PROLOG - CUPLIKAN ISI NOVEL
Kata-kata Yiven, "Ingat, Nayla... Kau lah yang mau, dan memaksaku," bukan hanya gema, melainkan palu yang menghantam dan memecahkan keheningan koridor hotel yang sunyi itu. Kalimat itu membebaskan Yiven dari segenap beban moral yang membelenggunya dan merobek semua topeng yang dikenakan Nayla.
Begitu ciuman panas Yiven mendarat, Nayla tahu, pertahanan terakhirnya runtuh. Ini adalah pertarungan hasrat dan penyesalan yang tertunda—sebuah api yang telah dipendam selama enam tahun.
Yiven mendesak tubuh Nayla ke dinding koridor. Tangan besarnya merangkul pinggang Nayla dengan kekuatan yang dipicu oleh kobaran api di dalam dirinya. Nayla tidak melawan; ia justru menyambut ciuman itu, membalasnya dengan intensitas yang sama. Itu bukan hanya ciuman; itu adalah sebuah pengakuan, sebuah luapan emosi yang tak terucapkan.
Dalam gerakan yang penuh nafsu sekaligus keputusasaan, Nayla merogoh saku piyamanya, menarik kunci kartu. Pintu kamar hotelnya terbuka, dan Yiven segera mendorongnya masuk ke tempat ia bisa memuja Nayla sesuka hati.
Di dalam kamar yang temaram, Yiven melepaskan ciuman sejenak. Matanya menatap Nayla, penuh peringatan, amarah, dan hasrat yang membara. Jari-jarinya mulai membuka satu per satu kancing kemeja linennya yang basah oleh keringat, tanpa memutuskan kontak mata. Mereka bertukar pandangan yang sarat janji dan bahaya.
"Kau akan menyesal, Nayla," ujar Yiven, suaranya dalam dan serak—sebuah janji sekaligus ancaman akan kehancuran yang mereka sepakati.
Nayla memejamkan matanya, mengumpulkan semua keberanian. Ketika ia menatap Yiven lagi, sorot matanya adalah campuran tekad dan kepasrahan. Tekad untuk menyelamatkan Yiven, namun di saat yang sama, kepasrahan untuk menghancurkan dirinya sendiri.
"Lakukan," jawabnya, hanya satu kata, izin mutlak bagi badai untuk datang.
Yiven menyunggingkan senyum tipis, senyum yang mengerikan sekaligus menggairahkan. Dalam hitungan detik, ia mengangkat Nayla, menggendongnya ke tempat tidur. Gerakannya cepat, didorong oleh kerinduan yang telah menjadi racun. Kancing baju katun Nayla terlepas, bahkan kain penutup itu sedikit robek saking tergesa-gesa. Ciumannya kembali mendarat di bibir Nayla, merangkulnya seolah ingin mencuri napas terakhirnya.
Di bawah sentuhan Yiven, Nayla merasa ditelanjangi bukan hanya fisiknya, melainkan juga jiwanya. Sentuhan Yiven, bak melodi senyap, mengalun membanjiri Nayla dalam pusaran gairah yang memberontak. Sensasi itu merayap, menjelajahi batas-batas kesadarannya, memantik hening panjang yang hanya terpecah oleh desahan lirih.
Malam itu terus berlalu dalam kobaran api hasrat yang menghanguskan. Satu detik demi satu detik, Yiven membalaskan semua kerinduan, amarah, dan rasa bersalah yang ia rasakan. Nayla menerima segalanya sepanjang malam, hingga membuatnya jatuh pingsan dalam pelukan Yiven, di tengah badai gairah yang tak tertahankan.
Takdir yang telah menghancurkan mereka, kini membawa mereka melewati malam yang panas dalam kamar hotel mewah di pusat kota Bali. Takdir terkutuk. Takdir yang seharusnya tidak pernah mempertemukan mereka berdua lagi.
...............................