BAB 15 - Dokter Yang (Berusaha) Profesional

928 Words
"Saya adalah dokter yang ditunjuk sebagai pengganti Dokter Heri. Saya juga seorang spesialis jantung anak yang bisa dibilang cukup kompeten. Fiona sendiri, adalah pasien yang sebelumnya pernah saya tangani. Sebenarnya, apa masalahnya?" Yiven berbicara dengan tenang, namun setiap kata-katanya adalah palu yang menghantam pertahanan Nayla. "Atau... Anda mungkin punya alasan khusus, untuk menolak?" Yiven menatap wajah pucat Nayla, yang anehnya membuatnya berpikir jelas, bahwa Nayla punya alasan khusus untuk menghindarinya. Dan ia ingin tahu alasan itu. Yiven mengepalkan tangannya di samping tubuhnya. Rasa penasaran akan kemiripan wajahnya dengan Maria yang sudah tiada, seolah membangkitkan lagi residu kesedihan atau obsesi Yiven. Dan demi kedamaian pikirannya, ia harus menumpas habis rasa penasaran itu! "Ini bukan masalah kompetensi, Dokter Yiven Mahendra," jawab Nayla, suaranya berusaha keras agar terdengar netral, namun terdengar gemetar. "Saya hanya... lebih nyaman dengan dokter yang sudah saya kenal. Dan setahu saya, itu adalah hak wali pasien, dokter. Anda tidak berhak ikut campur." Yiven melangkah satu langkah lebih dekat. Nayla mundur satu langkah, hampir tersandung tasnya sendiri. Jarak mereka kini hanya menyisakan beberapa inci. Nayla bisa mencium aroma cologne mahal Yiven yang bercampur dengan bau antiseptik rumah sakit. Aromanya maskulin, menyenangkan, dan sayangnya, familiar. "Apakah anda rela mengorbankan kesehatan putri berharga anda, repot mencari dokter pengganti kesana kemari, hanya demi kenyamanan yang tidak menjamin hasil lebih baik?" Yiven menampilkan senyum dingin sebelum melanjutkan kalimatnya. "Saya akan pastikan Anda mendapatkan pelayanan terbaik. Saat ini, kesehatan pasien adalah prioritas saya," Yiven menekankan kata prioritas, yang membuat Nayla merasakan dirinya didorong ke sudut, tidak ada jalan keluar. Ia bisa melihat Suster Rika yang mengangguk-angguk memohon padanya untuk setuju. Ia melihat Fiona yang kelelahan. Nayla terdiam di tempatnya, menelan kembali semua sanggahan yang sudah berada di ujung lidah. Ia tahu betul, jika ia berdebat di sini, keributan akan memanjang, mengganggu pasien lain, dan ia hanya akan membuang waktu berharga semua orang. Yang utama, ia takut keributan itu akan menarik perhatian Yiven, memberinya celah untuk menyentuh tabir identitas yang selama ini ia jaga rapat. Nayla tidak ingin Yiven menemukan bahwa Nayla Jeneva adalah topeng dari Maria Christie. "Baiklah," putus Nayla, suaranya terdengar datar dan dingin. "Tapi pastikan Anda melakukan pekerjaan Anda dengan profesional, Dokter." Bibir Yiven melengkung tipis, membentuk senyum kemenangan yang tersembunyi, secepat kilatan petir yang hanya bisa dilihat oleh Nayla. Itu adalah senyum seorang pemenang, seorang pemburu yang berhasil menjebak mangsanya di ruang tertutup. Nayla tahu, ia telah kalah di putaran pertama ini. "Tentu saja, Nyonya Nayla. Itu adalah tugas saya," jawab Yiven, nadanya kini kembali normal, profesional, meski matanya masih menyimpan sedikit binar kepuasan yang membuat Nayla semakin muak. "Mari, silahkan," kata Yiven. Ia mempersilahkan Nayla dan Fiona untuk masuk terlebih dahulu ke ruang praktek. Nayla menghela napas yang terasa berat seperti beban berton-ton. Ia menunduk pada Fiona. "Ayo, Sayang," katanya lembut. Ia mengambil tasnya, berjalan melewati Yiven. Nayla dapat merasakan tatapan Yiven yang menempel di punggungnya. Nayla tahu, dengan melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu, ia bukan hanya memasuki ruang konsultasi, tetapi ia memasuki babak baru dari permainan takdir yang paling ingin ia hindari. ........................... Ruang praktik Yiven terasa steril dan dingin, mencerminkan kepribadiannya yang terstruktur. Nayla duduk di kursi berlapis kulit di hadapan meja kerja Yiven, sementara Fiona didudukkan di atas brankar pemeriksaan. Nayla sengaja mengambil jarak, membuang pandangannya ke jendela. Ia berusaha keras menampilkan aura acuh tak acuh, seolah-olah ia sedang menunggu seorang teknisi memperbaiki mesin, menghindari bertatapan mata dengan Yiven. Nayla berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap tenang, walau dari mata Nayla yang bergerak gelisah, tampak jelas badai yang ia tahan di balik tembok es itu. Di sisi lain meja, Yiven mengambil stetoskop, berusaha memfokuskan pikirannya pada detak jantung kecil di depannya. Ia harus profesional. Tapi, upaya itu terasa sia-sia. Pandangannya tak henti-hentinya mencuri momen, melirik ke arah Nayla. Wajah Nayla terlihat begitu cantik, bahkan dalam ekspresi lelah dan tertutup sekalipun. Hari ini, Nayla mengenakan pakaian yang kembali tertutup. Lengan panjang, rok panjang, dan syal tipis yang melingkari lehernya, seolah-olah berusaha menyembunyikan setiap inci kulitnya dari pandangan semua orang. Pakaian itu, style yang mirip dengan style yang selalu dikenakan Maria, terasa begitu familiar dan menyakitkan bagi Yiven. Yiven menghela napas dalam, lalu memaksakan fokusnya pada pasien kecilnya. Fiona, tanpa rasa takut sedikit pun, justru menyambut pemeriksaan itu dengan ceria. Ia tersenyum cerah, menatap Yiven dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Wajah anak ini sangat familiar. Yiven bergidik. Bukan hanya Nayla yang mirip Maria. Fakta itu sudah ia terima sebagai takdir atau lelucon semesta. Tapi, wajah kecil Fiona, kerlingan matanya saat ia menatap stetoskop, cara ia menggerakkan alisnya—semuanya terasa seperti melihat kloningan miniatur dirinya sendiri, di hadapan cermin yang keruh. Yiven menggelengkan kepala. Tidak mungkin. Itu hanyalah ilusi yang diciptakan oleh rasa bersalah dan kerinduan bawah sadar. Maria telah tiada enam tahun lalu. Nayla adalah Nayla, seorang ibu dari pasien, yang kebetulan ia temui. Walaupun mata Nayla yang menatapnya dengan ketakutan dan kerisihan tak tersembunyi, selalu membuatnya resah dan penasaran. Yiven kembali teringat bagaimana Nayla berusaha menghindarinya, kekecewaannya saat tahu Yivenlah pengganti Dokter Heri, dan upayanya untuk mencari dokter lain. Sikap Nayla ini, sikap yang begitu dingin dan menjaga jarak, seolah-olah Yiven adalah wabah yang harus dihindari, begitu memberati otak Yiven dengan ratusan pertanyaan. Memang Yiven mengakui tingkahnya yang aneh dan bahkan terkesan gila, di pertemuan pertama mereka. Bagaimana tidak? Ia memeluk wanita asing yang sangat mirip dengan Maria, hanya karena emosi sesaat! Pantas saja kalau Nayla meliriknya curiga dan terkesan tidak suka padanya. Benar... Itu wajar.... Tiba-tiba, suara tawa ceria Fiona menarik Yiven keluar dari pusaran pikiran gelapnya. Yiven menoleh dan mendapati wajah anak itu yang sedang menatapnya dengan mimik curiga. ...........................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD