si bocah ingusan tersenyum ke arahku.
Ini becanda...atau bencana...yang takdir persiapkan?
“Aku sudah bilang kita pulang bareng naik motor aku. Kamu suka ngambek ya kalau lihat aku sama teman cewek.” Si bocah ingusan menjawil hidungku.
Aku terdiam. Tidak paham kondisi yang tengah terjadi. Wicak di sebelahku menggelutukan giginya dan aku mendengar jelas suaranya.
“Hai, Mas Wicak.” Si bocah berdiri di sisiku. Tangannya menggenggam tanganku dengan luwes.
“Oh, hai, Arvel.”
“Kayaknya gue mesti ganggu obrolan kalian. Kebetulan gue dan ib- Jossy ada rencana nonton malam ini.” Salah satu mata bocah konyol mengedip padaku sambil dia melanjutkan, “biasa Jossy suka banyak maunya. Kita pamit ya.”
Wicak mengangguk.
Si bocah menarikku menuju parkiran motor. Kepalaku masih kesulitan memproses semua kejadian yang aku alami barusan.
“I saved you twice. Nggak ada ucapan apa gitu?” Ucapan si bocah pengidap Peterpan sindrom membuyarkan lamunanku. “Maybe one magical word.”
“Apa itu?” Aku sungguh tidak paham maksudnya.
“Terima kasih.”
“Ah!”
Dia berdecak sambil menghentak kaitan tangan kami hingga terlepas. “Payah banget sih, bu. Hal remeh gini saja nggak paham. Pantas ibu jomblonya nggak tanggung-tanggung. Memang nggak ada niat menikah dan punya anak gitu? Apa mau menikah sama pekerjaan ibu? Seingat saya belum ada undang-undang pemerintah yang mengatur pernikahan WNI dengan profesinya. Nggak bisa kasih k*****s, Bu.”
Bocah ini dan bibirnya!!
Tanpa ragu aku hantamkan tasku ke bibirnya yang terus berceloteh. Dia menjerit kesakitan. Benar-benar bocah satu ini, bukan hanya butuh edukasi otak dan fisik. Dia butuh edukasi kejiwaan.