Part 2 Meeting

1821 Words
Aku agak terlambat masuk kantor hari ini. Shiiittt!!! Ayolah Lena, ini hari kedua kerja! Bodohnya aku bisa sampai terlambat. Aku agak tergesa gesa saat memasuki lobby kantor. Sambil terus menatap jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Hari ini akan ada meeting di ruanganku, jadi aku harus siap 100% sehingga bisa memberikan penilaian yang baik karena bos utama ikut dalam meeting hari ini. Aku sudah membuat proposal yang kubuat kemarin. Walau masih berupa lembar lembar kertas yang sudah kuketik, tapi aku yakin semua sudah sempurna. Dengan langkah percaya diri aku masuk ke kantor. Dari kejauhan, terlihat lift hampir tertutup. "Tunggu ..." teriakku sambil berlari ke lift. Aku melepas sepatu yang kupakai, karena aku memakai sepatu dengan heel yang cukup tinggi sedangkan aku tidak bisa berjalan dengan cepat jika terus memakai sepatu ini. Di dalam lift sudah ada seorang pria yang kemudian membukakan pintu lift lagi karena tau aku akan masuk. Tapi entah kenapa kertas yang ada di tanganku malah beterbangan didalam lift. Segera aku memungutnya agar tidak kotor. "Duh, kok malah jatuh semua sih. Tenang, Lena. Jangan gugup. Oke?" Aku berbicara sendiri sambil memungut semua kertas itu. Agak berantakan pagi ku ini. Astaga, aku terus merutuki diriku sendiri atas keteledoranku yang hanya mematikan alarm ponsel lalu melanjutkan tidur lagi, bukannya bangun dan bergegas mandi. Pria itu kemudian jongkok dan ikut membantuku memunguti nya. Dia tersenyum sambil memberikan proposalku, eh, eum lembar proposal ku. "Makasih," ucapku setelah semua kertas terkumpul. "Sama sama," sahutnya. "Sekilas kulihat, aku seperti pernah melihatnya. Tapi di mana, ya? Ah sudahlah, tidak penting," gumamku dalam hati. Ponselku berdering. Dengan kesusahan kuraih benda pipih itu dari kantung blazer yang kupakai. "Ngapain nih orang?" gerutu ku kesal saat melihat nama penelpon itu. Berkali kali dia menghubungiku dan selalu ku tolak. Malas rasanya. Dia adalah Ari, mantan kekasihku. Beberapa detik kemudian, dia mengirimiku pesan. [Kita ketemu nanti, ya. Jam makan siang. Kita harus bicara.] Tidak ku balas, dan kembali kumasukkan ponsel ku ke dalam saku. Pintu lift terbuka. Aku segera keluar agak terburu buru. Lalu menuju ruangan ku. Sambil menenteng sepatu di tangan kiri dan proposal di tangan kananku. Sampai meja kerjaku, nafasku hampir habis. Semua yang ada di sana menatapku dengan heran. Kuhempaskan tubuhku di kursi. Jantungku berdegup kencang, tanganku agak gemetaran dan dingin. Rasanya tidak karuan. Ah, aku grogi. Ini meeting pertama dan aku takut jika memberikan penilaian buruk nanti. "Len? kenapa?" tanya Diah heran. "Kesiangan, Len?" Nadia ikut komentar. "Hiya ... Gara-gara packing barang buat pindah, malah kesiangan," gerutuku sambil meletakan kepalaku di meja. "Ya ampun. Ya udah, siap siap gih. Bentar lagi meeting, Mba Bro," ucap Laras. "Udah siap kok. Nih proposalku," kataku masih tiduran di meja. Hanya tanganku yang menaikkan proposal ke atas. "Heh! Kamu pikir mukamu gak berantakan? Liat tuh. Rambut acak- acakan. Make up luntur. Udah gitu nyeker lagi," kata Rena menatapku sambil geleng geleng. Aku lalu bangun dan memperhatikan keadaanku yang memang kacau. Kuambil bedak dan lipstik dari tas dan sedikit memoles wajahku agar tidak terlihat pucat. Kusisir rambutku yang berantakan ke mana mana, kurapikan penampilanku sebelum meeting dimulai. Setelah selesai berdandan ala kadar nya, aku segera memakai sepatuku. Mas Andre baru saja masuk ke ruangan dan segera berjalan ke ruang pribadinya, dia menoleh sebentar melihatku. "Len? Siap?" tanyanya sambil menatapku, tapi sama sekali tidak menghentikan langkahnya. "Siap, Bos," sahutku semangat. Dia hanya menaikkan ujung bibirnya dan berlalu ke ruangan nya sendiri. Meeting dilakukan di ruangan khusus yang ada di sebelah ruangan kami. Setelah dikomando oleh Mas Andre, kami segera masuk ke ruang meeting bersama sama. Sampai di sana kulihat sebuah meja yang cukup besar dan panjang dengan banyak kursi. Ada 1 orang yang sudah ada di sana, dia duduk di kursi paling tengah sambil menatap layar laptopnya. Ini big boss nya kali yah, batinku. Mas Andre duduk di sebelah orang itu dan kami mulai mencari kursi kami masing masing. Setelah semua duduk. Mas Andre memulai rapat pagi ini. Sebentar! Dia? Bukannya yang tadi pagi bertemu denganku di lift? Ya ampun, bener itu orangnya. Jadi dia adalah Big bos? Astaga, aku benar benar malu. Ku tutupi wajahku dengan sebelah tanganku sehingga hanya mataku saja yang terlihat. Aku jadi tidak fokus sekarang. Benar benar tidak fokus. "Alena? Len?" teriak Mas Andre. Nadia yang ada di sampingku menyikut sehingga aku tersadar lalu menoleh ke Mas Andre. Ternyata semua orang sedang melihat ke arahku sekarang. "Maaf. Iya, Mas Andre. Gimana?" tanyaku gugup. "Proposal kamu gimana? Coba kamu jelasin program kamu," kata Mas Andre. "Oh iya. " Lalu kubuka proposal milikku Dan kujelaskan semua program kerja yang ku punya kepada mereka semua. Awalnya memang gugup, tapi lama lama aku sudah lancar dalam berkomunikasi. Aku sudah bisa mengatur diriku sendiri. "Gimana Pak Adit?" tanya Mas Andre setelah aku selesai berbicara. "Oke tuh idenya. Aku suka," katanya sambil menunjukku dan menatapku datar. Dan meeting berakhir dengan lancar. Membuatku dapat bernafas lega. Satu persatu teman temen ku keluar ruangan ini dan kembali bekerja. Saat aku akan keluar, Mas Andre memanggilku. "Len, sini bentar," panggilnya sambil melambaikan tangan kepadaku. Aku pun mendekat kepadanya yang sedang mengobrol dengan Big bos. "Iya, Mas Andre?" tanyaku. "Kenalin, ini Pak Adit. Pemilik perusahaan ini. Pak Adit, dia Alena, karyawan baru di sini," kata Mas Andre. Pak Adit hanya menaikkan sudut bibirnya kepadaku. Aku sudah tau maksudnya apa. Karena kejadian pagi tadi, pasti dia sudah ilfell dengan ku. "Aku udah ketemu sama dia kok, Ndre. Eum, 2 kali malah. Selamat bergabung di perusahaan saya, ya," katanya lalu melemparkan senyum kepadaku dan menjabat tangan. Aku tidak percaya, kupikir dia akan sinis dan marah marah kepadaku karena kecerobohanku tadi pagi. Aku membalas senyumannya dengan ragu ragu. "Iya, Pak Adit. Terima kasih. Semoga saya tidak mengecewakan Pak Adit nanti " "Iya, saya tunggu kinerja kerja kamu. Oh iya, kamu masih suka ngomong sendiri?" tanyanya dengan ekspresi aneh melihatku. "Hah? ngomong sendiri? Saya?" sambil kutunjuk diriku sendri dengan ekspresi bingung. Aku ngomong sendiri? kapan, ya? Aku masih berfikir dan mengingat apakah ada hal yang terlewat olehku selama aku kerja di sini dua hari ini? "Yang di lift kemaren?" Dia berusaha mengingatkanku. "Kemaren? Ah.. Ya ampun. Oh iya pak.. Eum ... Saya baru ingat. hehe," kataku sambil tertawa malu. Itu bukan ngomong sendiri kali pak. Elu nya aja yang kagak liat siapa yang kuajak ngobrol kemaren. Huft, runtukku. "Wah ... Kalian udah akrab nih," cetus Mas Andre. "Hehe. Iya, nggak sengaja ketemu Mas, kemaren," kataku. Pak Adit hanya tersenyum ke arahku dan Mas Andre bergantian. "Ya udah, Gua balik dulu ya, Ndre," kata Pak Adit sambil membereskan laptopnya. "Iya, hati hati ya, Dit. Tar makan siang bareng kagak? Gue traktir deh." kata Mas Andre. Lho.. kok ni pada ngobrolnya pake Elu Gue? Kayak mereka ini dekat sekali. "Beres deh, atur aja, Ndre. Kapan nih, nikahnya? Jangan kelamaan kali. Tar keburu disamber orang," kata Pak Adit tertawa sambil berlalu meninggalkan kami. Aku masih bengong dan heran melihat kejadian ini. Apa mereka memang berteman dari dulu, kok kayak udah akrab banget sih. "Adit itu temen kuliahku, Len. Jadi kalau lagi nggak banyak orang, ya kami ngobrol biasa aja," jelas Mas Andre yang sepertinya menyadari kebingunganku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kami kemudian kembali ke ruangan kami. ====== Sampai di ruangan dan aku kembali duduk di meja kerja ku. Segera aku menyelesaikan proposalku yang lain. "Len, Besok kamu ikut aku ya, kita ngeliput acara di luar," pinta Arga yang duduk agak ujung. "Oke." Semua orang sedang sibuk sepertinya. Pekerjaan kami memang cukup memerlukan ketekunan. Jangan sampai salah memasukkan data. "Diah, toilet mana, ya?" tanyaku. "Di ujung koridor kok, Len.. Sebelah ruang rapat tadi. Mau ke toilet?ikut," katanya manja. "Iya, ya udah ayok.." kataku lalu beranjak dari duduk ku dan berjalan ke toilet. Saat aku berjalan ke luar, Arga memanggilku. "Len!" teriaknya. Otomatis membuatku berhenti dan menoleh kepadanya. "Iya? kenapa?" tanyaku santai. "Hati hati, Len," ucapnya dengan raut wajah cemas. Ini anak kenapa? Perhatian banget? Aku hanya tersenyum dan sedikit menaikkan ujung bibirku. "Si Arga kenapa tuh? Baek banget kayanya," bisik Diah kepadaku. Aku hanya mengerdikkan bahu. Saat berjalan ke toilet entah kenapa terasa dingin sekali. Suasana terlihat sangat sepi. Di lantai ini memang hanya ada 2 divisi yang menempatinya, tapi masa nggak ada orang yang lewat sama sekali sih? Agak ragu sebenarnya untuk melanjutkan niatanku ke toilet, jika bukan karena kebelet yang di udah di ujung, kayaknya mending aku balik lagi aja deh. Perasaanku enggak enak. Lagian juga Diah ikut. Sampai di depan toilet, kulihat ada OB yang sedang mengepel di dalam. Toiletnya ada 3 bilik, dengan wastafel di depan bilik yang dilengkapi dengan cermin besar. Ada orang rupanya, segera kami masuk tanpa ragu ragu. "Permisi," ucapku saat melewati OB itu. Dia hanya mengangguk sambil masih mengepel. "Di, sana kamu masuk, aku toilet yang ini aja," kataku sambil menunjuk toilet di pinggir. Diah di toilet tengah. Saat di dalam aku tidak merasakan apa apa. Berbeda saat aku selesai dan sedang mencuci tanganku di wastafel. Saat Diah membuka pintu kulihat dari cermin depanku, ada sosok di belakangnya. Wanita memakai baju putih, rambutnya panjang acak acakan, bajunya juga lusuh seperti sudah lama terkubur tanah. Saat Diah keluar, dia mendekat ke pojok dekat tempat sampah yang ada di dalam toilet. Deggg!! Kakiku mendadak lemas, sehingga aku berpegangan pada sisi wastafel. "Kenapa, Len?" tanya Diah heran melihatku pucat. "Kamu ... Lagi dapet, yah?" tanyaku agak terengah engah bagai habis lari lari. "Iya. Kok taum" tanyanya santai sambil bercermin membetulkan pakaian nya. "Pembalut bekasnya udah kamu cuci belum tadi?" tanyaku serius. "Belom, aku buang aja, lagian ribet, Len. Udah aku masukin kresek kok. Ngapain sih?" tanyanya cuek. "Ya ampun, Diah. Jorok banget deh. Ambil! Cuci!" perintahku. "Ih, ogah ah, Len. Udah masuk tempat sampah gitu kok." Aku menatap tajam ke arahnya, lalu membuka pintu toilet tadi dengan perlahan. Dan kalian tau apa yang kulihat? Sosok tadi sedang jongkok di tempat sampah, sedang mengacak acak sampah di sana. Diah yang ikut melihatnya juga berteriak histeris. Karena panik, aku tutup lagi pintunya. Aku juga takut. Tidak berani mendekat. Kami lalu berlari keluar toilet. "Itu maksudnya! Kalau lagi haid bekas pembalutnya dicuci dong. Kamu tuh main buang gitu aja!" kataku kesal. "Terus gimana dong, Len. Itu lagi ngapain 'dia' di sana?" tanyanya panik. "Ngapain lagi? Pakai ditanya! Ambil pembalut bekas mu tau!" aku makin emosi. Diah menangis histeris, takut kenapa-napa. Tanpa sadar OB yang tadi kulihat saat kami masuk sedang mengepel membelakangi kami. "Maaf, pak. Saya mau minta tolong bisa?" tanyaku sopan. Diah memukul lenganku dan menatapku heran. "Len! Jangan mulai gila deh! kamu ngomong sama siapa sih?" tanyanya sambil melihat ke arah yang ku tatap. Apa? Diah nggak liat? Jadi... Saat aku menoleh kembali ke OB tadi, dia sudah berdiri di hadapanku dengan posisi menunduk dan perlahan menyeringai dengan ekspresi yang sangat menyeramkan. Kakiku lemas, pandangan mataku agak memburam, aku terhuyung ke belakang tapi sudah ada seseorang yang menahanku sehingga aku tidak jatuh. "Len... Lena... Kamu nggak apa apa?" Suara itu berdengung di telingaku. Dia merapalkan doa doa yang aku tidak tau apa. Tak lama pandanganku menjadi jelas lagi. "Kamu nggak apa apa, Len?" tanya Arga cemas. Aku menggeleng lemas. Lalu menunjuk ke dalam toilet. "Itu, pembalutnya Diah. Diambil sama ...." Bahkan aku seolah tidak sanggup untuk meneruskan kalimatku. Tapi sepertinya Arga mengerti maksudku. Dia segera ke dalam. Sementara Diah menemaniku di luar sambil terus menangis. Tak lama Arga keluar, tapi menggeleng pelan kepadaku. Aku menghembuskan nafas dengan berat. Berarti sosok itu sudah mengambil pembalut Diah. "Terus gimana, Ga?" Tanyaku cemas. "Semoga nggak terjadi apa apa ya Len. Elu sih! Macem macem aja!" Arga beralih memandang Diah. Diah makin histeris nangisnya. Kami lalu kembali ke ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD