SATU

1656 Words
Oh kekasih, janganlah engkau bersembunyi. Jangan pula engkau berani menuang racun di atas cawan kesetiaan. Hatiku rapuh, retak sedikit saja, maka aku merasa seluruh raga ini akan binasa. Aku kesepian.... Rasa rindu ini mulai menyakitiku, sementara kekosongan serta kehampaan yang mengisi hatiku pun semakin dahsyat. Kesendirian, darinya aku belajar memahami bahwa seberapa keras aku ingin menghapus ruang-ruang kosong dalam jiwaku, menanti cawan-cawan berisi cinta segera menuang madu ke dalam kehidupanku, rasa tiada itu tak akan pernah terpuaskan. Aku tak ada bedanya dengan gurun yang menanti datangnya hujan yang ‘kan membasuh dengki dan lara yang diberikan matahari kepadaku. Bagai gurun yang merindu datangnya tetes air pertama yang akan menumbuhkan setangkai bunga ketulusan, aku ucap namamu setiap kali aku merindu kehadiranmu, kekasih jiwaku. Nyatanya, kegelapan yang jahil menggodaku. Pikiranku tumpul, sementara jiwa dan rohku telah mengering karena terlalu lama merindu. Malang, aku berharap lembayung senja sudi mengecup kesedihanku lalu menggantinya dengan kasih dan cinta. Kekasih, jika engkau mendengar salam yang aku titipkan pada angin kemarau. Tolong, kembalilah kepada jiwa yang merindu ini. *** “Rose, oh Rose. Aku bosan.” Noa, pemuda berambut hitam itu menatap jenuh gadis yang duduk tepat di seberang meja. Rose namanya, gadis cantik bermata hijau, rambut cokelatnya menjuntai indah melewati garis bahu. “Ya,” kata Rose. Helaian rambut Rose tampak berkilau saat terkena sentuhan cahaya matahari musim hangat. “Aku bisa merasakannya.” “Rose,” panggil Noa, kesal. “Kelas telah usai, haruskah aku menemanimu hingga petang menjelang? Bibi Agatha pasti akan memarahimu.” “Tidak ada yang memintamu menemani,” jawab Rose tanpa mengalihkan pandang dari buku. “Tak bisakah kau sedikit berbaik hati? Ini adalah puisi terindah yang pernah aku baca. Tunggu sebentar. Aku lupa kau tidak memiliki ketertarikan terhadap segala keindahan. Noa yang malang. Seharusnya Agnis membakar sikap burukmu dan mungkin saja kehidupanmu jauh lebih berwarna.” Noa memutar bola mata, jengah. “Ya, aku mendengarnya beberapa kali. Letak bagusnya pun aku tak mengerti. Ceritakan kepadaku mengenai manusia perkasa yang dianugerahi Luma dengan kesaktian, maka aku tak keberatan menemanimu sepanjang malam. Jangan lupa tambahkan cerita mengenai naga. Harus ada naganya karena aku menyukai api dan kalau bisa naganya garang.” “Noa, naga itu makhluk yang rakus. Mereka tidak memiliki welas asih dan kudengar, mereka lebih senang mengunyahmu daripada mendengarkan cerita. Lupakan soal naga! Kau bahkan belum lulus ujian kesatria. Simpan seluruh mimpi dan bangunlah, Kawan.” Rose dan Noa merupakan murid Institut Luma; tempat yang dikhususkan mendidik anak-anak musim hangat yang nantinya mengisi kursi pemerintahan di kerajaan musim hangat. Dewan Kerajaan sengaja mengambil nama salah seorang Maiär agar nantinya para manusia yang lulus dari lembaga tersebut mampu menjaga keamanan dan ketertiban di Benua Lumios. Walaupun sebenarnya Kerajaan Musim Dingin pun memiliki calon-calon pemimpin yang tidak kalah hebat, tetap saja kedua kerajaan besar Benua Lumios memilih calon mereka sendiri tanpa membandingkan asal para pemimpin. “Kejam. Kau lebih jahat daripada Anum Ra! Bahkan naga penguasa Pasir Hitam itu tidak pernah menghina sesamanya.” Rose menutup buku dan berkata, “Aku realistis dan kata siapa Anum Ra tidak pernah menghina naga lainnya? Kalau Anum Ra naga yang bijaksana seharusnya dia hidup bersama naga lainnya di Lembah Castara. Noa, seriuslah bila tidak ingin didepak dari Lembaga Kesatria. Aku dengar, mereka tidak membutuhkan pemuda pemalas dan tukang tikung.” “Anum Ra naga perkasa, tidak butuh teman. Siapa yang menikung siapa? Kau harusnya bersyukur memiliki kawan sebaik aku.” Noa memiringkan kepala, menatap mata Rose. “Sayang sekali dunia ini kalau tidak dinikmati. Begitu kita melepas seragam hijau ini,” tunjuk Noa pada seragam siswa yang dikenakannya. “Maka kita akan memulai kehidupan baru sebagai manusia dewasa.” “Noa, kau sudah menginjak usia sembilan belas tahun, hukum kerajaan menyatakan dirimu sebagai pria dewasa, silakan pergi berperang.” “Pasti,” Noa menyahut, “akan kubantai seluruh penjahat yang berani menghina dongeng Anum Ra.” “Sebenarnya ada apa antara kau dan Anum Ra?” “Kami berdua ditakdirkan menguasai dunia.” “Kawan, bangunlah. Anum Ra sudah punah.” “Rose, kau iri. Delapan belas tahun, cepatlah cari seorang pemuda dan jangan sampai kau mendapatkan suami yang suka memerintahmu.” Rose tak kuasa menahan tawa, bagaimanapun juga, inilah komentar terlucu yang pernah dia dengar dari Noa: pernikahan. “Noa, aku tidak akan menikah secepat itu. Kita memang berada di akhir tahun ajaran dan tinggal beberapa bulan segera merayakan kelulusan. Tapi, menikah? Yang benar saja, aku akan mencari pekerjaan di perpustakaan utama. Aku tidak ingin menikah muda.” “Wah sayang sekali,” ujar Noa dengan suara jahil, “padahal aku berniat melamarmu.” Spontan, Rose melempar buku puisi, dan atas dasar keberuntungan, buku itu mengenai dahi Noa. “Sakit!” teriak Noa. “Itu karena kau berkata menjijikkan sekaligus menakutkan.” “Rose, aku mengutukmu menikahi pemuda musim dingin,” cerca Noa. “Rasakan. Kau akan menghadapi masa-masa tak mengenakkan yang membuatmu berharap agar aku datang dan membawamu lari dari altar pernikahan.” Lagi, Rose melempar buku. “Rose, darimana kau mendapatkan kekuatan menyakiti makhluk lemah?” Noa bangkit, berusaha menghindar. Buku berdebum saat, secara tidak sengaja, menimpa pelajar malang yang tidak seharusnya berada di sana pada saat yang tidak tepat. “Wah, lihat. Rose, kau harus bertanggung jawab. Vir, sumpah bukan aku yang melempar.” Vir memijat pelipis. Pemuda itu menatap Rose, kemudian Noa. “Tahu tidak?” katanya. “Seharusnya kalian berdua menikah saja.” Rose dan Noa. Mereka kali ini memilih diam, tidak menjawab. *** Lantunan harpa mengalun indah di antara ilalang yang tengah berayun mengikuti nada-nada yang dimainkan para pemusik. Suara merdu milik para wanita mengiringi dawai yang dipetik. Semua orang menatap khidmat para pendeta yang melakukan upacara penyucian. Musim hangat hampir lenyap, musim dingin mulai merayap mengganti segala yang ditinggalkan musim panas dengan warna cokelat dan kuning. Salah seorang pendeta lelaki yang paling ditinggikan derajatnya mulai melantunkan kidung lama. Dalam balutan jubah putih, dia pun bersenandung, “Mari kita sapa Yang Esa dalam setiap kehidupan yang terjatuh di tanah Lumios. Mari kita warnai yang cerah dan menggantinya dengan jubah keagungan.” Tiago, pangeran musim dingin, tampak takzim memperhatikan prosesi penyucian. Kedua mata biru Tiago menangkap perubahan raut wajah Amelia, sang permaisuri, ibu dari Tiago. “Tiago,” katanya. “Setelah ini pendeta agung akan mengumumkan terawanganmu.” Pangeran berambut perak itu diam, tak menjawab sepatah kata pun komentar Amelia mengenai ritual agung. Apa pun yang nantinya diucapkan pendeta, Tiago tidak peduli. Takhta musim dingin telah digariskan jatuh kepada Tiago yang tidak lain adalah penguasa tunggal, putra pertama yang terlahir dari rahim sang permaisuri. Tiago hanya memiliki seorang adik lelaki yang terlahir dari seorang selir. Tidak masalah, tidak akan ada penghalang yang merintangi jalan seorang Tiago. “Dan aku mendengar nyanyian bulbul,” sang pendeta melanjutkan. Dia melangkah perlahan menuju Tiago. Pendeta mengangguk hormat kepada raja sebelum menatap langsung ke mata Tiago. “Pangeran,” katanya, takzim. “Aku telah melihat sebuah suratan. Engkau tak boleh menduduki takhta musim dingin sebelum engkau menikahi seorang gadis berdarah musim hangat.” Hening, semua hadirat termasuk baginda raja tidak mampu menyembunyikan keterkejutan. “Apa maksudmu?” tanya Baginda Liam. “Putraku tak boleh menerima takhta?” “Baginda,” pendeta menjelaskan, “dia harus berkunjung ke istana musim hangat. Di sana, ia akan menemukan seorang gadis yang harus dinikahinya. Dari gadis itu sang pangeran akan mendapat bahtera kehidupan, yang nantinya, hal tersebut mengantarkan kerajaan ini menuju kejayaan.” Orang-orang mulai berguncing perihal terawangan pendeta. Menikahi gadis musim hangat? Tak satu pun dari mereka mampu memahami terawangan pendeta. “Pendeta,” kata Amelia. “Haruskah putraku menikahi gadis itu?” “Bukan hanya putra Anda,” kata pendeta. “Siapa pun yang bisa menarik hati gadis yang bermandikan cahaya Luma, maka ia akan mendapatkan mahkota esa yang dipuja oleh yang agung.” Pendeta undur diri dari hadapan keluarga kerajaan. Tiago menatap pias rentetan kehidupan yang akan dijalaninya nanti. *** “Lihat. Wanita itu bahkan tak bisa menentang kehendak Luma.” Ana, selir yang selalu menjadi nomor dua setelah kepentingan Amelia terpenuhi. Wanita itu berdecak senang manakala mendengar persyaratan yang diajukan pendeta agung kepada Tiago. Luar biasa, katanya dalam hati. Hari ini merupakan pemberkatan yang paling menyenangkan. Beruntung Ana berada jauh dari jangkauan dengar sang permaisuri, bila tidak, niscaya Ana akan mendapat hukuman berat atas ketidaksopanannya. “Ibu,” bisik Sacha, putra Ana. “Bisa saja itu tak benar.” “Nak, kau terlalu rendah hati. Kenapa tak kau cari gadis yang dimaksud pendeta dan ambillah singgasana musim dingin? Aku bosan melihat wanita itu menguasai segalanya.” Kini, Ana dan Sacha mendengar pendeta tua kembali menyenandungkan pujian. “Aku rasa,” kata Ana melanjutkan. “Ini merupakan kesempatanmu menguasai kursi kepemimpinan. Senangkanlah ibumu dengan menyiram lumpur ke gaun wanita itu.” “Ibu, tidak seperti itu cara seseorang berperilaku.” “Lalu apa?” Ana mendesak. “Membiarkan Amelia mengambil segala milikku dan diam saja ketika Tiago menduduki takhta? Mahkota daun salam pun terlalu indah sekadar diletakkan di atas kepala pendosa itu.” “Ibu,” ujar Sacha. “Biarkanlah mereka mereguk segala suka yang ada. Kita memiliki lebih dari apa yang mereka miliki.” “Sacha, terkadang aku merasa kau bukan anakku.” Seulas senyum tersungging di bibir Sacha. “Aku adalah berkat yang Luma kirimkan kepadamu.” “Jangan merayu.” “Ibu, aku tak berani mengecewakanmu.” Tidak mengecewakan. Ana terbiasa dikecewakan dan dia sudah tidak ingin menaruh kepercayaan terhadap siapa pun. Berkali-kali dia berharap dan doa-doanya, nyatanya, tidak terwujud. Seratus lilin telah dia nyalakan di kuil Luma, namun api-api tersebut tidak memperlihatkan jawaban. “Katakan ketika kau duduk di atas takhta.” Sacha berkata, “Aku tidak suka terikat pada apa pun.” “Kau terlalu menyayangi kakakmu.” “Bukankah sudah sewajarnya setiap adik menghormati kakaknya?” “Itu,” Ana mengoreksi, “kalau kau lahir di keluarga jelata. Tidak ada yang memiliki kepentingan terhadapmu.” “Lalu, apakah Ibu tidak memiliki kepentingan?” “Putraku mulai peduli.” “Akan aku pertimbangkan, Ibu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD