BAB 3 - Di Balik Jubah Dokter

790 Words
Maria duduk kaku di kursi tunggu rumah sakit. Aroma antiseptik dan cairan infus menguap di udara, menciptakan suasana steril yang dingin, mengingatkannya pada malam-malam tanpa tidur saat Fiona dirawat intensif usai dilahirkan prematur. Perasaan tegang dan bersalah seolah menjadi bagian permanen dari kunjungannya ke tempat ini. Ia menatap Fiona yang kini tertidur pulas di pangkuannya. Putrinya terlihat damai, tidak seperti Maria yang jiwanya terkoyak. Penyakit jantung bawaan Fiona adalah bekas luka terburuk baginya, sebuah hukuman yang tak terucapkan atas kebodohan dan cinta butanya di masa lalu. Maria yakin, kondisi prematur Fiona adalah hasil langsung dari depresi dan tekanan luar biasa yang ia rasakan setelah penghinaan Yiven enam tahun lalu. Jika saja ia kuat, jika saja ia tidak menangisi pria b*jingan itu, mungkin Fiona akan lahir sempurna. Maria memejamkan mata sejenak, mencoba mendorong ingatan akan hari ulang tahun yang berubah menjadi tragedi itu kembali ke sudut tergelam benaknya. Sudah enam tahun, tetapi rasa sakit dari kata-kata Yiven—anak pel*cur—masih terasa menusuk seperti ditusuk jarum es, menembus lapisan emosinya. Ia menghela napas panjang, membuka mata, dan kembali fokus pada denyut nadi kecil yang terasa di leher putrinya. Hanya Fiona. Hanya nyawa kecil ini yang penting. Sejak memutuskan hidup hanya untuk Fiona, Maria membangun dinding tak terlihat di sekelilingnya, menolak segala bentuk kebahagiaan atau keterikatan yang bisa berpotensi menghancurkannya lagi. Ia adalah seorang ibu tunggal yang hidup dalam mode bertahan—sekuat tenaga menafkahi anaknya, sekuat tenaga menolak bayangan masa lalunya. Sebuah gerakan di hadapannya menarik Maria kembali ke masa kini. Seorang perawat, dengan senyum ramah yang kontras dengan suasana rumah sakit, berdiri di depan kursi tunggu Maria. “Nyonya Maria?” sapa perawat itu. Maria segera menegakkan punggung. “Ya, saya. Ada apa, Suster?” “Nyonya, ada sedikit perubahan jadwal mendadak,” ujar perawat itu, nadanya menenangkan. “Saya baru saja mendapat kabar, jadwal praktik Dokter Heri dibatalkan karena ada operasi jantung darurat.” "Apa katamu, suster?" tanya Maria panik. Ia tidak bisa menyembunyikan nada cemas. Dokter Heri adalah dokter anak spesialis jantung yang sudah menangani Fiona sejak lama, dan Maria sudah menaruh kepercayaan penuh. Perawat itu mengangguk membenarkan. “Dokter Heri meminta dokter lain untuk menggantikannya hari ini. Beliau mendadak dipanggil ke ruang operasi. Jadi Ibu Maria jangan khawatir. Walaupun dokter yang menggantikan ini masih terbilang muda, tapi beliau adalah dokter yang sangat kompeten, lulusan terbaik, dan sudah terbukti sangat cakap dalam memeriksa pasien. Ibu pasti akan merasa nyaman dengan penanganan beliau.” Maria mengatupkan bibirnya. Dia tidak punya pilihan, tetapi kecemasan seorang ibu menggerogotinya. “Apakah dia... berpengalaman menangani kasus penyakit jantung bawaan lahir, Suster?” tanyanya pelan. “Tentu saja, Ibu. Beliau salah satu residen terbaik di sini. Sebentar lagi nama anak Ibu akan dipanggil,” tutup perawat itu dengan senyum meyakinkan, lalu berbalik pergi. Maria memeluk Fiona lebih erat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. “Atas nama Fiona Starla?” Suara perawat lain terdengar nyaring, memanggil nama anaknya. Panggilan itu seperti sebuah alarm yang merobek ketenangan buatan Maria. Maria tersenyum singkat pada perawat di hadapannya yang baru saja ia ajak bicara, lalu berusaha berdiri sambil menggendong Fiona yang terlelap dalam dekapan. Tubuh Maria yang kurus terlihat sedikit kerepotan, bahunya menopang beban putrinya—beban fisik dan emosional yang ia pikul sendiri selama enam tahun. Ia berjalan pelan menuju ruang praktik yang ditunjuk. Deg!!! Saat Maria mencapai ambang pintu, langkahnya terhenti secara total. Tubuhnya mendadak kaku, seolah membeku. Di depannya, dalam jarak pandang yang teramat dekat, duduk di kursi kerjanya, seorang laki-laki yang mengenakan jubah dokter yang bersih dan rapi. Laki-laki itu berparas tampan, dengan garis rahang yang lebih tajam dan tegas dari yang Maria ingat. Wajahnya yang dewasa telah banyak berubah, menghilangkan sisa-sisa wajah mahasiswa senior yang angkuh. Ia kini berkacamata bingkai tipis, menambahkan aura profesional yang dingin dan cerdas. Hidungnya yang tinggi tampak dominan, dan tubuhnya yang bugar berotot—yang tak bisa disembunyikan jubah dokter—menyiratkan kesuksesan yang tak terelakkan. Yiven terlihat serius memandang monitor komputer di depannya. Gerakannya efisien, profesional, dan penuh otoritas. Mata Maria melebar, pupilnya membesar. Napasnya tercekat, ia lupa bagaimana caranya bernapas, seolah paru-parunya tiba-tiba berhenti bekerja. Jantungnya berdebar begitu keras, bukan lagi karena kecemasan ibu, melainkan karena syok yang brutal. Rasanya organ itu hampir melompat keluar dari d*danya, memaksakan diri keluar dari relung yang selama ini ia kunci. Maria tidak bisa bergerak. Kakinya terpaku ke lantai marmer. Ia hanya mampu menatap lelaki di hadapannya dalam kebekuan, dalam keterpanaan yang total. Laki-laki yang sedang duduk itu, Yiven Mahendra, adalah sosok hantu masa lalunya yang telah menjelma menjadi sosok dokter jantung. Kebetulan, dokter jantung yang berada di ruangan tempat putrinya harus diperiksa. Maria menjerit tertahan dalam relung hatinya. Air mata panas mulai menggenang, kabur dengan kengerian dan kepedihan yang mematikan. Demi Tuhan... YIVEN?! ..............................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD