Tidak pulang!

1120 Words
Kai berjalan menuju rumah sakit. Dia memperhatikan langkah kakinya sendiri. Bayangan dirinya yang sendirian, ditemani sinar mentari senja. Dia tersenyum tipis. Bukankah dia terbiasa sendirian? Seharusnya dia lega, ada orang yang memperhatikan wanita itu. Harusnya dia senang, bukankah dia juga sering mengatakan pada Anima, jika Anggar ada laki-laki yang tepat untuk bersanding dengannya. Lalu, kenapa dia jadi merasa terluka? Kai tahu, dia hanya akan sementara hadir di hidup wanita itu. Suatu hari nanti, dia harus pergi menjauh. Hanya meninggalkan nama untuk bayi mereka. Wanita itu akan bahagia dengan segala yang dimilikinya, tapi hanya akan sengsara jika terus bersamanya. Seseorang akan membantunya mengurus pekerjaannya, akan memberikan kehormatan bagi keluarga Lampauta, juga akan menjadi pelindung yang mampu untuknya. Lalu apa yang diharapkannya? Tetap tinggal di sisinya, dan membuat wanita itu kesulitan dengan banyak hal? Ingat Kai, kau hanya sebatas pendonor s****a. Kau dibayar untuk itu! Bukan untuk perasaan remeh yang tengah kau bicarakan. Kai tertawa, dia benar-benar menertawakan kebodohannya. Mereka bukan sepasang kekasih, apa yang diharapkannya? Jika orang seperti Anggar Anggoro saja kesulitan untuk menjalin hubungan dengan wanita itu, lalu apa yang dimilikinya hingga akan mampu meyakinkannya tentang sebuah hubungan. Kau bermimpi! Beberapa orang memperhatikan Kai yang tiba-tiba tertawa. Dia masih dijalanan. Membuat orang berpikir dia adalah orang gila. Langkahnya telah membawanya menuju ruangan rawat sang ibu. Dika juga ada di sana, sedang mengerjakan tugas sekolah. "Kenapa dengan wajahmu? Kau memiliki masalah?" tanya ibu khawatir. Karena Kai sangat jarang menunjukkan kesedihannya. Dia selalu ingin terlihat tangguh, sebagai tulang punggung keluarga. "Kai hanya sedikit merasa sakit di sini, Bu!" Kai menunjuk pada dadanya. Ibu dan Dika melihatnya bingung. Yang dimaksudkan adalah sakit sungguhan atau sakit yang tidak berdarah tapi menyakitkan? Dika yang pertama merespon, "Kakak jangan melucu, kau tidak punya kekasih ataupun gebetan, kenapa kau bisa kena penyakit kronis patah hati? Jangan bilang, kau ditolak sama kak Nisa!" Seruan Dika ditanggapi decakan oleh sang ibu. Dia mengusap lengan sang putra. Meskipun tampan dan cerdas, sangat jarang wanita akan tertarik dengan lelaki miskin. Ibu kasihan melihat putranya. "Siapa bilang aku patah hati. Kubilang sakitnya disini. Karena memang sesak!" Kai beralasan, karena dia juga baru menyadari kebodohannya. "Pembohong yang buruk. Lalu kenapa kakak terlihat lesu?" Dika tidak akan menyerah, dia memang masih kecil, tapi sangat protektif pada kakaknya yang baik hati itu. "Hanya agak lelah saja. Aku sudah jarang lari pagi. Agaknya badanku jadi lesu!" Ibu juga tahu kalau Kai berbohong. Tapi dia tidak mengungkapkannya. "Jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah!" "Kak, kau menyukai kak Nisa, ya?" tanya Dika masih belum menyerah. "Jangan bicara omong kosong. Dia terlalu baik dan cantik untukku. Kami hanya teman!" Kai mengingat senyum ramah Nisa dan kelembutan dalam nada suaranya. Benar-benar wanita yang menawan. "Itu, kau tersenyum saat aku menyebutkan namanya!" tuduh Dika heboh. Dia belum pernah melihat kakaknya menyukai seorang wanita. Karena terlalu sibuk. Kai menatap adiknya kesal. Dia tersenyum karena mengingat senyum Nisa yang sangat menawan. Hingga langsung menular saat dia membayangkannya. "Dia layak mendapatkan orang yang lebih baik. Kakakmu ini hanya akan merusak masa depannya!" ucap Kai santai, tapi membuat Dika dan ibunya jadi terdiam dengan raut tidak suka. Bagi Dika, kakaknya itu adalah orang yang sangat hebat. Dia dapat bersekolah sambil bekerja. Tidak pernah menyerah untuk menafkahi mereka. Dan yang paling penting, dia sangat tampan untuk ukuran laki-laki biasa. Sedangkan Kai, dia tahu kalau dirinya tidak layak untuk Nisa, mengatakannya tanpa beban. Karena menurutnya memang seperti itu. Tapi jika mengatakan tentang ketidaklayakannya untuk Anima, tanpa sadar dia jadi emosional. Perbincangan itu berlangsung sampai larut malam. Dika melihat kakaknya belum akan beranjak dari sana. "Kakak tidak pulang? Apa kakak diusir oleh teman kakak?" Dika tahu kakaknya tidak pernah pulang ke rumah sejak sekitar dua Minggu lalu, karena menginap di rumah temannya yang lebih dekat dari kantor. "Hanya ingin menemani ibu. Kau pulanglah!" suruh Kai pada Dika, dia kasihan dengan adiknya yang akhir-akhir ini jadi sering menginap di rumah sakit, karena dia tidak bisa menjaga ibu di malam hari. "Oke!" Dika langsung membereskan buku-bukunya. Dia juga sangat rindu nongkrong dengan teman-temannya. Jadi dia tidak melewatkan kesempatan tersebut. Kai tidak pulang ke apartemen Anima, karena takut kalau Anggar Anggoro masih di sana. Dia tidak mungkin menunjukkan dirinya, dan menimbulkan pertanyaan. Berharap semoga Anima lekas membaik, karena hatinya tetap merasa khawatir untuknya. Di apartemen. Anima terbangun dan melihat Anggar sedang membaca buku di sisinya. Laki-laki itu duduk di atas karpet, menyandar tubuh di pinggiran tempat tidur. Sehingga saat merasakan ada gerakan di belakangnya, dia akan tahu. "Kau bangun?" Anggar meletakkan bukunya, dia menghampiri wanita itu, mengecek suhu tubuhnya dengan punggung tangan yang ditempelkan di kening Anima. "Yah, aku sedikit merasa lebih baik. Maaf merepotkanmu!" Anima berusaha bangun, dia ingin minum. "Tidak masalah. Kau seharusnya tidak tinggal sendirian. Agar seseorang bisa merawat dan menjagamu!" Anggar setuju jika laki-laki tinggal terpisah dari keluarganya, agar melatih kemandirian. Tapi untuk wanita, dia merasa itu kurang tepat. Terlebih, dia merasa khawatir dengan Anima. Jika itu wanita lain, dia tidak akan peduli. Tapi melihat Anima yang tinggal sendirian, agak mengganggunya. Dia ingin memastikan wanita itu selalu baik-baik saja. Anima agak tidak suka dengan cara bicara Anggar. Dia tidak suka ada orang yang mengatur hidungnya. Termasuk orangtuanya. Dia suka tinggal sendirian. Dengan wajah datarnya, Anima melihat pada sosok Anggar. Dia kemudian melirik pada jam dinding. Itu sudah larut malam, bahkan dua jam lagi hampir fajar. Apakah laki-laki itu tidak berencana pulang? Anggar mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh Anima. Dia langsung berdiri tegap dengan tangan di depan d**a. "Aku tidak akan pulang. Malam ini aku akan menjagamu. Jadi jangan suruh aku pulang. Karena apapun yang terjadi, aku akan tetap di sini!" ujar Anggar dengan tanpa bantahan. Anima tidak berniat mengusirnya. Dia tahu itu akan sia-sia. Setelah minum air mineral dan merasa mengantuk lagi, dia memilih untuk kembali tidur. Anggar cukup puas melihat Anima menurut dan tidak menyuruhnya pergi. Dia merapikan selimutnya, dan keluar dari kamar. Dia cukup baik dalam memasak bubur. Jadi dia melihat kulkas Anima, melihat apakah ada yang bisa dibuat untuk sarapan. Dia tidak pandai memasak hidangan lain selain bubur. Dan beruntung, dia bisa membuatnya dengan bahan-bahan yang ada. Tangannya langsung bergerak mengolah bahan yang akan dibuatnya. Masih terlalu awal untuk menyiapkan sarapan, tapi dia agak bersemangat. Cukup lama berkutat dengan masakannya. Dia selesai dengan hasil yang memuaskan. Dia melepaskan apronnya. Dan berjalan masuk ke kamar. Anima masih tertidur lelap. Dia mengecek suhu tubuhnya lagi, dan lega karena panasnya benar-benar turun. Sebelum membangunkannya, Anggar memilih untuk menyegarkan diri dengan membasuh mukanya. Saat masuk ke kamar mandi, dia langsung menghampiri wastafel. Tapi ada yang menarik perhatiannya. Kenapa ada dua dikat gigi di sana. Anima tingkah sendirian, lalu satu lagi milik siapa? Memegang salah satu sikat gigi tersebut, dia memilih berpikir positif. Mungkin saja itu untuk tamu! Meskipun agak aneh dengan pemikirannya, tapi tidak ada alasan lainnya. Anima hanya tinggal sendirian! Harusnya begitu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD