DUA

2065 Words
Langit berubah warna, dari biru menenangkan menjadi oranye yang terasa meletihkan. Para wanita mulai menjerang air dan memasak roti, anak-anak tampak tak peduli pada panggilan pulang orangtua mereka; terus bermain kejar-kejaran sembari menertawakan satu sama lain sementara sebagian orang menikmati sore dengan duduk dan menyaksikan polah manusia sekitar yang ada di sepanjang jalan kota. Rose berjalan dengan langkah malas, sama sekali tak bersemangat. Tasnya dipenuhi berbagai buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Meski berat, Rose tidak peduli. Buku-buku adalah satu-satunya sarana yang membuat Rose merasa hidup. Dari dalam sana, Rose mendapatkan kehidupan baru tanpa perlu mengarungi dunia yang sesungguhnya ada dan tercipta untuk dijelajahi—berbagai cerita tertulis di atas kertas tersebut. Melalui buku, Rose mendapatkan segala pengetahuan tanpa perlu bertanya pada mentor. Efisien, itulah yang Rose sukai. Bertanya pada mentor hanya akan menambah fitnah. Tentu Rose paham, tiada siswi ataupun siswa, selain Noa, yang sudi mendekati Rose. Jangankan berbincang, menatap sejenak manik mata Rose, mereka—para siswa dan siswi—tak kuasa menahan senyum licik; seolah Rose penjelmaan makhluk asing yang terdampar di antara manusia berkemampuan. Sudah bukan rahasia bila Rose merupakan satu-satunya manusia tanpa bakat. Semua penduduk musim hangat memiliki kemampuan; mereka bisa menumbuhkan tanaman dan merubah padang tandus menjadi hutan hijau, beberapa mampu mengendalikan angin, bahkan Noa pun memiliki kemampuan manipulasi api. Semua orang memiliki berkat … kecuali Rose. Mungkinkah para dewa dan dewi lupa menghadiahi Rose sebuah berkat? Atau mungkin, ketika roh-roh yang ada di nirwana berbaris mengantre berkat, roh milik Rose membolos hingga akhirnya ketika turun ke dunia, Rose tidak memiliki berkat apa pun. Sangat menjengkelkan. Bahkan anak kecil yang tinggal di samping rumah Rose pun mampu menumbuhkan setangkai melati. Rose merasa cacat, satu-satunya hal yang membuatnya diterima bersekolah di institut hanyalah berkat campur tangan Agatha. Tentu saja, wanita itu mampu melakukan apa pun, Rose tak perlu meragukan kuasa sang bibi. Rose memandang langit. Sekelebat pikiran bahwa semua manusia yang ada di sekitar Rose tak ubahnya tengah bersandiwara. Memasang berbagai macam topeng, tersenyum dalam kepalsuan, mencaci dan memaki mereka yang lemah, lalu tertawa di atas kepedihan mereka yang terabaikan. Apa jadinya jika Rose terlahir di antara mereka yang tak berpunya, mungkin Rose akan dijual ke saudagar, lalu gadis itu akan menghabiskan masa hidup sebagai pelayan. Hidup sungguh menggelikan. Samar-samar, Rose mencium wangi lemon yang menguar di udara. Aroma yang selalu ia cium ketika melewati rumah Nyonya Helena, wanita paruh baya yang bekerja sebagai penjual bunga. Setiap pagi, toko milik Nyonya Helena disesaki aneka rumpun bunga, dan terkadang Rose mendapatkan setangkai anyelir dari wanita itu. “Untuk keberuntungan,” katanya sebelum menyelipkan setangkai anyelir di saku seragam Rose. Keberuntungan. Rose tidak membutuhkan keberuntungan karena dia percaya bahwa segala sesuatu bisa diraih asalkan ada niatan untuk mewujudkannya. Tidak ada yang namanya keberuntungan, satu-satunya yang ada di dunia ialah kerja keras. Bagi manusia yang tak memiliki berkat semacam Rose, hidup seperti berjalan di atas permukaan es; rapuh, mustahil, dan penuh ancaman. Menghela napas, Rose memutuskan melanjutkan perjalanan. Tak sampai beberapa menit, Rose melihat bangunan yang didominasi warna cokelat tanah. Rumah yang sangat indah; rumpun mawar menghias bagian depan bangunan, terdapat jalan setapak terbuat dari bebatuan hitam yang mengarah langsung ke pintu utama, dan terdapat lili putih serta kuning tumbuh di sekitar pohon oak tua. Satu-satunya suaka bagi Rose, surga terakhir yang bisa Rose nikmati. Hidup memang kejam, pikir Rose, tentu, hidup harus kejam. Menggelengkan kepala, Rose memutar kenop pintu. Terdengar suara kayu berderak ketika Rose mendorong daun pintu hingga memperlihatkan bagian dalam ruangan; perapian di pojok ruangan, di depan perapian terbentang karpet berwarna cokelat pucat, lalu ada empat kursi dengan bantalan berwarna merah yang mengitari meja berbentuk persegi, berbagai macam lukisan tergantung rapi di dinding sebelah barat, dan Rose bisa melihat sebuah cermin yang digantung tak jauh darinya. Gadis itu bertanya-tanya perihal pemasangan cermin di dekat pintu masuk. Tak seorang pun tertarik mengamati penampilan saat tengah bertamu di kediaman seseorang, kecuali bagi mereka yang memiliki masalah dengan penyakit tinggi hati. Rose mengenal manusia semacam itu, namanya Tom, pemuda itu selalu merapikan rambut emasnya di setiap kesempatan (jenis-jenis manusia yang membuat Rose terserang mual). Lalu, Rose mendengar suara yang berasal dari bagian belakang rumah. Tak perlu berpikir dua kali, Rose bergegas melewati dapur menuju taman belakang. Di sana, gadis itu melihat seorang pria. Rambut cokelatnya diselang-seling dengan sebagian rambut berwarna abu-abu, tubuhnya tegap dan tampak berpengalaman dalam bertarung, wajah perseginya tampak serius menatap aneka bentuk kayu. Seorang naturalist, pemilik kemampuan alam. Jari-jemarinya seolah tengah memetik dawai gitar, mengarahkan tiap batang kayu menjadi bentuk yang diinginkan sang maestro, dan jadilah … sebuah patung kuda bersayap tengah menatap sengit. “Paman Abel! Bibi Agatha tak akan mengizinkan.” “Oh, Rose,” kata Abel, menghampiri Rose yang bersungut-sungut. Tersenyum, Abel menepuk pelan bahu Rose. “Sayang, bibimu tak akan berani. Paman tak bisa dipisahkan dari seni.” Abel menunjuk dadanya. “Ia hidup di dalam sini.” Mencebik, Rose pun berkata, “Paman, tidak ada wanita yang senang diduakan.” “Aku tak pernah menduakan bibimu,” Abel menyangkal. Rose memutar mata, bosan. Rose menghampiri mahakarya yang diciptakan Abel. Sosok kuda bersayap itu terlihat nyata; keempat kaki siap menendang siapa pun yang berani mengganggu, kedua sayap mengembang agung, dan tentu saja tatapan sengit terpancar keluar. “Aku ingin sekali … maksudku berkat. Semua orang memandang rendah karena aku cacat. Aku tak berguna. Paman, seharusnya aku tak usah bersekolah.” “Kau berencana menikahi seorang pemuda,” celetuk Abel. “Meninggalkan paman dan bibimu ini?” “Paman, tahu yang kumaksud.” “Rose, tidak semua hal di dunia ini tergantung pada berkat. Kau istimewa. Rose, kau sangat berarti bagi kami.” Menunduk, Rose menggigit bibir; kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika resah. “Maafkan aku,” katanya, lirih. Abel tersenyum dan mengacak rambut Rose. “Tiada satu hal pun di dunia yang bisa mengurangi nilaimu di mata kami. Rose, kau istimewa.” Mendongak, Rose pun tersenyum. “Terima kasih.” “Bagus, jangan sampai bibimu menceramahiku. Kau tahu, ‘kan, dia bisa sangat menyebalkan bila terlalu lama terpapar aura aristokrat. Akhir-akhir ini dia terlihat sejelek sapi. Rose, jangan sampai ia mendengar ini.” “Aku mendengar apa?” Berbalik. Abel mematung saat mendapati istri tercintanya berdiri di ambang pintu. Rambut merahnya disanggul, dalam balutan gaun abu-abu, Agatha terlihat garang dan siap menerkam siapa pun yang berani berulah. “Aku mendengar apa?” tanya Agatha. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. “Abel, adakah hal penting yang kausembunyikan dariku?” Merentangkan kedua tangan, Abel pun tersenyum manis. “Sayang, kau sudah pulang.” “Jangan,” Agatha melarang. “Dasar pembohong.” Rose berusaha menahan tawa. Akan sangat buruk jika ia menertawakan kemalangan Abel. “Rose,” Agatha memerintah, “masuk. Sebentar lagi petang, bersihkan dirimu.” Mengangguk, Rose bergegas masuk, meninggalkan kedua manusia yang akan memulai peperangan. *** Rembulan telah sempurna bersama gemintang, menghias langit dengan binar surga. Sesekali angin berembus, berbisik pada rerumputan agar tertunduk malu saat kunang-kunang datang mencumbu tiap helai kelopak teratai. Gemerisik air menciptakan riak di tengah kolam. Tiago memandang keindahan yang tersaji di hadapannya. Pangeran itu duduk di salah satu kursi taman, takzim dengan ciptaan Luma. Engkau tak boleh menduduki takhta musim dingin sebelum menikahi gadis musim hangat. Senyum pahit terpeta di bibir Tiago. Dia tak pernah menyangka akan berjodoh dengan kerajaan musim hangat, negeri yang dipenuhi manusia penyembah Agnis. Sayang ia tak memiliki wewenang memilih. Andai diperbolehkan, ia dengan senang hati meminang sang putri mahkota. Kini ia hanya bisa berharap, siapa pun gadis yang akan dinikahinya, semoga ia bukan termasuk golongan senang berhias. Gadis-gadis semacam itu tidak memiliki keindahan. Laksana sekuntum bunga yang terbuat dari kertas, ia akan lenyap dan kehilangan pendar indahnya. Sang pangeran membutuhkan seorang gadis yang tak bisa dilupakan. Kebetulan gadis yang menurut Tiago menarik saat ini adalah sang putri mahkota musim hangat, Bella Anarsia. Hanya membayangkan rupa putri mahkota sudah mampu membuat darah Tiago berdesir hebat. Ingin sekali Tiago mencumbu bibir yang tampak merah bagai kelopak dahlia, menggenggam erat jemari sang putri, dan berbisik perihal cinta. Namun tetap saja, segalanya ditentukan saat festival besar. Saat itulah, Tiago akan berjumpa dengan sang pengantin. *** “Hachiuuu!” “Rose, ingusmu.” Mengerutkan kening, Rose berkata, “Tidak ada ingus.” Agatha merapikan bagian hukum dan undang-undang, sudah lama ia berkeinginan merapikan koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak bisa berharap banyak kepada Abel, pria itu sama sekali tak memiliki keinginan menyentuh buku-buku milik istrinya. Kalaupun ada yang ingin Abel sentuh, sudah pasti benda tersebut adalah kayu. “Pamanmu sungguh menyedihkan.” “Bibi, Paman takut merusak koleksimu.” “Dia hanya peduli pohon. Kayu dengan kualitas wahid. Mengerti, ‘kan?” Rose memilih mengabaikan keluhan Agatha. Dia mulai memilah tumpukan literasi; memisahkan satu dengan lainnya, lalu menggabungkannya sesuai dengan arahan Agatha. “Bagaimana sekolahmu?” Rose mengedikkan bahu. “Biasa saja.” “Tentu. Apa yang bisa kuharapkan darimu, romansa cinta?” “Bibi, tidak ada yang tertarik kepadaku.” “Noa?” Mendengar nama Noa disebut, Rose pun menghela napas. Pembicaraan mengenai Noa tampaknya akan selalu mendatangkan rasa sakit kepala yang tak tertahankan. “Dia tidak seperti itu.” Berbalik, Agatha mengabaikan jejeran buku. Wanita itu menghampiri Rose yang duduk bersimpuh—masih memilah buku. “Itu karena kau tak melihatnya.” “Bibi.” “Rose, ada berbagai jenis cinta. Cinta tak terucap—meskipun tak terlihat, ia ada dan menantimu menyambut dengan tangan terbuka.” “Tidak seperti itu,” Rose membantah. Kini ia tak lagi tertarik menyortir buku, kedua matanya tertumbuk ke wajah Agatha. “Aku dan Noa hanya bisa sampai sebatas hubungan pertemanan.” “Rose,” kata Agatha. Ia membelai rambut Rose. “Noa pemuda yang baik. Aku kenal keluarganya. Cobalah bersikap manis. Tidak ada ruginya, bukan?” Hening, Rose bisa mendengar suara asing yang berkata, “Noa bukan jodohmu.” *** Di dalam kuil agung, Baginda Liam memandang sang pendeta yang tengah menerawang masa depan melalui cermin air; sebuah kolam oval yang terletak tepat di bawah langit-langit aula yang terbuka. Sinar rembulan memantul di permukaan kolam, menampakkan bayangan semu yang berpendar indah. “Baginda,” kata si pendeta. “Tidak salah lagi, Anda akan menemukan calon pengantin di kerajaan musim hangat. Ia akan muncul ketika burung-burung api milik Dewi Agnis menunjukkan tanda.” “Tanda?” “Iya,” ucap pendeta membenarkan. “Gadis yang dipilih Agnis.” “Tapi,” ucap Baginda Liam, ragu. “Gadis itu … haruskah?” “Baginda, aku hanyalah perantara. Titah Luma jelas, kerajaan membutuhkan kehadiran sang gadis musim hangat. Begitu burung-burung api menghampirinya, Anda harus segera melamarnya sebagai mempelai Pangeran Tiago.” “Semoga saja,” kata Baginda Liam, cemas. “Tiago bisa menerima siapa pun yang dipilih Agnis.” Dan memang, benang merah itu telah ada; terbentang dari satu kerajaan yang diselimuti cahaya rembulan menuju negeri benderang. Saat itulah, takdir cinta ditasbihkan. *** Ruangan berbau kasturi; di atas karpet merah gelas kristal dan botol anggur tergeletak. Sacha berjalan tergopoh menuju jendela, pandangannya nanar karena alkohol. Bersandar pada kusen, Sacha tersenyum miris. Ia iri pada rembulan yang tampak megah. Ribuan bintang mengelilingi sang ratu malam—tunduk dan patuh pada perintahnya. “Tiago,” katanya, miris. “Kau memiliki segalanya. Adakah di dunia ini yang tak bisa kaumiliki? Satu saja, aku berharap kau tahu rasanya tak bisa memiliki.” Berbalik, Sacha membentangkan tangan. “Luma, tak bisakah kau memberi Tiago derita? Berikan dia derita!” “Sacha!” seru Ana. Perempuan itu mencoba menolong Sacha, namun putranya menolak; Sacha mendorong Ana hingga wanita itu terempas ke sofa. “Aku bosan!” teriak Sacha. “Haruskah aku selalu diduakan? Haruskah segalanya untuk Tiago? Ibu, aku lelah.” Sacha menunjuk rembulan, lalu ia pun berkata, “Bulan, katakan padaku, apakah aku begitu menyedihkan hingga tak pantas menduduki takhta? Apakah aku akan selalu menjadi yang kesekian? Haruskah? Haruskah?” Menutup mulut, Ana menangis pilu mendengar ratapan putranya. Bangkit, Ana menangkup wajah Sacha. “Nak, tenanglah. Luma pasti mendengar doamu.” “Bohong,” desis Sacha. “Di mana keadilan? Aku tak melihatnya. Apakah ia telah mati di antara anggur yang dituang di setiap jiwa yang kosong? Ayah tak peduli padaku, Tiago … dialah putra Liam, bukan aku.” “Sacha, berhentilah menyakiti dirimu sendiri.” “Ibu, aku lelah.” “Sacha….” “Luma tak peduli padaku. Ayah tak peduli padaku. Hanya kau, Ibu.” Ana memeluk putranya. Dalam hati ia bersumpah, tak akan membiarkan setetes air mata menghiasi wajah putranya. Tiada satu orang pun yang boleh melukai putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD