BAB 1 - Kata-Kata Yang Membunuh

1375 Words
Maria Christie mengeluarkan ponsel dari tas tangannya tanpa semangat. Kemudian ia menyentuh layar ponsel itu pada nama yang seharian ini terus ia coba hubungi, walaupun jawaban yang sama terus terdengar. "Nomor yang Anda hubungi, sedang tidak aktif." Maria mendesah sambil menempelkan ponsel itu ke salah satu telinganya. Berharap ada sedikit pun suara selain suara operator yang menyahut. Beberapa saat kemudian, jantungnya langsung berdebar kencang saat panggilannya terhubung dengan si pemilik nama. Akhirnya! Tiga detik! Debar itu terbunuh dan digantikan cekikan rasa dingin saat lagi-lagi operator mengatakan bahwa nomor itu tidak aktif. Ah. Lagi-lagi nomor kekasihnya itu tidak bisa dihubungi. Maria akhirnya menyerah dan menatap kosong ke gedung fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang ada dihadapannya. Detik berlalu. Maria tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana, sampai saat matanya melirik jam tangan di pergelangan kanannya, dia langsung berdecak cemas. Jam 9 tepat. Maria merapikan poni rambutnya sambil menatap sekeliling lalu mendesah untuk kesekian kalinya. Gelisah. Ini adalah hari jadi ke tiga mereka, setelah tiga tahun berkencan. Namun tidak ada ucapan selamat, bahkan dalam bentuk sebuah pesan singkat yang mampir ke ponselnya hari ini. Kado? Pelukan atau kecupan hangat? Ia bahkan sama sekali tidak mengharapkannya. Ia hanya berharap kekasihnya yang tidak bisa dihubungi baik-baik saja. Kekasihnya, Yiven Mahendra, adalah senior jurusan kedokteran yang tiga tahun berada di atasnya. Dulu, walaupun berbeda fakultas dengannya, Yiven selalu bisa menyempatkan waktunya bertemu Maria setiap hari. Namun setelah lulus sarjana kedokteran, dan mulai koas di rumah sakit terdekat setahun lalu, Yiven menjadi sulit ditemui karena sibuknya program koas itu. Sehingga mereka hanya dapat bertemu di sela-sela libur Yiven seperti hari ini. Maria mengatupkan jaket karena hawa dingin yang menghantam. Salah satu tangannya menggenggam erat kado kecil yang sudah ia bungkus rapi dalam kotak transparan kecil yang ia beri pita merah, tadi pagi sekali. Sebuah testpack dengan dua garis positif di atasnya. Ia yakin kekasihnya akan sangat kaget melihat kado yang dibawanya. Umur mereka memang masih terbilang sangat muda saat ini untuk menjadi ‘orang tua’. Maria gugup. Tak bisa membayangkan bagaimana reaksi kekasihnya saat melihat kado ini. Apakah ia akan senang? Apakah ia akan menerimanya? Atau.. Maria bergidik membayangkan kemungkinan terburuk. Tidak. Tidak mungkin. Walaupun kekasihnya dingin, ia bukan orang yang akan melakukan tindakan tidak bertanggung jawab. Terlebih saat mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Maria memberanikan dirinya melangkah memasuki gedung di hadapannya setelah hanyut dalam pikirannya beberapa saat. Ia melintasi banyak koridor dan anak tangga menuju lantai tiga, tempat di mana kelas kekasihnya, Yiven Mahendra, berada. Tak lama setelah sampai di lantai tiga, Maria mengintip koridor sejenak dari undakan tangga teratas. Sepi. Tentu saja. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Dan kegiatan belajar mengajar sudah berakhir lebih dari lima jam yang lalu. Saat sampai di depan kelas Yiven, Maria mengintip jendela kecil di pintu yang memerlihatkan keadaan kelas. Kelas pun sama sepinya. Tidak ada seorang pun berada di sana, kecuali Yiven Mahendra. Yiven berdiri diam di sudut kelas sambil bersandar pada satu-satunya jendela besar yang ada di ruangan itu. Mata Maria berbinar melihat kekasihnya yang ia nanti sedari tadi. Sembari memantapkan hati, Maria memutar gagang pintu, mendorongnya, dan berjalan menuju Yiven. “Yiven?” Yiven menoleh singkat, tapi tak menjawab. Ia malah memandang keluar jendela. Maria melangkah mendekat sehingga hanya tersisa beberapa langkah dari tempat Maria berdiri, yang membuatnya dapat mencium bau alkohol yang sangat kuat yang berasal dari tubuh besar di hadapannya. Yiven minum alkohol? Bukannya Yiven hampir tidak pernah minum alkohol, selama ini? Maria membuka mulutnya sejenak, lalu menutupnya lagi, saat melihat wajah beku tanpa ekspresi Yiven. Demi melihat wajah Yiven yang pucat pasi dan terlihat lelah, membuat semua rasa penasaran, juga kecemasan akan kabar kehamilannya yang ia rasakan sejak kemarin pagi, menghilang begitu saja. “Kau sakit?” Maria mengakhiri kalimat tanyanya dengan menghampiri Yiven dan menyentuh dahi pria itu. Tapi hanya beberapa detik sampai Yiven menepis tangannya. Maria menatap bingung. “Aku baik–baik saja.” Sahut pria itu singkat, kemudian merogoh saku untuk mencari rokok. Setelah mendapatkan sebatang rokok, ia memantik korek sehingga batang itu menyala. Menambah penerangan di ruangan redup itu sambil tetap menatap keluar jendela. “Tubuhmu panas.” ujar Maria lagi, membuat Yiven menoleh. “Apa pedulimu?” tanya Yiven datar, yang spontan membuat Maria melebarkan mata dan terdiam. “Tapi... Kau sakit.” Ujar Maria akhirnya saat berhasil menemukan suaranya kembali sambil mengamati setiap inci wajah pria di hadapannya. Ia tidak tahu hal buruk apa sudah menimpanya sampai membuat Yiven menjadi dingin seperti ini. Memang Yiven bukan tipe orang yang ramah. Tapi ia terasa lebih dingin dari biasanya. “Kau kenapa? Apa terjadi sesuatu denganmu?” Yiven menghembuskan asap putih panjang dari mulutnya. Detik berikutnya, ia menjatuhkan rokok yang masih panjang itu ke lantai, lalu menginjak rokok yang masih menyala itu dengan sepatunya. Selama beberapa saat Yiven hanya menatap kedua mata Maria lurus-lurus dengan pandangan kosong. Lalu turun ke bibir merah ranum Maria. Kemudian, lebih cepat dari gerak tercepat kesadaran Maria mampu mencerna, Yiven maju dan menautkan bibirnya ke bibir Maria dengan sangat kasar. Hisapan demi hisapan, gigitan demi gigitan terasa menyakitkan bagi Maria. Maria yang kesakitan, mencoba mendorong d*da tegap Yiven yang seperti batu kokoh. Namun Maria tetap tidak bisa bergerak karena Yiven sedang meraihnya dengan seluruh jangkauan kedua lengan. Rasa getir darah terasa jelas dalam ciuman yang dalam itu. Saat Yiven kemudian melepaskan ciumannya, membuka paksa jaket jeans Maria, dan melemparnya ke lantai, Yiven sedikit teralihkan saat mendengar dentuman benda kecil yang terjatuh keluar dari saku jaket Maria. Matanya menyipit melihat benda itu. Kotak transparan berisi testpack yang dihiasi pita pink. Yang bahkan orang bodoh bisa memahami maksud dua garis yang ada di testpack itu. “Apa itu?” Maria tersenyum malu-malu. Ia cepat-cepat memungut kotak itu di lantai tanpa menatap Yiven. Padahal jika Maria menyempatkan diri mengamati wajah Yiven, ia akan melihat mata yang menyulut tajam dengan kobaran amarah yang sama sekali tidak bisa dijelaskan. “Anak kita, Yiven.” Jawab Maria sambil mengusap pelan perutnya kemudian mendongak menatap Yiven. Baru saat itu ia menyadari perubahan di wajah Yiven. Yiven hanya terdiam dengan wajah yang sulit diartikan. Seakan-akan sosok Maria adalah satu-satunya realitas yang ia lihat di tengah kekosongan ruang itu. Bahkan setelah beberapa saat Maria berdiri gugup di depannya, Yiven masih membatu, sampai-sampai Maria merasa Yiven bukan sosok yang nyata, dan menyeretnya dalam ketidakmengertian akan ekspresi asing itu. Namun… Maria memilih menunggu dalam diam. Keheningan Yiven terus berlalu sampai akhirnya laki-laki itu membuka bibirnya dan berujar dengan nada tajam. “Bagaimana bisa aku tahu kalau anak itu memang darah dagingku? Apa aku gila, mau menerimamu, seorang anak pel*cur yang pasti sudah disentuh banyak lelaki?!” Maria yang sudah gelisah menghadapi keheningan Yiven, tiba-tiba tersentak saat mendengar kalimat laki-laki itu. Terlebih pada dua kata yang Yiven tekankan. Anak pel*cur… Dua kata itu, membuat Maria tidak dapat mendengar kata apapun lagi yang Yiven ucapkan setelahnya. Telinganya berdengung hebat, seolah dua kata terkutuk itu terus terulang di telinganya seperti kaset rusak. Dari ratusan orang di kampus, yang mengenal, menghakimi, serta mem-bully-nya, sebagai anak pel*cur, Yiven adalah satu-satunya orang yang selama ini ia yakini menerimanya tanpa peduli akan asal usulnya itu. Setidaknya sampai ia mendengar dua kata itu keluar dari bibir Yiven beberapa menit lalu. D*danya menyesak, napasnya tercekik. Ia berharap semua ini hanya mimpi yang akan segera hilang saat ia mengerjapkan mata. Namun, kesadaran menamparnya. Dunianya yang selama ini hanya tentang Yiven dan Yiven seorang, luluh lantak di bawah kakinya, seolah tersedot ke dalam pasir hisap. Tanpa Maria sadari, ia sudah berlari keluar gedung kampus. Dinginnya angin malam tak terasa di kaki dan tangannya yang telanjang. Mati rasa. Dua buah sepatunya terlepas entah di anak tangga mana, saat ia tertatih-tatih menuruni tangga dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Mata besarnya memandang kosong jalanan besar di depan kampus. Pita-pita cahaya dingin dari ratusan lampu kendaraan yang berseliweran mengabur menjadi siluet cahaya raksasa yang indah. Ia mulai terisak. Rasa sakit di d*danya kian menusuk, nyaris tak tertahankan. Apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan rasa sakit ini? Perlukah ia menghantamkan diri di salah satu mobil yang melaju kencang di sana? Bukankah hantaman keras itu akan membunuh seluruh saraf dan persendiannya? Bukankah itu akan menghentikan denyut pedih di ulu hatinya? Hanya butuh satu kali dorongan saja. Sedikit dorongan. Dan rasa sakit ini tidak akan lagi aku rasakan. ............................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD