TIGA

1979 Words
Tiada hal yang lebih membosankan selain menghabiskan waktu di institut. Setidaknya itu berlaku pada Rose. Institut, tempat berkumpulnya beragam siswa dan siswi dengan aneka berkat, yang tentunya, hal ini hanya menambah taburan garam di atas luka milik Rose. Yang benar saja, dari sekian manusia, kenapa hanya Rose yang tak memiliki satu pun kemampuan? Membuat Rose tampak berbeda dari yang lain. Sungguh, Rose tak senang menjadi sosok yang paling mencolok. Di kelas, anak-anak perempuan menjauhinya, sementara beberapa pemuda…. Menjengkelkan, Rose tak senang dipandangi secara intens, terlebih oleh lawan jenis. Hal itu sungguh menggelikan. Tentu saja, satu dua pemuda datang dan mencoba mengajak Rose bercakap. Biasanya Rose akan menjawab seperlunya sebelum memutuskan untuk meninggalkan pemuda tersebut. Keinginan untuk lenyap selalu ada; datang dalam diam, menyusup di saat Rose merasa lelah, dan kian hari keinginan untuk menghilang pun semakin kuat. Bertahan dan berusaha melawan segala pikiran buruk mulai menjamah benak. Rose berjuang dan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia layak mendapatkan tempat di dunia. Rose percaya, Luma, dewa kebijaksanaan, pasti memiliki rencana. Tak mungkin Rose tercipta tanpa suatu tujuan. Rose adalah salah satu dari sekian karya yang diciptakan sang pemilik kehidupan, hanya karena Rose terlahir dengan cara berbeda, itu tidak berarti dia harus hidup dengan aturan yang sama; sebuah aturan yang menyatakan bahwa manusia tanpa berkat termasuk dalam kumpulan manusia buangan. Tidak, Rose tak akan takluk pada rezim kebodohan. Semenjak awal penciptaan, para dewa dan dewi itu telah menasbihkan rahmat pada setiap makhluk yang berjalan di atas Lumios. Hanya karena Rose tak memiliki salah satu ciri khas dari kaum musim hangat, itu bukan berarti…. Tentu, mungkin inilah saatnya Rose belajar menerima kelemahan. Rose memandang hamparan bunga carnation. Satu dua kumbang menghampiri carnation, sementara kupu-kupu memilih terbang mengitari kumpulan mawar merah yang tertanam rapi di dekat kolam air mancur. Sendirian, duduk di bawah pohon, Rose merenung. Rose memejamkan mata. Dalam renungan, ia bisa mendengar; suara angin yang berembus pelan menerbangkan beberapa helai daun berwarna keemasan, cicit anak burung yang meminta makan, dan celoteh para murid. Lalu, Rose membuka mata. Ia menghela napas, lelah. Di pangkuannya, buku materi yang Rose pinjam masih dalam keadaan terbuka, tampak barisan tulisan yang meminta perhatian Rose. Apalagi yang Rose bisa lakukan selain belajar? Maka, Rose pun mulai membaca. Konsep kebebasan. Apakah kebebasan itu seperti burung yang terbang di angkasa? Atau itu hanyalah sekadar bentuk dari salah satu pikiran terdalam manusia? Jika memang kebebasan itu ada dan nyata, kemungkinan itu terjadi karena manusia sendiri yang menciptakannya. Ini sedikit mengusik pemikiran atau konsep mengenai relasi antarindividu. Misalnya, apakah ayam yang terlahir di dunia ini sebagai individu memang tercipta sebagai makhluk bebas? Jika memang ayam tercipta sebagai makhluk bebas, mungkin kita sebagai manusia tidak berhak mengambil kebebasan ayam dengan cara memanfaatkannya sebagai pangan. “Jika tidak menggunakan ayam, gandum, sapi, dan segala makhluk yang ada, maka manusia akan mati kelaparan.” Anekdot yang menggelikan. Jadi, benarkah kebebasan ada di dunia, atau hanya angan semu belaka? Kebebasan bersifat ganda. Bagi sebagian individu bebas bisa berarti “tidak terikat” atau “bisa melakukan sesuatu tanpa batasan”. Hal seperti itu apabila dibiarkan tanpa adanya pembatas, maka setiap orang akan berselisih karena merasa kebebasannya terusik. Setiap orang memiliki definisi perihal kebebasan, satu sama lain berbeda, dan hal ini hanya akan memperkeruh keadaan yang jelas-jelas tengah berada dalam lubang kekacauan. Terlebih manusia, makhluk dengan segala kelebihan dan kekurangan. Salah satu ciptaan yang mampu mengubah dataran hijau menjadi kerajaan tiran. Walau manusia dengan kekuatan sekecil apa pun ternyata memiliki kemampuan mengubah ekosistem semesta hanya dengan sebuah pemikiran. Inilah sisi yang paling menakutkan dari makhluk yang disebut sebagai manusia. Lalu, kebebasan yang selalu diidamkan oleh setiap makhluk. Kemungkinan ini hanyalah bentuk dari keinginan manusia yang tak pernah terwujud. Mereka berpikir bahwa kebebasan itu laksana langit biru nun jauh di sana; luas, dengan awan putih yang menyertainya. Namun sesungguhnya semua makhluk terikat satu sama lain. Meski tidak terlihat, hal itu bisa dirasakan oleh yang bersangkutan. Ya, kita terikat satu sama lain. Tiada yang bisa menyangkal kenyataan ini, bahkan seorang pemikir ternama sekalipun. Dan kebebasan macam apa yang Rose inginkan? Kebebasan di mana Rose bisa bernapas tanpa takut pandangan menilai manusia lain? Kebebasan yang mengizinkan manusia tanpa berkat, seperti Rose, mendapatkan kesetaraan? Kebebasan yang tak bersyarat? Ada berbagai jenis kebebasan, Rose sama sekali tidak mengerti jenis kebebasan yang cocok untuknya. Rose perlu fokus pada tujuan utamanya: bekerja di perpustakaan utama. Tak masalah, di sana ia tak perlu bertatap muka dengan manusia-manusia tengik. Rose juga akan sangat menikmati waktu luangnya dengan membaca aneka koleksi buku. Dengan begitu Agatha dan Abel akan langsung menyeret Rose ke altar pernikahan, berpikir bahwa sosok suami akan memulihkan kewarasan Rose. Nah, yang satu itu jelas menakutkan. “Rose,” panggil Noa. Pemuda itu mengenakan celana hitam dan kemeja putih; kedua lengannya digulung hingga siku dan satu dua kancingnya terbuka. Bintik-bintik keringat bermunculan di kening dan pelipis Noa, tampaknya pemuda itu baru saja melakukan latihan. “Aku mencarimu.” Kedua alis Rose bertaut. “Benarkah?” katanya, sarkatis. Menggelengkan kepala, Noa langsung duduk di dekat Rose, tak peduli dengan raut jengkel yang ditunjukkan Rose. “Rose, benarkah kau ini warga musim hangat?” “Menurutmu?” “Menurutku,” jawab Noa, “kau ini titisan kaum musim dingin.” Jengah, Rose pun berniat meninggalkan Noa, namun belum sempat Rose bangkit, Noa menarik tangan Rose hingga gadis itu kembali terduduk. “Noa!” seru Rose. “Kenapa kau ingin melarikan diri?” Hening, Rose mengulum senyum. Sebisa mungkin Rose menahan dorongan untuk membentak Noa. “Aku? Melarikan diri? Dari siapa?” “Dariku,” jawab Noa, telak. “Tak seharusnya kau berada terlalu dekat denganku,” Rose menjelaskan. “Kenapa?” “Karena kau akan dijauhi. Ditinggalkan. Dilupakan.” Noa meraih tangan Rose dan menggenggamnya. “Aku tidak peduli,” katanya, mantap. “Asal kau ada di sisiku.” Rose berusaha menarik tangannya dari genggaman Noa. “Ya, aku akan sangat senang menciptakan neraka. Silakan coba.” “Rose, jangan pernah menantang seorang pria.” “Umurmu baru sembilan belas tahun!” “Aku tetap seorang pria,” ucap Noa, kukuh. “Ayolah, Bibi Agatha sepertinya menyukaiku.” Rose memutar mata. “Dia hanya menyukai Paman Pablo dan Bibi Estela.” Jemari Noa kini menyelubungi tangan Rose. Dengan lirih Noa pun berucap, “Kenapa kau senang menyakiti dirimu sendiri? Tidakkah hidup terlalu indah untuk disia-siakan?” Menggigit bibir, Rose merasa resah. “Noa, aku berbeda.” “Karena kau tidak memiliki berkat apa pun?” Rose menggeleng. “Bukan hanya itu.” “Rose, aku tak peduli dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka boleh berucap apa pun mengenaimu, aku tak peduli. Tak penting apa yang mereka pikirkan mengenaimu, hal yang harus kauperhatikan adalah aku, bukan yang lain.” “Aku tak mengerti.” Noa menghela napas, perlahan melepaskan tangan Rose. “Ternyata kepandaianmu hanya bisa digunakan di bidang akademik.” “Apa maksudmu?” “Sudahlah, aku tak ingin menjelaskannya.” Rose pun tidak memaksa Noa, sudah cukup bagi Rose asalkan ia bisa bersama Noa menikmati hening tanpa perlu cemas penilaian orang lain. Gadis itu hanya memiliki segelintir orang yang ia sayangi. Agatha, Abel, dan Noa. Selain mereka, Rose tak memiliki siapa pun. Terlebih orangtua Rose telah pergi ke tempat yang sangat jauh. “Rose, kau akan datang ke festival, bukan?” “Tentu.” “Aku harap burung api akan mendatangiku.” “Cih,” Rose berdecak kesal. “Mereka akan langsung mematukmu.” Noa mengabaikan ejekan Rose. Pemuda itu memandang hamparan carnation. “Ibu berkata bahwa burung-burung itu adalah penjelmaan Agnis. Kau tahu, ‘kan, maksudku bisa saja aku termasuk orang-orang terpilih.” “Noa, orang-orang terpilih selalu bernasib buruk.” “Itu menurutmu,” Noa menyangkal. “Terserah.” Setelah itu baik Rose maupun Noa tak berkata apa pun. Mereka hanya diam dan menikmati tarian kupu-kupu. Andai mereka tahu, ini adalah kedamaian terakhir yang bisa mereka nikmati bersama. *** Ruang arsip istana dipenuhi tumpukan buku dan kertas. Agatha berusaha memilah catatan pajak dari inventaris istana. Wanita itu andal dalam bidang tersebut—tugas yang berhubungan dengan data dan materi keuangan. Gaun hijau Agatha terlihat mencolok di dalam ruangan yang bernuansa putih dan cokelat. Mudah bagi para menteri, segala tugas diselesaikan oleh Agatha, dan lihatlah siapa yang mendapatkan pujian dari raja? “Agatha,” panggil Pablo, pria yang bekerja di perpajakan, sama halnya dengan Agatha. “Tampaknya bangsawan yang tinggal di dekat pertanian belum memberikan laporan harta.” “Itu urusanmu,” balas Agatha, kedua matanya menyisir barisan data. “Sudah kubilang, mereka menyebalkan.” “Tak semenyebalkan para menteri.” “Apakah Noa akan mengajak Rose?” tanya Agatha, sama sekali tak peduli dengan keluhan Pablo. Mengabaikan tumpukan buku pajak, Pablo menatap Agatha yang masih kukuh dengan data pajak. “Aku kira Rose tak ingin pergi ke sana.” “Dia harus pergi.” “Agatha, jangan memaksa.” “Percayalah,” Agatha menyakinkan. “Anak itu perlu bersentuhan dengan dunia luar.” Kerutan menghias kening Pablo. Pria itu mencoba menafsirkan ucapan Agatha. “Kudengar kerajaan musim dingin akan turut serta dalam festival, benarkah?” “Agatha, orang-orang musim dingin hanya menghormati tradisi lama. Kau tahulah, penciptaan, Luma, Agnis, Ise. Mungkin Rose bisa menjelaskan sejarah Lumios jauh lebih baik dariku.” Pembicaraan Agatha dan Pablo terhenti ketika seorang pemuda kurus dengan topi hitam mendatangi ruangan pajak. Ia membawa tumpukan buku, kedua tangannya tampak kesulitan menjaga benda-benda tersebut agar tidak jatuh berserakan. “Tuan,” kata si pemuda. “Bagian administrasi memintaku mengantarkan ini kepada kalian.” “Pablo, aku rasa itu bagianmu.” *** Dalam setiap kehidupan. Aku selalu melihat duri yang tersemat di antara bebungaan. Duri melukai ujung jemariku. Lalu, aku pun tahu bahwa kecantikan tak akan pernah tersentuh tangan-tangan jahilku. Tapi sungguh, segala yang indah tercipta untuk merayuku. Ia adalah iblis yang menyusup di setiap mimpiku. Bibirnya berbisik dusta. Dan dalam setiap kecupan yang ia berikan, aku merasakan separuh jiwaku telah lenyap bersama prahara. Aku tak peduli. Walau ia memberiku racun. Walau ia memintaku turun ke dasar neraka. Aku akan tetap memilihnya. Karena ialah aku tahu bahwa dunia tak ubahnya cawan madu berisi kepalsuan. “Tidakkah puisi ini sangat cocok untukku, Sacha?” Sacha duduk di pinggir jendela. Senyum terpeta di wajahnya, pria itu tak menjawab pertanyaan kakaknya. Sang pangeran memeperhatikan Tiago yang duduk di kursi jati, sibuk membuka satu per satu lembaran buku puisi. “Aku rasa,” kata Tiago. “Definisi puisi ini menggambarkan seorang gadis, bukan begitu?” “Tiago, iblis lebih cocok untukmu,” kata Sacha menyarankan. “Ah, kau iri.” Sacha menggeleng, mengabaikan sindiran Tiago. “Sebentar lagi festival Agnis. Apa kau akan datang ke sana?” “Tentu,” sahut Tiago. “Aku berharap Putri Bella merupakan pasangan hidupku.” “Bagaimana bila pasanganmu bukanlah Putri Bella?” Mengetuk dagu, Tiago pun menjawab, “Tidak masalah, selama ia menarik.” “Tiago, tidak semua gadis tertarik padamu.” “Maka,” kata Tiago menyimpulkan, “aku hanya perlu menaklukkannya.” Bangkit, Sacha memilih meninggalkan kakaknya seorang diri. Ia bahkan tak menoleh untuk melihat cengiran Tiago. Sang pangeran tak peduli dan memilih melenggang ke koridor utara. Tiago bisa menangkap keengganan Sacha untuk bercakap bersamanya. Adik yang tak pernah sejalan dengannya, Tiago butuh kesabaran seluas samudra untuk menghadapi Sacha. Padahal, dahulu Sacha tidak seperti…. Miris, segalanya berubah saat Tiago dan Sacha menginjak usia dewasa. 23 tahun, dalam kurun waktu tersebut, segala hal yang berkaitan dengan persahabatan mulai luntur. Tidak ada pertalian saudara, yang ada hanyalah kepentingan. Hubungan semacam ini wajar, Tiago berusaha menyesuaikan diri; saat Tiago harus tersenyum walau ia sebenarnya membenci tamu yang datang, ketika Tiago harus mencium punggung tangan Selir Ana walau Tiago tahu bahwa perempuan itu membencinya, lalu segala hal yang membutuhkan sedikit bumbu kepalsuan. Tiago adalah pemain yang andal. Dia memiliki beragam topeng untuk dikenakan ketika bercakap dengan seseorang. Dan mungkin, ia harus mengenakan topeng kepalsuan itu untuk selamanya. Sungguh, sandiwara tak hanya terjadi di panggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD