BAB 6

4974 Words
Hara mengajak Raiga dan yang lainnya untuk berkunjung ke tempat tinggalnya, tidak disangka, ternyata rumahnya begitu megah dan indah walaupun ada sedikit sampah di pinggiran, tapi itu tidak menutupi kemewahan dari tempat ini. Namun, entah kenapa, ketika Hara mengetuk pintu, tiba-tiba saja seorang lelaki langsung mendobrak pintu tersebut hingga patah mengenai Hara, dan yang lebih anehnya lagi, sang lelaki itu menyebut Hara sebagai seorang pelayannya. Lantas, apakah itu benar? *** "Aw! Aw! Aw!" Hara langsung melemparkan kepingan-kepingan pintu yang mengenai tubuhnya ke sembarang arah, setelah itu dia menatap lelaki yang barusan menghancurkan pintu rumah tersebut. "Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan!? Kenapa kau menendang pintu hingga hancur berkeping-keping, Gallow?" Gallow tersenyum, dia membungkukan badan terlebih dahulu. "Jangan menunjukkan sikap tak sopanmu padaku, wahai pelayanku, Hara Vity." "Pelayan kau bilang?" Hara mulai memerah, rasanya seluruh darahnya sudah naik ke ubun-ubunnya bagaikan kembang api yang meledak-ledak di langit. "Aku ini kakak kandungmu, bodoh!" Begitu ya, jadi Hara bukan pelayan di sini. Pikir Raiga dengan termenung. "Hm?" Gallow memasang muka meledek. "Jangan mempermalukanku, aku ini majikanmu, Hara Vity." Hara langsung masuk ke dalam rumah, melewati Gallow yang masih berdiri di sana. "Kalian semua, ayo ikuti aku! Jangan meladeni Adikku! Dia punya penyakit kejiwaan!" Mendengarnya Gallow langsung terkejut. Raiga, Yuna, Zapar dan Claudio menuruti perintah Hara, memasuki rumah tanpa menatap wajah Gallow. *** "Tapi kan dia Adikmu?" Setelah mereka semua dipersilakan masuk ke dalam kamar Hara, Yuna langsung berbicara kasar pada gadis berambut hitam itu dengan kesal. "Aku tidak peduli, dia itu memang bocah aneh, sudahlah, lupakan dia, sekarang aku ingin Tuan Claudio berdiri di belakangku." perintah Hara pada Claudio dengan raut muka malas. Mendengar itu, Claudio langsung mengangguk dan berdiri di belakang Hara. "Apa yang harus kulakukan di sini, Hara Vity?" "Pijat pundakku! Cepat!" Raiga benar-benar sudah tidak tahan melihat perlakuan Hara pada Malaikat Elit. "Hara, kurasa kau sudah keterlaluan," ucap Raiga dengan memasukkan tangannya ke saku celana, matanya menunjukkan amarah yang berkobar. "Berhentilah membuat Malaikat Elit terlihat rendah, kau seharusnya tahu itu, apa yang telah kau lakukan akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti, bodoh." "Akhirat kau bilang?" Hara menahan tawanya. "Setelah kupikir-pikir, kau lumayan juga, bagaimana kalau kau juga memijat kakiku, Tuan Raiga?" PLAK! Sebuah tamparan telah melukai pipi Hara hingga dia terempas ke samping, dan tidak ada yang menduganya kalau yang telah menampar gadis penggila anjing adalah Yuna. "Kau sudah kelewatan!" Yuna berdiri di hadapan Hara dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku akan membuatmu menyesal, manusia terkutuk!" "Manusia terkutuk kau bilang?" Hara kembali menatap ke depan, melihat wajah Yuna yang sudah berembun. "KELUAR KAU DARI KAMARKU, GADIS p*****r!" Raiga terbelalak, Zapar terkesiap, Claudio mengernyitkan alisnya heran dan Yuna terdiam dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Raiga, Zapar, aku sudah tidak tahan lagi, aku ingin pulang, bawa aku pulang." Yuna berkata hal itu dengan tersengguk-sengguk. Ruangan langsung hening, kesunyian menghantam mereka semua sampai akhirnya, ketukan pintu kamar terdengar. "Kenapa di dalam ribut sekali, wahai pelayanku, Hara Vity?" Rupanya itu Gallow. "Apakah kalian sedang main kuda-kudaan?" "DIAMLAH!" Hara langsung berteriak kencang. *** Sementara itu, di rumah Raiga, Felis sedang membaca buku resep makanan di ruang tamu, tapi dia tidak mendengar kalau ada seseorang yang menyelinap ke tempatnya, bergerak lambat mendekatinya. "Oh, ternyata mudah juga membuat sup awan, kalau begitu, nanti aku akan membuatnya untuk Raiga dan Fuuma!" ucap Felis dengan bahagia, tapi senyumannya langsung memudar seketika. "Tapi kan, Fuuma tidak pernah kembali ke sini, ya sudah, aku membuatnya hanya untuk putraku saja, Raiga." Felis menutup buku resep dan meletakannya di meja, setelah dia berdiri, sebuah suara lelaki langung membuatnya kaget. "Kenapa kau tidak membuatkannya untuk Fuuma?" Felis langsung menjawab, "Untuk apa? Dia sudah lupa padaku, bahkan sampai hari ini pun dia tidak per ... Hah? Siapa yang bertanya padaku ketika aku sendirian di rumah!?" Felis langsung berbalik badan. Betapa mengejutkan ketika Felis tahu kalau di belakangnya ada seorang lelaki berambut perak seperti Raiga sedang tersenyum padanya. Lelaki itu memakai sebuah jubah putih yang berkilauan, dia juga berkumis tebal. "FU-FU-FU-FUUMAAAAA!?" Felis langsung meloncat kepelukan suami tercintanya, Kuruga Fuuma Bolton. "Aku pulang, sayang." *** Kembali pada Raiga. Di kamar milik Hara, suasana mulai menegang. "Tuan Claudio, tolong, bawalah kami ke Neraka, kami sudah tidak bisa melakukan tugas itu, kami benar-benar menjadi sekelompok malaikat gagal, kami sudah siap untuk ke Neraka." ucap Raiga dengan menundukkan kepalanya. "Aku juga rela menerima hukuman itu, asalkan bersama kalian, kawan." kata Zapar dengan sedih. "Kami mengandalkan Anda, Tuan Claudio." ujar Yuna dengan mengusap air matanya. Mendengar itu, Hara tersenyum. "Tidak bisa begitu," ucap Hara dengan menyeringai. "Tuan Claudio kalian sudah menjadi milikku, kalian tidak bisa meminta apapun padanya." "Ini bukan urusanmu, Manusia!" Zapar sedikit emosi pada Hara. "Baiklah kalau itu yang kalian mau," Claudio bersuara membuat Raiga, Yuna, Zapar dan Hara menoleh padanya. "Aku akan mengirimkan kalian ke Neraka." Raiga menggigit bibirnya, Yuna memejamkan matanya, Zapar menarik napasnya mendengar perkataan Claudio. "Tapi tidak sekarang," lanjut Claudio dengan tersenyum. "Karena kalian telah menjadi malaikat seutuhnya." Hara terkejut mendengarnya. "Malaikat seutuhnya kau bilang?" Hara tidak percaya. "TAPI MEREKA ITU MALAIKAT GAGAL! MEREKA PANTAS UNTUK DIBUANG KE NERAKA!" "Menurutku tidak begitu," jawab Claudio dengan dingin. "Aku sudah mengamati mereka dari pertama kali mereka turun ke bumi, dan awalnya aku juga mencap mereka sebagai malaikat gagal, tapi, entah apapun itu, mereka masih punya sifat seorang malaikat, contohnya saat Raiga memberi keripik kentang pada Yuna yang sedang lapar, Zapar yang mau bersikap sopan ketika dia ditegur oleh Raiga di ruangan kereta, atau Yuna yang rela berbuat dosa hanya demi mendapatkan kuda untuk mencari teman-temannya." Raiga, Yuna dan Zapar terkejut mendengarnya. "APA KAU GILA!? ZAPAR JUGA PERNAH MENGEJAR GIMBA, ANJING KESAYANGANKU! DIA TELAH MELAKUKAN DOSA YANG FATAL!" "Tidak, itu karena kesalahan peliharaanmu sendiri yang menggigit kejantanan Zapar." balas Claudio dengan dingin. "Lupakan itu semua, walau kalian belum mampu membimbing manusia ke jalan yang benar tapi kalian telah melakukan hal-hal sepele yang terlihat indah, aku sebagai Malaikat Elit ke sepuluh meresmikan kalian untuk menjadi malaikat seutuhnya." Raiga menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Kau bercanda?" Yuna memekik. "KYAAA!" Zapar sedang mengingat ketika k*********a digigit oleh anjing. "Rasanya sakit sekali, kawan!" Setelah itu, Claudio memeluk Raiga, Yuna dan Zapar, kemudian membawa mereka kembali ke surga. *** Raiga telah kembali, kini dia sedang berada di depan pintu rumahnya, belum mengetuk pintu, dia masih tidak menyangka kalau akhirnya dia telah menjadi malaikat seutuhnya, dianugerahi dua sayap angsa putih yang lembut dan mahkota perak kecil. Penampilan Raiga sudah berbeda dengan sebelumnya. Aku masih malu untuk masuk ke dalam rumah. pikir Raiga. "Raiga? Kau sudah pulang?" Tapi, nyatanya Ibunya malah ada di belakangnya bersama Ayahnya, sepertinya mereka baru kembali dari pusat perbelanjaan, soalnya Felis membawa banyak plastik berisi makanan mentah. Perlahan-lahan, Raiga membalikkan badan, matanya membulat saat melihat sosok laki-laki yang ada di samping Ibunya. "Mama? Dan ... Pa-Papa?" Raiga langsung meneteskan air mata menyadari kalau papanya ada di hadapannya. "Ma! Pa! Aku Pulang!" Fuuma tersenyum dan memeluk Raiga. "Wah, Jagoan papa sudah besar ya?" Felis terkikik melihatnya. Wajah Raiga yang dulunya selalu terlihat murung, malas, dan tidak peduli pada apapun, kini sudah berubah menjadi sangat ceria. Kemudian, mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah dengan canda dan tawa yang menghiasi pagi hari ini. "Hah?" Suara kekagetan dari lelaki berambut putih membuat seisi kelas menoleh padanya. "Maksud Bapak, besok saya harus turun ke Bumi lagi?" Lelaki paruh baya yang memiliki kumis tebal dengan nickname Bravo di dadanya menganggukan kepala, mengiyakkan perkataan muridnya yang baru saja berkata. "Benar, Raiga," kata Pak Bravo dengan tegas di depan kelas. "Kau akan ditugaskan lagi untuk turun ke Bumi, tapi, kau ke sana tidak sendirian seperti kemarin-kemarin." Seisi kelas terkejut, Raiga mendengarnya hanya menghela napas letih, lagi-lagi, sebuah tugas memaksanya untuk turun ke Bumi, padahal baru sebulan yang lalu dia telah menyelesaikan tugas sebelumnya, dan sekarang, ada tugas baru lagi. "Jadi, dengan siapa aku bertugas kali ini?" tanya Raiga dari bangkunya dengan memasang wajah datar, lelaki itu memiliki sifat tak peduli dan agak pemalas, karena itulah, kedataran dari mukanya sudah dimaklumi oleh semua orang. Pak Bravo tersenyum kecil, membuat kumis mungilnya menggeliat seperti ulat bulu, mengerikan sekali. "Orang yang akan ditugaskan bersamamu untuk melaksanakan tugas ini adalah Melios," ucap Pak Bravo sambil menggebrak meja paling depan yang diduduki oleh Melios sendiri, lelaki pendek berambut pirang yang mukanya seperti katak. "Kau tidak keberatan, 'kan? Raiga?" Mengetahui hal itu, Raiga malah menguap lebar, menahan rasa kantuk yang sudah mengusap-usap kepalanya. "Yah, aku tidak keberatan jika mengemban tugas bersama Si bocah cebol bertubuh pendek dan mungil itu, tapi aku khawatir kalau dia membenciku, soalnya--" "Bocah cebol bertubuh pendek dan mungil, kau bilang?" Sepertinya, Melios tidak suka dirinya disebut begitu oleh Raiga, buktinya, dia kali ini mengeluarkan cahaya mengkilau dari seluruh tubuhnya, yang menandakan bahwa dirinya sedang kesal, membuat seisi kelas memperhatikan si pirang. "Itu terlalu mengkilau, lho, Melios." Raiga menyeringai jahat dari bangkunya yang berada di paling belakang, sementara Melios langsung berdiri dari kursinya dengan perasaan jengkel yang menguasai tubuhnya. "Padahal, hari ini aku ingin meminta maaf padamu atas perbuatanku sebulan yang lalu, di saat kau ditugaskan untuk turun ke bumi pertama kalinya oleh Pak Bravo," kata Melios dengan menyaringkan suaranya, membuat seisi kelas mengheningkan suasana, agar suara dari si pirang terdengar jelas, bahkan Pak Bravo pun sebagai guru hanya bisa memandangnya. "Tapi, mendengar kau mengejekku, aku marah. Sepertinya kali ini aku harus mengurungkan niatku untuk meminta maaf pada keledai perak sepertimu!" Teman-teman sekelas Raiga terkejut mendengar Melios berkata demikian tanpa malu walaupun di depannya ada seorang guru yang masih berdiri. "Hah?" Raiga menyeringai. "Meminta maaf? Untuk apa kau meminta maaf padaku? Dan apa itu keledai perak? Spesies baru?" Kekesalan Melios sudah memuncak sampai ke ubun-ubun kepalanya, mukanya memerah, dan tubuhnya bergetar, kemudian, dengan usaha yang keras, dia akhirnya berani menolehkan pandangannya ke arah bangku paling belakang, lebih tepatnya, pada Raiga. "Raiga, kau ...," Melios keluar dari bangkunya, dan berjalan ke meja yang dihuni oleh lelaki berambut putih itu, setelah sampai, dia melepaskan satu sapu tangan dari jemarinya dan melemparkan benda itu tepat ke d**a Raiga. "Sebelum kita berangkat ke Bumi, aku ingin bertarung denganmu, maka dari itu, aku menantangmu!" "Bertarung?" ulang Raiga dengan wajah malas. "Untuk apa?" Baru saja Pak Bravo akan melerai mereka, Melios malah langsung membalas perkataan Raiga dengan suara yang kencang, membuat si kumis ulat bulu itu mengurungkan perkataannya. "Tingkahmu yang menjengkelkan membuatku kesal, Raiga! Padahal kau bukan lagi seorang malaikat gagal, tapi sikapmu masih menunjukkan kalau kegagalanmu sebagai malaikat masih terlihat!" Semua orang yang ada di kelas kaget mendengar itu, bagaimana dengan Raiga? Sepertinya dia biasa-biasa saja, malah saat ini, lelaki berambut putih itu sedang menguap lebar untuk ke sekian kalinya. "Baiklah, aku terima tantanganmu, Melios." Balasan yang diucapkan Raiga langsung meriuhkan seisi kelas, terutama Melios yang tubuhnya semakin gemetaran, karena sebenarnya, dia tidak ingin bertarung dengan Raiga. ☆☆☆ Karena bingung harus melakukan apa, akhirnya Pak Bravo malah menjadi wasit atas pertarungan yang akan dilakukan oleh dua muridnya itu. Sebagai guru, Bravo memilih lapangan sepak bola sebagai arena pertarungan antara Raiga dan Melios, karena tempatnya luas dan aman. Bravo berpikir kalau pertengkaran Melios dan Raiga ada baiknya juga, karena mungkin saja, setelah pertarungan selesai, mereka mau berbaikan dan menjalankan tugas bersama tanpa ada rasa benci yang menyelimuti hati dari dua bocah tersebut. Mereka telah sampai di lapangan sepak bola yang memiliki rumput hijau yang lebar, gedung-gedung sekolah berdiri kokoh mengelilingi lapangan, bahkan ada beberapa murid dari kelas lain yang menonton, sementara teman-teman sekelas Raiga lebih memilih mengamati pertarungan di pinggir lapangan. Raiga dan Melios telah berdiri di tengah lapangan, saling berhadapan, membuat semua penonton bersorak sorai. Pak Bravo berada di tengah mereka, sebelum guru itu memberikan perintah memulai, dia akan berkata satu dua patah kata terlebih dahulu untuk menyegarkan suasana yang memanas ini. "Kalian lihat," kata Pak Bravo pada Melios dan Raiga dengan nada yang tegas. "Semua orang sedang menonton pertarungan bodoh ini, aku sebagai wali kelas kalian, merasa terinjak-injak karena kelas yang kubimbing malah jadi seperti ini, sungguh memalukan." Melios menatap Pak Bravo dengan raut cemas. "Aku tahu ini memalukan, tapi ada alasannya aku melakukan ini, yaitu, agar Keledai itu menghormatiku sebagai temannya!" Mendengarnya, Raiga tersentak. "Bukankah aku selalu menghormatimu?" Pak Bravo langsung angkat bicara, agar Raiga dan Melios tidak bertengkar lagi di tengah-tengah lapangan yang panas ini. "Aku mengerti, baiklah, aku akan mengizinkan kalian untuk bertarung, tapi ingat, kita adalah malaikat, jadi, sudah wajar seorang malaikat tidak saling melukai, karena itulah, jangan terlalu kasar." Raiga dan Melios mengangguk mendengarnya, mereka paham atas kedudukannya sebagai malaikat, jadi sudah sepantasnya mereka tidak bertarung secara brutal, karena itu akan mencoreng nama baik dari seorang malaikat. "Baiklah! Pertarungan ini, dimulai!" seru Pak Bravo dengan menembakkan setitik cahaya terang yang berkilauan dari telunjuknya ke langit, membuat malaikat-malaikat yang menonton pertarungan itu bertepuk tangan riuh, memyambut pertandingan seru antara Raiga melawan Melios. ☆☆☆ "Wah! Yuna! Apa kabar?" Saat gadis berambut biru itu memasuki kelasnya, dia langsung dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya, membuat dirinya merasa menjadi selebriti dalam sesaat. "Kudengar, kau berhasil menyelesaikan tugasmu di Bumi, apa itu benar?" Padahal sudah sebulan yang lalu, tapi mengapa mereka baru mengetahuinya, dasar aneh, pikir Yuna. "I-Iya, aku memang sudah menyelesaikan kewajibanku sebagai malaikat untuk membimbing para manusia ke jalan yang benar, tapi dari siapa kalian mengetahui itu?" Yuna agak khawatir karena dia tidak ingin ada orang asing yang seenaknya menyebar gosip tanpa sepengetahuannya, itu adalah tindakan yang keji, padahal mereka sama-sama malaikat. "Tentu saja kami mengetahuinya dari Tuan Claudio Geriz, malaikat elit tingkat sepuluh, katanya, kau tidak benar-benar membimbing para manusia, kau di Bumi hanya membuat masalah, 'kan? Kau juga melakukan hal itu bersama dua malaikat dari sekolah lain, 'kan?" Pipi Yuna langsung memerah seperti tomat setelah mendengarnya, dia tidak ingin mengingat momen-momen itu, tapi kenapa teman-temannya malah memaksanya untuk mengingat rangkaian peristiwa konyol itu. "Ma-Maaf, tapi sepertinya aku harus ke toilet sebentar," Yuna langsung bergegas pergi dari kelasnya, meninggalkan gerombolan temannya yang bertingkah seperti wartawan. Yuna tidak suka itu, dia tidak ingin mengingatnya, karena momen-momen saat berada di Bumi membuatnya rindu akan dua sahabatnya itu, Raiga dan Zapar. Brak! Dia masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya dengan kencang agar seseorang tidak sembarangan masuk. Kemudian, dia mendekati cermin, memandang pantulan dirinya sendiri di sana dengan sedih. "Raiga, Zapar, sedang apa kalian? Aku merindukan kalian." ☆☆☆ "Kuulang sekali lagi, kenapa kau tidak mengerjakan PRmu, Zapar!?" Seorang wanita paruh baya yang mengajar di kelas sedang menyentak salah satu muridnya yang tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. "Kau sudah kelas tiga SMP! Tapi sikapmu masih saja seperti anak-anak! Mau jadi apa kau nantinya, Zapar!?" Seorang lelaki berambut merah seperti landak, yang duduknya di pojok dekat jendela langsung tersenyum sombong, menampilkan raut kepercayaan diri yang bersinar. "Tentu saja aku akan menjadi seorang malaikat elit tingkat pertama, kawan?" ucap lelaki itu dengan menyisir rambut merahnya. "Dasar bodoh! Mustahil kau bisa menjadi malaikat elit jika PRmu saja tidak dikerjakan! Dan berhentilah memanggil gurumu dengan sebutan kawan!" bentak wanita itu, membuat suaranya menggema di kelas. Teman-teman sekelas Zapar hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah lelaki berambut merah itu, karena mereka memang sudah malas untuk menasehatinya. "Jangan berkata begitu, kawan," sanggah Zapar dengan tersenyum bangga, menatap wajah gurunya dengan sombong. "Seorang malaikat seharusnya tidak berkata kasar pada muridnya, bukankah aku benar, kawan?" BLETAK! Sebuah penghapus berhasil dilemparkan mengenai kepala Zapar, yang barusan melempar tentu saja guru wanita itu. "Berani sekali kau memancing seorang guru!" Wanita itu langsung merobek-robek buku PR milik anak-anak lain, membuat seluruh murid di dalam kelas terkejut. "Karena Zapar telah membuatku marah! Aku akan menghukum kalian semua! Kalau kalian kesal, salahkan saja pada teman kalian yang di sana!" Seluruh tatapan membunuh langsung diarahkan tepat ke arah Zapar, membuat lelaki itu kaget. "Hey, bukankah kalian itu malaikat? Ada apa dengan mata kalian? Mengapa aku jadi pusat perhatian?" BLETAK! BUAG! BELEDAR! Dan pada akhirnya, nasib dari malaikat berambut merah itu menjadi sangat tragis, mukanya babak belur seperti seorang pencuri yang ketahuan mencuri sandal. ☆☆☆ Sementara itu, di saat pertarungan antara Raiga melawan melios berlangsung, ada sesosok bayangan hitam yang mengamati kejadian itu dari atap gedung sekolah. "Rupanya, kau ada di sini, ya? Kuruga Raiga Bolton," ucap sosok itu dengan menyeringai jahat. "Sebentar lagi, kau akan kuhancurkan." "Astaga!" Felis, ibu kandung Raiga langsung terkejut ketika memandang anak sematang wayangnya pulang dengan pakaian sekolahnya yang kotor dan wajah babak belur. "Raiga! Jelaskan padaku! Apa yang membuatmu jadi berantakan seperti ini? Apa di jalan kau dikeroyok oleh gerombolan berandalan? Atau kah kau dikejar-kejar oleh para waria?" Mendengar ibunya bertanya hal-hal yang aneh, Raiga hanya menguap lebar, menampilkan wajah super malasnya seperti biasa. "Hanya urusan kecil," kata Raiga dengan berjalan melewati Felis dan masuk ke dalam kamarnya. "Hanya urusan kecil?" ulang Felis dengan curiga, dia masih penasaran mengapa anak kesayangannya yang selalu dimanja bisa bonyok begitu, dia harus melaporkan ini pada pihak sekolah, ini sudah pelanggaran, pikirnya. Ketika Felis kembali melanjutkan kegiatan menyapu lantai, seseorang mengetuk pintu rumahnya, membuatnya harus menghentikkan kegiatan bersih-bersihnya lagi dan membuka pintu, dia harap itu bukan penagih hutang yang kemarin lusa datang sambil marah-marah hingga dia harus mengusirnya menggunakan lemparan sepatu. "Maaf, apakah ini rumahnya Kuruga Raiga Bolton?" Rupanya bukan penagih hutang, syukurlah. Ternyata dia hanyalah seorang gadis berambut biru yang mengenakan jaket berbulu. Raut muka Felis langsung menampilkan keramahan bak bidadari pada gadis asing itu. "Betul, ini adalah rumah Raiga, dan dia itu putraku." ucap Felis dengan senyuman tipis yang menghangatkan suasana. "Memangnya, ada perlu apa kau mencari putraku?" Gadis itu memberikan sebuah kartu nama pada Felis. Sebenarnya, gadis itu adalah Yuna, karena kerinduannya yang sudah tidak terbendung lagi, akhirnya dia nekat pergi mencari rumah Raiga dan Zapar, beruntung, karena sudah tanya-tanya pada orang-orang, akhirnya dia dapat menemukan rumah Raiga dengan cepat, sisanya tinggal Zapar. ☆☆☆ Setelah itu, Felis mempersilakan Yuna masuk ke rumahnya untuk duduk di kursi tamu, dia juga menawari gadis itu aneka makanan ringan sampai kue-kue yang renyah dan gurih, karena Yuna selalu menolak tawarannya, alhasil, Felis terpaksa harus membawa semua simpanan makanannya ke meja tamu. "Ma-maaf, aku benar-benar tidak mau merepotkan Anda, tapi kenapa--" perkataan Yuna langsung dipotong oleh Felis dengan ramah. "Tidak apa-apa, aku selalu seperti ini jika menjamu seorang tamu," ucap Felis dengan tersenyum hangat, tidak peduli pada Yuna yang cemas karena makanan yang ada di meja tamu sudah menggunung. "Ayo, makan saja kue-kuenya, Yuna. Aku akan ke kamar Raiga dahulu, untuk memanggilnya kemari." Demi apa pun, Yuna tidak paham apa yang ada dipikiran ibunya Raiga, seumur hidupnya, dia tidak pernah melihat seorang tuan rumah menjamui tamunya dengan kue sebanyak ini hingga bertumpuk-tumpuk membentuk gunung sampai puncaknya menyentuh langit-langit rumah. Bahkan, Yuna tidak dapat melihat keadaan yang ada di hadapannya karena terhalangi oleh tumpukan kue tersebut, lantas, bagaimana dia mengobrol dengan Raiga jika seperti ini kejadiannya. "Ini benar-benar buruk." ucap Yuna dengan memasang wajah khawatir. "Aku harap, aku dapat memakan semua kue ini dengan cepat agar aku bisa berbincang bersama Raiga dengan tenang." ☆☆☆ Di dalam kamar, Raiga sedang bermain-main dengan Chogo, kucing peliharaannya yang bulunya berwarna putih tebal. "Hahaha! Kau lucu sekali, Chogo!" Raiga menggelitik badan Chogo dengan lihai membuat kucing itu mendengkur nyaman karena hal itu. Tok! Tok! Tok! "Raiga? Ada temanmu yang datang, dia sudah duduk di ruang tamu, ayo, temanilah dia." Felis bersuara dari balik pintu dengan mengetuk-ngetuk pintu kamar Raiga. "Siapa namanya?" tanya Raiga tidak peduli dengan mengusap-usap punggung Chogo. "Bilang padanya, aku sedang tidak mau diganggu." "Namanya Zelila Yuna Birikawa," balas Felis dengan bisik-bisik. "Kalau kau tidak mau diganggu, aku akan katakan padanya." Brak! Raiga langsung membuka pintu kamarnya dan berlari keluar, melewati Felis menuju ruang tamu. Raiga tidak percaya, Yuna berkunjung ke rumahnya, padahal dia sama sekali tidak pernah memberitahu alamat kediamannya pada gadis itu. Setelah sampai di ruang tamu, Raiga terkejut. "Mana Yuna?" Dia tidak melihat Yuna di ruang tamu, yang ada hanyalah seorang perempuan gemuk berambut biru yang pipinya kotor karena terlalu banyak memakan kue. "Dan siapa kau?" Raiga belum tahu kalau perempuan gemuk yang duduk di ruang tamu adalah Yuna sendiri, dia terlalu banyak melahap kue hingga badannya membesar sangat cepat. "Oh, Raiga? Akhirnya kau datang juga!" ucap Yuna dengan senang, dia berusaha untuk berdiri, walaupun tubuhnya gemetaran karena tidak mampu untuk menopang berat badannya. "Aku kebetulan datang ke sini untuk mengajakmu--" "Kubilang, siapa kau?" Raiga tidak mendengarkan ucapan Yuna, dengan tampang tidak pedulinya, dia malah bertanya kasar pada gadis gemuk itu. "Ak-aku Yuna!" jawab Yuna dengan meringis sedih melihat Raiga menatapnya dengan sinis. "Apa kau telah melupakanku, Raiga?" "Hah?" Raiga memasang muka malas. "Yuna kau bilang?" ☆☆☆ Kemudian, Yuna menceritakan alasan mengapa tubuhnya menjadi gemuk seperti kudanil, dan akhirnya, Raiga paham dan meminta maaf atas perlakuan kasarnya tadi. "Aku minta maaf, Yuna." ucap Raiga dengan duduk di hadapan Yuna, kue yang sebelumnya menumpuk di meja sudah ludes di makan gadis itu, dia melakukannya untuk memberikan kenyamanan saat mengobrol, walau resikonya tubuhnya membesar. "Ahaha, tidak apa-apa, aku sudah biasa, kok!" Bahkan, suara Yuna pun sudah berbeda. Raiga merasa dirinya sedang mengobrol dengan orang asing, tapi dia harus menghargai usaha Yuna karena telah menghabiskan kue itu, jadi yang harus disalahkan di sini adalah Felis, ibunya sendiri. "Sebelum itu, aku akan mengembalikan tubuhnya ke bentuk semula." Tiba-tiba Felis datang, dia membawa sebuah jarum suntik, kemudian dia duduk berdampingan dengan Yuna. "Jangan takut, ini tidak terasa sakit, kok." Raiga hanya menguap lebar, dia tidak peduli pada apa yang akan dilakukan ibunya, sementara Yuna kaget. "Eh? Mengembalikan tubuhku ke bentuk semula? Memangnya Anda bisa?" "Tentu saja, dengan suntikan ini, semua hal yang rusak akan kembali menjadi semula." timpal Felis dengan tersenyum hangat. Yuna tidak tahu harus bagaimana, senang karena tubuhnya bisa kembali atau tersinggung karena secara tidak langsung, Felis mengatakan kalau dia rusak, memangnya dia itu apa, barang rongsokan? Felis telah menyuntikkan jarum mungil itu ke lengan Yuna, dan ternyata benar, tubuh gadis itu perlahan-lahan mengecil seperti balon yang mengempis. Yuna akhirnya kembali seperti sebelumnya, membuat Raiga tersenyum. "Nah, ini baru Yuna yang kukenal." ucap Raiga dengan memalingkan muka. "Jadi, ada apa kau datang kemari, Yuna?" Sadar bahwa pembicaraan mereka sudah dimulai, Felis pun beranjak pergi ke dapur, tidak ingin mengganggu obrolan putranya dengan Yuna. Yuna pun bicara setelah Felis pergi. "Kemarin, aku ditugaskan lagi oleh pihak sekolah untuk turun ke Bumi, Raiga." Mendengarnya, Raiga sedikit tertarik. "Jadi, kita sama, ya?" Raiga mengunyah sisa-sisa keripik yang ada di meja. "Aku juga ditugaskan untuk turun ke sana lagi, tapi ada yang berbeda." "Berbeda?" Padahal Yuna senang sekali saat mendengar Raiga pun mengalami hal yang sama, tapi dia penasaran mengapa ada yang berbeda. "Apa itu?" "Aku akan menjalankan tugas bersama Guntara Melios Locky, teman sekelasku, berambut pirang, bertubuh pendek seperti kurcaci dan suka marah-marah." Yuna menutup mulutnya karena menahan tawa. "Maksudmu, kau tidak sendirian seperti sebelumnya? Bukankah itu bagus? Aku bisa berkenalan dengan temanmu itu." "Mustahil," kata Raiga dengan mata yang sayu. "Melios sulit diajak bicara, dia itu seperti kucing mungil yang suka mencakar." "Hahaha! Ya ampun, kedengarannya dia lucu sekali." Raiga menghela napas. "Terus, apa kau sudah bertemu dengan Zapar?" "Aku belum bertemu dengannya, katanya sih, rumah Zapar berada di tempat-tempat elit." "Hah?" Raiga tidak percaya. "Kau bergurau, ya?" Yuna mengembungkan pipinya. "Tapi kan itu hanya desas-desus saja, aku juga tidak langsung percaya, sih, sebelum aku menemukan ini." Yuna mengeluarkan sebuah koran kecil dan memberikan benda itu pada Raiga. Tampaknya, Raiga terkejut setelah membaca berita yang tertera di koran mungil tersebut. "Jadi, begitu," kata Raiga sambil menganggukkan kepalanya. "Ternyata Zapar itu anak dari Tuan Garelio, seorang malaikat elit tingkat kesembilan." Yuna setuju mendengarnya. "Ya, siapa sangka kalau selama ini kita bergaul dengan putranya Tuan Garelio yang terkenal dengan kekayaannya yang melimpah." "Hm," Tapi, entah kenapa, Raiga merasakan aura jahat di sekeliling rumahnya. "Yuna, ikut aku!" Tiba-tiba, Raiga pergi keluar rumah, membuat Yuna yang masih duduk di kursi terkaget. "Ada apa, Raiga?" ☆☆☆ Sosok bayangan hitam yang misterius itu kini sedang ada di atap rumah Raiga, dia menyeringai senang. "Tinggal menunggu hari hingga kau bersama teman-temanmu dihancurkan olehku, Kuruga Raiga Bolton." Dan sosok itu langsung lenyap diterpa angin, meninggalkan aura jahat yang mencekam di rumah Raiga. "Mungkin itu hanya perasaanmu saja," ucap Yuna pada Raiga ketika mereka sedang berjalan-jalan di sekitar trotoar, di sisi jalan raya yang penuh dengan mobil awan yang berlalu-lalang. Raiga menguap lebar, dia sebenarnya tidak terlalu memikirkan aura jahat yang ada di sekitar rumahnya, hanya saja, itu membuat perasaannya tidak nyaman sedari tadi. Tapi tetap saja, tampang lelaki berambut perak itu selalu menampilkan kilauan kemalasan, begitulah Raiga. "Ya, mungkin kau benar," respon Raiga dengan nada yang tidak niat. "Hanya perasaanku saja." Sudah lima belas menit mereka berjalan di trotoar, melewati berbagai toko yang berjejer rapi di sisi-sisi jalan. Tujuan mereka saat ini adalah mencari rumahnya Malakat Elit kesembilan, yaitu Tuan Garelio, alias kediamannya Zapar. Menurut berita di koran sih, Zapar termasuk ke dalam anak kandung dari Tuan Garelio, jadi satu-satunya cara untuk mendatangi tempat tinggal lelaki berambut merah itu adalah mencari kediamannya Tuan Garelio. Beruntung, karena Tuan Garelio termasuk ke dalam pasukan malaikat elit, mereka dapat menemukan informasi dengan cepat dari orang-orang. Tentu saja, siapa sih yang tidak tahu Tuan Garelio? Semua orang pasti mengetahuinya, bahkan, saking terkenalnya, semua malaikat pun hapal betul warna celana dalam yang selalu dipakai Tuan Garelio, sampai ke pola-polanya. "Hmm," Raiga terdengar menggerutu, membuat Yuna menoleh padanya, di saat banyak bunyi klakson mobil yang menjerit-jerit. "Ada apa, Raiga?" tanya Yuna dengan antusias, dia tidak mau membuat Raiga tidak nyaman berada di dekatnya, karena itulah, dia selalu mencemaskan hal itu. "Apakah kau tidak suka dengan wangi parfumku?" "Bukan," Raiga menggeleng. "Bukan itu maksudku." Yuna menaikan sebelah alisnya. "Lalu?" Dia penasaran mengapa Raiga memasang wajah malas setiap saat. "Oh, atau mungkin, kau sedang lapar, ya? Kalau memang benar, bagaimana kalau kita mampir sebentar di restoran?" "Tidak, tidak," Lagi-lagi, Raiga menggeleng, seperti bayi yang rewel pada induknya. "Aku hanya merasa kalau saat ini kita sedang diikuti oleh orang asing." "Diikuti oleh orang asing?" ulang Yuna tidak percaya, lalu dia langsung menoleh ke belakang, menatap satu persatu dari wajah-wajah orang yang berlalu-lalang di jalanan. "Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Raiga." ☆☆☆ Dugaan Raiga memang benar, saat ini, tepat tiga meter di belakang mereka, ada seorang pria misterius yang berpakaian serba hitam, mengikuti mereka dari awal hingga sekarang. "Aku akan terus mengamatimu, Kuruga Raiga Bolton," ucap Pria bertopi dan bermasker hitam itu dengan suara yang mengerikan, matanya memerah seperti kelamnya darah. "Sekarang, mau pergi ke mana kau bersama temanmu itu, Kuruga?" Pria itu menghentakkan kakinya, berjalan di belakang Raiga dan Yuna, seakan-akan seperti orang lain yang berlalu-lalang, padahal, nyatanya dia terus-terusan memperhatikan pergerakan mereka. Buk! Naas sekali, pria itu malah tidak sengaja menabrak kereta bayi yang didorong oleh ibunya, membuat sang induk mulai mengamuk. "PERHATIKAN JALANMU! BODOH!" pekik sang induk sampai-sampai semua orang menontonnya. "KALAU KAU TIDAK BISA BERJALAN! BIAR KUPATAHKAN KAKIMU UNTUK MAKAN MALAMKU! DASAR i***t!" "Maaf-maaf! Saya benar-benar minta maaf!" Pria misterius itu memohon-mohon pada induk sang bayi agar dimaafkan, tapi sayangnya, tindakan itu malah membuat sang induk semakin marah. "KAU PIKIR KAU BISA MEMBELI BAYI INI DENGAN PERMINTAAN MAAF!?" Pria misterius itu jadi tontonan warga, rasa malu telah membantai pantatnya hingga memerah. ☆☆☆ "Apa dia yang selama ini mengikuti kita?" tanya Yuna pada Raiga saat dia melihat seorang pria diamuk oleh wanita yang membawa kereta bayi di belakangnya. "Sepertinya memang dia," Raiga juga menoleh sesaat, dan dia kembali memandang ke depan, tidak peduli pada apa yang sedang terjadi di belakangnya. "Yuna, ayo kita lari, sebelum pria itu mengikuti kita lagi." Akhirnya, Raiga dan Yuna berhasil kabur dari pandangan sang pria misterius, mereka telah terbebas dari intaian orang yang mencurigakan, membuat pernapasan lelaki berambut perak itu sedikit lega. "Tidak buruk juga, kan?" kata Raiga dengan senyum tipis pada Yuna, walau mukanya masih saja seperti orang yang mengantuk. Yuna menggeleng ketika dia menyadari kalau tempat yang saat ini mereka pijakki adalah wilayah kekuasaan para malaikat berandalan, terbukti ketika ada gerombolan remaja bersayap hitam yang keluar dari gang sepi untuk menghampiri mereka. "Raiga, ini buruk! Ini buruk!" Yuna memukul-mukul bahu Raiga dengan cemas saat matanya memandang kedatangan dari para malaikat berandalan yang membawa celurit, pedang, gir, hingga lipstik. Raiga tidak tahu karena posisinya menghadap ke arah Yuna, sedangkan para malaikat berandal sedang berjalan mendekati punggung lelaki itu, alias ada di belakangnya. "Hah?" Raiga mengenyitkan dahi tidak paham. "Bukannya ini tidak buruk karena sudah tidak diuntit oleh pria misterius?" "Tapi, sekarang ada yang lebih buruk dari seorang penguntit!" Raiga terpaksa menolehkan pandangannya ke belakang karena risih melihat Yuna gelagapan. Dan tidak terduga, bukannya takut, resah atau kaget, Raiga malah menyeringai saat sadar kalau dia sedang dihampiri oleh pasukan berandalan. "Oh? Kukira apa, ternyata hanya cecunguk-cecunguk payah saja." Yuna terkejut melihat Raiga tidak ketakutan sama sekali walaupun tahu ada banyak remaja yang menghampirinya dengan membawa senjata-senjata tajam dan juga lipstik. "Raiga? Kenapa kau--" "Oi! Raiga! Lama tak jumpa!" Saat para berandalan itu sudah ada di depan mereka, salah satu dari pasukan remaja berandal itu menyapa Raiga dengan senyum lebar. "Oh? Apa kabar, semuanya?" Raiga malah bergabung bersama mereka, meninggalkan Yuna yang masih terdiam kaku karena ketakutan. "Kalian sehat-sehat saja, kan?" "Tentu saja! Hahah! Tapi, sepertinya kau sedang membawa kekasihmu jalan-jalan, ya? Maaf, kalau kami mengganggu, Raiga." Mendengarnya, Raiga mendengus. "Bukan, dia bukan kekasihku," balas Raiga dengan polos. "Dia Yuna, dia bilang, kalian semua keren, dia juga penasaran mengapa kalian membawa senjata-senjata tajam itu?" Jantung Yuna hampir meledak mendengar kebohongan yang diucapkan Raiga, membuat semua mata dari semua malaikat berandalan itu mengalihkan perhatiannya pada gadis itu. "Oh? Benarkah?" tanya salah satu dari mereka pada Yuna. "Kau menyebut kami keren? Wah, baru kali ini ada gadis yang menyebut kami keren! Haha! Ini mengejutkan! Kau tidak perlu takut melihat kami membawa senjata dan juga lipstik ini, benda-benda ini kami gunakan untuk bekerja, bukan untuk membunuh." Yuna bingung mau merespon apa, karena dia sudah terlanjur takut melihat mereka. "O-oh, ja-jadi begitu, ya? Syukurlah jika itu benar." Raiga melirik Yuna dengan tersenyum jahil, dia sedang senang karena usahanya dalam mengerjai temannya telah berhasil. "Yah, hanya segitu saja," Raiga pun menarik tangan Yuna untuk segera pergi dari hadapan para berandalan itu. "Kalau begitu, kami permisi, teman-teman!" Raiga dan Yuna telah berpamitan pada malaikat-malaikat bermuka seram itu. "Jaga kekasihmu baik-baik, Raiga!" "Jangan buat dia salah paham karena penampilan kami, Raiga!" "Kalau kalian menikah, undang-undang kami, Raiga!" "Salam kenal juga, Yuna!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD