2.Mengorbankan

2107 Words
"Mbak?" Nania muncul dari balik pintu kamar memanggil sang kakak. Prisa yang tengah melipat pakaian di atas ranjang langsung menengok dan tahu apa yang membuat sang adik mampir ke kamarnya malam ini, "oh itu surat-surat motornya ada di atas meja mbak." Nania pun masuk dan menuju meja yang Prisa maksud, setelah itu ia tidak langsung keluar, ia lebih memilih ikut duduk di dekat sang kakak yang merupakan saudara satu-satunya itu. "Mbak yakin pinjemin motor ke aku?" Prisa melirik sang adik lalu tertawa, "oh jadi kamu nggak mau?" "Ya bukan gitu juga mbak, aku sih mau banget." "Iya, toh biar kamu nggak ribet, sekolah kamu lebih jauh ketimbang tempat kerja mbak. Lagian sejak kita pindah kesini, tiap hari kerjaan kamu mencak-mencak mulu kan?" Nania diam sejenak sambil memperhatikan surat-surat motor yang sedang ia pegang, "makasih ya mbak." Prisa terkekeh pelan menatap sang adik heran, "tumben banget ngomong terima kasih." Nania hanya menarik sudut bibirnya, selama ini ia memang terkenal dengan sikap cuek serta blak-blakan yang kadang terkesan kasar. "Mbak, tadi sebenarnya aku sempat ketemu Om Fajar." Nania mulai membuka topik pembicaraan baru. "Om Fajar? Oh ya? Terus?" Nania menghembuskan napas kasar, "ya biasa lah mbak, nyebelin. Dia bangga-banggain Kak Tita yang baru aja masuk kuliah di tempat yang bagus." Prisa tertawa kecil, "ya syukur deh Tita bisa lanjut kuliah di tempat yang bagus." "Ih bukan gitu mbak, dia kayak nyindir aku gitu seolah-olah aku nggak bakal bisa kayak Kak Tita. Ih padahal aku kan sempat satu sekolah sama Kak Tita, dia nggak lebih pinter dari aku. Kuliah modal uang aja bangga." "Hei! Kamu nggak boleh ngomong gitu, walau gimanapun dia kan tetap kakak sepupu kamu dan Om Fajar itu adiknya almarhum papa. Mereka itu masih keluarga kita," dengan cepat Prisa coba menyadarkan adiknya itu. "Keluarga apanya? Kerjaannya cuma ngerecokin kita terus, mereka juga nggak pernah peduli tuh sama kita, kita cuma untuk diremehin terus." Prisa terdiam sejenak karena memang apa yang Nania ucapkan memang benar, bahkan sejak papa mereka masih hidup, mereka terus saja dipandang sebelah mata karena keadaan ekonomi mereka yang hanya seadanya, ditambah setelah kepala keluarga mereka meninggal dunia. "Mbak tahu? Tadi Om Fajar juga ngomongin mbak." "Bilang apa?" "Dia tanya, mau sampai kapan mbak kerja sebagai karyawan rendahan seperti sekarang? Katanya selamanya kita nggak akan berkembang kalau gini-gini terus. Nyebelin banget kan mbak?" Nania bicara apa adanya tanpa disaring sedikitpun karena memang sudah sangat kesal sekali. Prisa hanya bisa menunjukkan senyum kecil walau sebenarnya ia juga merasa miris, keluarga yang harusnya membantu malah selalu menberikan hinaan dan tekanan secara mental. Tapi apalah daya karena ia tidak bisa apa-apa atas hal tersebut. "Udah lah, kamu tahu sendiri kan Om Fajar emang suka nggak kekontrol omongannya, nggak usah kamu pikirin." Prisa coba menenangkan sang adik. "Tadi dia juga mau kasih aku uang jajan." "Terus?" "Ya nggak aku ambil." "Kenapa?" "Ogah, ngasih dikit doang nanti ngomong ke semua orang yang seolah-olah bikin kita butuh banget tuh sama dia." Prisa hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar cerita adiknya itu, "kamu itu bener-bener ya. Tapi intinya kamu sekarang fokus aja sama sekolah kamu karena prestasi kamu adalah yang paling berharga." Nania mengangkat alisnya santai, "mbak tenang aja. Ngomong-ngomong aku jadi boleh untuk ikut bimbel kan mbak?" "Udah mau mulai?" Nania mengangguk dan bicara dengan ragu, "tapi..., aku belum bayar..." "Astaga, kok kamu nggak ingetin mbak sih? Mbak kan udah siapin uangnya, bentar ya." Prisa teringat dan bergerak menuju lemari dan kembali dengan beberapa lembar uang di tangannya. "Nih uangnya, sekalian sama jajan kamu minggu depan, kamu bisa lebih hemat karena udah pakai motor kan?' Prisa memberika uang itu pada Nania. Nania langsung tersenyum lebar, "oke mbak, kalau udah pakai motor aku bisa jamin akan lebih hemat." "Baguslah." *** "Pris, kanu nggak papa kan?" tanya seorang wanita mendekati Prisa yang sudah membereskan tasnya untuk pulang dari kantor hari ini. Prisa menoleh, "aku? Ya nggak papa lah, emang kenapa?" "Tadi kan kamu habis dimarahin Bu Lia, padahal kan emang bukan salah kamu, dia aja yang teledor nyusun berkas." "Udah lah, nggak papa kok Han, lagian juga berkasnya udah ketemu." "Tapi dia nggak minta maaf sama kamu, dia udah marahin kamu habis-habisan tadi." Hana tampaknya sangat geram melihat bagaimana tadi Prisa dijadikan tempat pelampiasan emosi salah satu atasan mereka. "Ya mau gimana, kita cuma pegawai rendahan yang gak punya kuasa apa-apa. Intinya semua nggak lagi berantakan. Udahlah Han, jangan dipikirin." "Ih kamu itu ya Pris, bisa-bisanya sabar banget padahal selama ini perlakuan Bu Lia kurang baik banget sama kamu. Heran deh, kamu ada salah apa sampai apa-apa pastinya nyalahin kamu terus." Prisa hanya bisa angkat bahu, karena selama ini hampir semua orang tahu kalau ia selalu menjadi sasaran kekesalan atasan mereka yang bernama Bu Lia tersebut, "tahu deh, udah nasib ya mau gimana." Hana menghela napas sambil ikut merapikan barangnya untuk pulang, "Prisa, kamu besok ikut nggak?" "Ikut kemana?" "Jalan, besok kan libur. Aku sama anak-anak yang lain mau main. Ikut yuk!" Prisa tersenyum simpul lalu menggeleng, "nggak dulu deh." "Kenapa?? Kamu nggak pernah ikut jalan atau main, emang kamu mau ngapain?" "Besok aku mau ke shelter." "Kamu kerja di shelter hewan lagi?" Prisa mengangguk, "aku dapat di tempat shelter lain yang nggak jauh dari sini. Besok adalah hari pertamaku." "Tiap libur?" "Iya." "Aduh Pris, kamu emangnya nggak capek apa? Kamu itu butuh refreshing, jangan kerja terus." "Kerja di shelter udah kayak refreshing kok, ketemu hewan-hewan." Prisa menjawab sambil tertawa ringan. Hana hanya memutar bola matanya malas, "bohong banget, kan waktu itu kamu pernah bilang kalau kerja di shelter itu cuma untuk tambahan uang, kamu kan sebenarnya bukan benar-benar pecinta hewan." "Udah, nggak usah bawel. Kamu lanjut jalan aja." "Tapi Pris, ini ga cuma masalah jalan atau main doang." "Terus??" tanya Prisa penasaran melirik Hana. "Kita bakal ketemu beberapa orang baru teman-teman cowok Tika." "Lalu?" "Ih kok nggak ngerti sih?" Prisa tertawa sambil kini mereka mulai berjalan bersama keluar, "oh ada maksud lain ternyata." "Kamu jomblo kan Pris? Apasalahnya juga dicoba? Udah umur segini kamu belum pernah pacaran serius kan? Emang belum kepikiran mau punya pasangan?" "Ya pasti ada lah." "Lah terus? Kamu ikut deh, tahu aja ketemu yang cocok, sekalian refreshing." Prisa menggeleng, "lain kali deh Han, yang sekarang aku skip dulu, kamu dulu aja. Habis putus kan? Pasti butuh tempat move on," gadis itu menutupi ucapannya dengan tawa menggoda temannya itu. Hana ikut tertawa namun terkesan miris, "yah, padahal aku semangat banget mau ajak kamu." "Udah, kamu aja. Firasat aku bilang jodoh aku nggak ada disana besok, tapi adanya jodoh kamu." Hana hanya bisa tertawa menanggapi ucapan Prisa hingga tiba-tiba ia terkejut dengan siapa mereka hendak berpapasan, dengan cepat mereka memberi salam sapaan dengan sopan. "Sore, Pak." Prisa dan Hana hanya diam di tempat karena sapaan mereka seolah tidak ditanggapi sama sekali, pria muda berjas itu lalu begitu saja. "Mungkin dia nggak denger sapaan kita," Prisa bicara terlebih dahulu saat pria yang tadi mereka sapa menghilang. Hana langsung menunjukkan wajah tak senang, "bukan nggak denger, tapi emang gayanya belagu. Kamu kayak yang nggak pernah denger rumornya aja." "Itu tadi anaknya Pak Firman kan?" Prisa coba memastikan karena ia ikut menyapa hanya karena ikut Hana. Hana mengangguk, "iya, anak Pak Firman yang nomor dua, dia pimpinan di kantor cabang. Tapi sifatnya beda banget kan sama Pak Firman?" "Mungkin emang kelihatan cuek aja, kita kan nggak tahu. Lagian dia juga sesekali kan kesini?" "Enggak Pris, dari wajahnya aja kelihatan banget belagunya, bedain deh sama kakaknya, Pak Dehan. Pak Dehan mah baik dan ramah banget. Kalau yang tadi sok sok an mentang anak yang punya kantor." Prisa mengangguk karena ucapan Hana memang masuk akal, "siapa namanya?" "Yang tadi?" "Iya, anaknya Pak Firman yang barusan." "Pak Randa, kayaknya sih seumuruan atau lebih kecil dari kita. Mukanya sih cakep, tapi attitudenya kayaknya minus." "Kok kamu kayak yang tahu banyak aja sih Han? Dia kan bukan kerja di kantor sini." "Biasalah, gosip. Kata orang-orang yang kerja di kantor cabang, Pak Randa itu belagu banget dan agak kasar. Banyak yang banding-bandingin sama Pak Dehan, ya walaupun disini Pak Dehan masih dibawah Pak Firman, tapi Pak Dehan udah kelihatan banget kepemimpinannya bagus." "Kabarnya dalam waktu dekat Pak Firman bakal kasih posisinya ke Pak Dehan sepenuhnya ya?" Hana mengangguk, "pasti keren sih kalau beneran Pak Dehan yang ambil kepemimpinan sepenuhnya. Tapi juga ada yang bilang Pak Randa nuntut dia juga pengen di kantor pusat ini. Ih nggak kebayang deh kalau dia juga pindah kesini. Gimana kalau kabar yang beredar tentang sikap dia benar coba?" Prisa tertawa, "kayaknya siapapun pimpinan kantor nggak akan terlalu pengaruh untuk kita yang cuma karyawan rendahan nggak sih? Biarin aja lah Han." Hana ikut terkekeh, "bener juga, kita cuma butuh Bu Lia berhenti nyuruh-nyuruh kita." "Ssstttt!" dengan cepat Prisa meletakkan jarinya di depan mulut Hana sambil melihat ke sekitar, "nanti kedengeran sama orangnya bisa berabe kita." Hana mengangguk sambil menahan tawa, "yaudah balik yuk. Eh kamu nggak lagi bawa motor ya Pris?" Prisa mengangguk, "aku udah kasih ke Nania, kasihan dia sekolahnya jauh." "Terus pulangnya gimana?" "Tinggal ke halte depan, ada kendaraan umum kok." * "Adik kamu udah jalan buat jemput?" Prisa bertanya karena Hana malah ikut dengannya menuju halte di depan kantor, biasanya ia sudah langsung ditunggu oleh adiknya di depan kantor untuk pulang. "Ga tau deh, mungkin udah." "Tumben banget telat jemputnya." "Katanya sih dia dari kampus, tapi ga papa deh, sekalian nemenin kamu." Mereka berdua pun akhirnya sampai di halte yang sepi karena hanya ada beberapa orang. "Pris, itu Pak Deni ga sih?" Hana memberi tahu Prisa sambil melihat sebuah mobil yang berhenti di hadapan mereka. Prisa yang juga melihat langsung mengangguk dan benar saja, pria di dalam mobil menurunkan kaca lalu tersenyum, "hai Prisa, Hana, kalian mau pulang? Ayo bareng saya saja." Prisa dan Hana saling melirik terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan salah satu atasan mereka di kantor itu, "makasih pak, tapi saya sudah di jemput." Hana menjawab terlebih dahulu. "Kamu Prisa? Ayo saya antar," pria bernama Deni itu mulai fokus untuk mengajak Prisa. "Eum, nggak usah deh pak, terima kasih." "Ayolah, saya nggak kerepotan kok. Kabarnya kamu baru pindah rumah kan ke daerah sekitar sini? Jadi tidak masalah untuk saya." Prisa tertawa kecil sambil menggeleng, "beneran pak, nggak papa. Lain kali aja, saya emang mau coba pakai kendaraan umum dulu biar terbiasa buat pulang." Deni tampaknya yang sangat ingin sekali mengantar Prisa pulang memilih untuk mundur karena sepertinya gadis itu memang tidak akan menerima tawarannya, "beneran lain kali ya?" "Iya pak, lain kali. Makasih ya pak tawarannya." "Baiklah, kalau begitu saya duluan ya." "Baik pak, hati-hati," Prisa dan Hana menjawab berbarengan lalu mobil berwarna hitam itu pergi meninggalkan mereka. "Kayaknya Pak Deni beneran suka deh Pris sama kamu," Hana langsung bicara saat Deni pergi. "Apaansih Han, jangan asal deh." "Halah Prisa, kamu nggak usah sok sok an bilang nggak deh, kamu pasti juga nyadar kan kalau sikap Pak Deni ke kamu itu berbeda?" Prisa hanya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, "ya gimana ya." "Tuh kan, kamu juga nyadar. Emang kamu nggak mau sama Pak Deni? Dia baik loh orangnya." "Aku nggak mau nambah masalah sama Bu Lia." Hana langsung paham dengan apa yang Prisa maksud dan sedikit terkejut, "ya ampun kenapa aku baru sadar sih? Pantesan selama ini Bu Lia sinis banget sama kamu Pris, dia kan kata orang kantor naksir sama Pak Deni." Prisa tertawa pelan, "bukan katanya lagi, tapi emang iya. Pak Deni sendiri pernah bilang padaku kalau Bu Lia sempat nyatain perasaannya." "Pak Deni cerita ke kamu?? Kok bisa?" Hana cukup kaget mendengar ucapan Prisa. "Nggak tahu deh gimana bisa Pak Deni ngomongin hal seperti itu padaku waktu itu, udah lama sih." "Terus Pak Deni nya nggak mau?" "Buktinya sampai sekarang dia nggak sama Bu Lia kan?" "Ya karena dia sukanya sama kamu. Kamu nggak niat terima Pak Deni aja? Kalau kamu sama Pak Deni, aku yakin Bu Lia ga bakal gangguin kamu lagi Pris." Dengan cepat Prisa menggeleng, "aku yakin tidak akan semudah itu, itu sama saja seperti mengibar bendera perang. Aku nggak mau Han, lagian cari kerja susah, Bu Lia bisa saja membuatku keluar dari kantor atau membuatku sangat tidak nyaman dengan pekerjaanku. Aku sangat butuh pekerjaan sekarang, lebih dari apapun." "Benar juga sih, sedangkan sekarang aja kamu udah hebat banget bisa tahan." Prisa tertawa, "ya mau gimana lagi, mau nggak mau." "Tapi apa harus sampai kamu ngorbanin perasaan kamu ke Pak Deni? Lagipula posisi Pak Deni lumayan bagus di kantor dibanding kita." "Ngorbanin perasaan? Enggak lah Han, akunya biasa aja kok ke Pak Deni." "Boong kamu Pris." Hana melirik Prisa dengan tatapan tajam tak percaya. "Terserah deh mau percaya apa enggak, yang penting aku udah cerita apa adanya ke kamu. Eh itu adik kamu bukan sih?" "Eh iya, aku duluan ya Pris, kamu hati-hati ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD