B2

1612 Words
Hingga menjelang pagi, Anima masih belum ingin bangun. Dia merasa tubuhnya sangat lemah. Padahal suhu tubuhnya sudah turun. Dia tidak ingin merepotkan Anggar lagi, jadi memaksakan diri bangun. Tidak melihatnya, tapi kunci mobilnya masih ada di atas nakas. Artinya laki-laki itu masih ada di sini. Anima melirik jam dinding, itu sudah pukul tujuh pagi. Menyibakkan selimut, Anima berjalan menuju kamar mandi. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Membasuh wajahnya, dan merasa air itu sangat dingin. Saat mengambil sikat gigi, Anima jadi teringat dengan Kai. Dia bersyukur, laki-laki itu tidak kembali semalam, akan buruk jika Kai dan Anggar bertemu. Tidak ada yang boleh tahu tentang Kai. Menyelesaikan kegiatan bersih-bersih tanpa mandi. Anima langsung keluar dari sana dan masih belum melihat keberadaan Anggar. Dengan lemah dia berjalan menuju ruang ganti. Memilih setelan baju hangat. Saat berjalan keluar kamar, Anima melihat seseorang tengah berbaring di sofa. Wajah tampannya terlihat lelah. Laki-laki itu telah menjaganya semalaman. Hatinya menghangat, dia teman yang baik. Anima ke dapur untuk membuat minuman hangat, di sanalah Anima melihat bubur. Karena ditutup rapat, itu masih hangat. Dia tidak jadi membuat minuman hangat, memilih untuk makan bubur saja. Karena perutnya lapar. Mengambil sedikit bubur di mangkuk, Anima menggeleng dengan mata terpejam. "Sial!" umpatnya setelah mencicipi bubur tersebut. Karena rasanya sangat enak, itu seperti harta karun di pagi hari. Bagaimana laki-laki di sekelilingnya begitu pandai memasak. Apakah mereka sedang mengolok-oloknya? Anima mengabaikan keheranan tersebut, dia makan dengan lahap. Padahal lidahnya sedang tidak enak merasakan apapun, tapi bubur itu sangat lezat. Anggar terbangun, dia terkejut karena bisa-bisanya dia ketiduran. Melihat jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya, iya sudah jam tujuh lebih. Memaksakan diri untuk bangun, dia melihat seorang wanita cantik sedang makan sambil memperhatikan laptop. "Kau sudah bangun. Pasti lelah untukmu!" ucap Anima melihat pada Anggar. Karena sofanya itu tidak muat menampung panjang tubuh Anggar, dia agak bersimpati untuknya. "Aku tidak berniat tidur, tapi karena tidak melakukan apapun. Aku tertidur. Apa buburnya enak?" Anggar mendekat, dia duduk di sisi Anima. "Kau belum mencicipinya?" Anima menyipitkan matanya, bubur seenak itu, dan Anggar masih ingin menanyakan soal rasa. Anggar tersenyum, dia mengambil tangan Anima yang sudah menyendok bubur, lalu menuntunnya masuk ke mulutnya. Anima terkejut dengan apa yang dilakukannya. Dia melihat laki-laki itu makan dengan sendok yang sama dengannya. Sebenarnya hingga saat ini, dia hanya bisa menoleransi Kai saja. Dia tidak masalah berbagi apapun dengannya, bahkan berbagi makan dari sendok yang sama, Anima tidak masalah. Tapi dengan Anggar, dia jadi tidak ingin makan lagi. "Enak! Makanlah yang banyak. Jangan berangkat kerja dulu hari ini. Aku akan sembuh jika beristirahat sehari lagi!" Anggar ada rapat pagi ini. Dia lega setelah memastikan Anima makan dan sekarang terlihat tidak begitu pucat lagi. Anima mengantarkannya sampai pintu. Wanita cantik itu masih bersikap datar terhadapnya. Tapi dia tidak masalah, karena berpikir mungkin memang seperti itu karakternya. Dia melihatnya dengan tidak sabar. Dan kemudian menarik kepalanya, dia memberanikan diri mencium keningnya dengan cepat. Sebelum Anima sempat merespon, Anggar langsung pamit pergi dengan senyum nakal. "Lekas sehat. Aku pergi!" Anima masih terdiam di tempatnya, dia mengusap keningnya. Dan tiba-tiba merasa sangat mual. Berlari masuk ke kamar, menunju wastafel, Anima terus muntah dan buburnya yang enak keluar lagi. Benar-benar lemah, Anima menelpon Tama. Dia harus ke rumah sakit. Sepertinya meskipun demamnya turun, tapi tubuhnya masih sakit. Setelah memperbaiki dandanannya, Anima berjalan ke bawah. Menunggu Tama menjemputnya. Sebenarnya bisa saja dia pergi ke rumah sakit dengan supir, hanya saja akan merasa aman jika ada yang menemaninya. "Nona, masuklah!" Tama langsung membukakan pintu, mempersilakan Anima masuk mobil. Mereka menuju Rumah sakit terdekat. Rumah sakit yang berbeda dengan kakek Anima dirawat, tapi sama dengan tempat ibunya Kai melakukan perawatan. "Anda yakin akan melakukan pemeriksaan di sini?" Tama bertanya, karena Rumah sakit ini bukan tempat biasanya Anima memeriksakan kesehatannya. Di rumah sakit lain tempat kakek tua Lampauta di rawat, disana ada dokter pribadi keluarga Lampauta, setidaknya dokter itu lebih paham dengan kondisi Anima sejak kecil. "Yah, aku tidak ingin keluargaku tahu. Lagi pula aku hanya sakit biasa!" Anima tidak ingin mamanya tahu. Tama membantu Anima berjalan, karena tubuh wanita itu sangat lemah. Tentu bosnya tidak menolak. Mereka langsung bertemu dengan dokter, saat itu Anima dianjurkan dirawat saja. Karena tubuhnya sangat lemah. Anima telah berganti dengan pakaian pasien Rumah sakit. Dia merebahkan dirinya, dibantu oleh dokter untuk dipasang infus. Tama agak merasa sedih melihat bosnya jatuh sakit. Wanita mandiri itu bahkan tidak ingin keluarganya tahu. Dia memang keras kepala. Dia mengurus semuanya, dan Anima memintanya kembali ke resort. Bosnya itu masih memikirkan pekerjaan, ketika tubuhnya sedang sakit. Benar-benar wanita pekerja keras. Tapi Tama berpikir bosnya terlalu memaksakan diri. Anima tidak kuat menatap layar laptop. Dia memejamkan matanya dan merasa lebih baik dengan berbaring saja. Akhirnya memilih untuk melepaskan pekerjaan hari ini, membiarkan Tama mengambil alih semuanya. _ Hingga waktu beranjak siang, Anima merasa baru terbangun. Dia merasa agak lebih baik. Rasanya tidak nyaman dimana-mana. Tapi pikirannya masih tertuju pada pekerjaan. Dia akan menghubungi Tama, tapi ponselnya tidak bisa dinyalakan. Benar-benar mengesalkan. Dia akan memencet tombol untuk memanggil perawat. Tapi tidak menemukan tombolnya. Dia terpaksa harus memanggil dengan cara manual. Turun dari tempat tidurnya, dia membawa serta kantung infusnya. Berjalan menuju pintu, membukanya, dan sudah keluar. Mencari seseorang yang mungkin bisa membantunya, matanya bertemu tatap dengan seorang pemuda. Pemuda itu yang dulu pernah mengajaknya berlari dari kejaran polisi. Dia mengabaikannya, dan akan berjalan mencari bantuan. "Nona!" panggil pemuda tadi, Anima berhenti, dia berbalik dan sudah berhadapan dengan pemuda tersebut. "Anda sedang sakit?" Pemuda itu memperhatikan kantung infus yang dipegang olehnya. Anima hanya mengangguk. Dia tidak berniat terlibat pembicaraan dengannya. Saat akan meninggalkannya, pemuda itu menawarkan bantuan. "Aku hanya ingin mencharge ponselku!" Anima mengatakan keluhannya, dan pemuda itu menyuruhnya menunggu di kamar rawatnya saja. Anima memperhatikan pemuda itu sudah lebih dulu pergi, sebelum dia bahkan sempat merespon. Untuk itulah, dia masuk kembali ke dalam. Naik kembali ke tempat tidur. Tidak lama, pemuda itu kembali dengan membawa colokan charger ponsel. Tersenyum lebar mendekatinya. "Mana ponsel anda. Biar saya bantu!" Pemuda itu sangat ceria, bahkan meskipun dia tidak menunjukkan keramahan. "Di situ!" Anima menunjuk pada laci, di dalam sana ada laptopnya juga. "Anda sendirian?" tanya pemuda itu setelah memasangkan colokan ke ponsel Anima. "Hmm!" Pemuda itu terkagum-kagum dengan fitur wajah wanita di depannya. Bagaimana Tuhan begitu baik memperlihatkan ciptaan yang paling sempurna dimatanya. Dia sangat suka melihat wajahnya, karena lebih cantik dari yang ada di tv atau media sosial. Kulitnya putih, bibirnya merah alami, rambutnya terlihat sangat sehat, dan tubuhnya tinggi. Dengan tanpa makeup, wajahnya masih sangat cantik. Dia sudah menjadi pengagumnya sejak kejadian di jalanan waktu itu. Sikapnya dingin, tapi tidak sombong. Malah terlihat seperti anak kecil yang merajuk. Dia sangat gemas ingin terus memperhatikannya. Sebenarnya Anima tahu kalau pemuda itu terus memperhatikannya. Tapi karena dalam tatapannya tidak tercermin hal-hal negatif. Anima membiarkan, pura-pura tidak tahu. ___ Sore harinya, Kai pulang ke apartemen. Dia ragu, karena berpikir mungkin saja laki-laki itu masih di sana. Tapi dia juga khawatir dengan keadaan Anima. Karena itu, dia tetap pergi dan melihat sendiri. Saat sudah berdiri di depan pintunya, Kai ragu, ingin berbalik, tapi merasa akan terus khawatir jika tidak memastikan sendiri. Karena itu, dia lebih dulu mengetuk pintu. Tapi tidak ada sahutan. Dia memilih masuk. Melihat apakah benar-benar tidak ada orang di dalam. Benar saja, tempat itu kosong. Kai jadi makin panik. Pikirannya jadi berkeliaran kemana-mana. Apakah dia pulang ke rumah orangtuanya? Atau dibawa pergi oleh laki-laki kemarin ke Rumah sakit? Kai jadi panik, karena tidak punya ponsel untuk menghubunginya. Atau petunjuk lain untuk tahu keadaannya. Setidaknya dia ingin tahu apakah wanita itu sudah baik-baik saja. Lagi-lagi dia tidak berdaya. Saat dia datang ke ruang rawat ibunya, wajahnya lebih kusut dari kemarin. Karena hatinya sedang gelisah. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia merasa sangat asing, karena untuk tahu keberadaannya saja tidak bisa. "Kakak, kau merusak suasana!" Dika baru saja bercerita tentang hal menarik, tapi kedatangan kakaknya dengan wajah kusut itu jadi melenyapkan suasana yang tadinya ceria. "Jangan bicara begitu!" Ibu menegur Dika, dia melihat perbedaan antara dua anak laki-lakinya. Satunya sedang bahagia, satunya lagi sedang bersedih. Malam itu, Kai meminta adiknya pulang, dia yang akan menjaga ibunya lagi. Keduanya berjalan dari kantin rumah sakit. Dika akan pulang, sedangkan Kai akan kembali ke ruangan ibunya. "Kakak, kau tahu Anima Lampauta?" tanya Dika, membuat Kai sedikit tersentak. Kenapa adiknya tiba-tiba jadi menanyakan tentangnya? "Kenapa?" "Aku ingin jadi suami masa depannya, dia sangat cantik!" ujar Dika dengan senyum lebarnya. Kai merespon dengan memukul lengan adiknya. Bisa-bisanya adiknya itu becanda dengan hal-hal seperti itu. "Jangan memukuliku. Ah, kau ini. Kau tahu, wanita cantik itu ada di rumah sakit ini!" bisik Dika dengan bangga. Tentu saja, Kai menegang mendengar ucapan adiknya. Dia akan memukul lagi, karena menjadikan wanita itu bahan lelucon, tapi Dika sudah menghindar dengan wajah serius. "Kau tidak percaya padaku. Dia ada di ruang rawat B2, coba saja tidak percaya. Aku bahkan membantunya saat akan ke kamar mandi, tadi!" "Kau membual lagi, aku akan memukulimu!" Kai mengancam adiknya yang sudah tertawa menjauhinya. "Tidak apa kalau kakak tidak percaya. Ya sudah, aku pulang dulu!" Dika berbelok menuju gerbang depan, sedangkan Kai masih berdiri menatapnya. Itu hanya candaan 'kan? Mana mungkin bocah itu bahkan membantu ke mandi. Tapi setelah ucapan adiknya, jantungnya berpacu lebih cepat. Kakinya langsung berlari menuju ruangan yang tadi disebutkan adiknya. Tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya. Hanya saja dia merasa darahnya berdesir hebat. Seakan jantungnya memompa terlalu cepat. Berdiri di depan ruangan B2. Kai merasa tubuhnya melemas. Dia membuka pintu itu, dan matanya melebar, dan jantungnya seakan tiba-tiba berhenti berdetak. Nafasnya tercekat, senyum terpatri di bibirnya, tapi matanya rasanya memanas. Kau sangat dekat denganku, kenapa kau ada disini? Dia berjalan mendekat, tapi berusaha agar tidak menimbulkan suara. Melihat penuh kerinduan pada sosok cantik yang tengah tertidur lelap. "Kau memang cantik!" ujarnya dengan senyum lega.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD