Kantin FKIP

1725 Words
Della keluar begitu saja sesaat setelah mengatakan bahwa dirinya menyukai Jujung dan meninggalkan kami berdua diantara hening yang menyapa. Aku masih belum berani berbalik dan menatap Jujung untuk saat ini. Pun juga dengan Jujung, sepertinya ia masih bergeming di sana. Ternyata seperti ini rasanya saat tahu teman kita sendiri menyukai pacar kita. Bukan hanya desiran yang kurasakan dalam hati. Tetapi juga bingung tanpa tahu harus berbuat apa untuk pertemuanku selanjutnya dengan Della. Perlahan aku menggeser dudukku hingga tidak lagi membelakangi Jujung. Aku sekarang sudah tepat berada di sampingnya, menatap kosong pada papan tulis yang masih tersisa coretan dari Bu Sari. Kami masih saling diam. Kami belum mau untuk berucap barang sepatah kata atau sekadar berdeham. Suasana menjadi seperti dalam hutan belantara tanpa penghuni, hanya embusan angin yang keluar dari pendingin udara yang terasa sangat menusuk telinga. Aku mengalihkan perhatianku ke atas meja. Entah sudah berapa lama tangan hangat Jujung menggenggam tanganku. Aku tidak menyadarinya. Yang pasti kami masih saja terhanyut dalam keheningan. Beberapa saat kami hanya diam. Sampai akhirnya beberapa mahasiswa mulai memasuki ruangan karena memang sudah pergantian jam. Kami berdua memutuskan untuk segera pergi dari sana. Kami berjalan beriringan pun dengan tangan kami yang masih bergandengan. Jangan lupakan, kami masih saling diam. Aku tidak tahu kenapa Jujung tidak berbicara apapun. Padahal biasanya Jujung itu sangat cerewet jika sedang bersamaku. Kuembuskan napas lelah ketika kami sudah keluar dari gedung. Udara segar khas pagi menjelang siang langsung menerpa pori-pori. Aku menatap sekitar, tidak ada yang spesial walau matahari terlihat bersinar. Ditambah dengan rasa canggung yang tiba-tiba muncul diantara kami berdua, menjadikan hari ini adalah hari yang paling aku benci selama dua tahun aku bersama Jujung. Kami hanya berdiri di depan gedung tanpa berbicara, masih bergandengan, dan tubuhku mulai terasa panas karena sang mentari. Mati-matian tubuhku menahan keringat agar tidak mengucur di sekitar dahi dan pelipis. Mati-matian juga aku tetap berdiri tegak di samping Jujung walau tubuhku mulai gemetar karena panas. Akhirnya Jujung melepaskan genggaman tangannya. Ia bergeser untuk menghadapku. Perlahan kuberanikan untuk menatap matanya. Laki-laki itu masih sama. Terlihat sangat b******k saat memamerkan senyumnya yang sangat manis yang selalu saja berhasil membuat hatiku membuncah. Rasanya aku tidak bisa tidak ikut tersenyum saat melihat senyuman itu. Jujung menatapku dengan lekat. Tatapannya sendu namun sangat sejuk. Ia masih memamerkan senyumnya, lalu mengangguk seperti memberiku sebuah isyarat. Sialnya aku tidak tahu apa yang dimaksud laki-laki itu. Aku masih diam menatapnya dengan datar. "Aku cinta kamu, Titik!" ucapnya pelan. Rasa gelisah yang sedari tadi terpendam perlahan mulai menghilang. Aku tersenyum. Senyum ikhlas yang bukan karena dibuat-buat. "Pakai tanda seru?" ucapku membalas pertanyaannya. Jujung kembali mengangguk. "Lapar," ucapnya kemudian. Kini kami sudah berjalan meninggalkan gedung. Entah kemana tujuan kami selanjutnya karena hanya ada satu kelas pada hari ini. Sepertinya kami akan ke kantin karena Jujung yang berucap bahwa dirinya sedang lapar. "Kamu lapar beneran?" tanyaku disela perjalanan menuju kantin. "Iya. Bu Sari bikin lapar." Jujung terkekeh. Entah kenapa kekehan itu terdengar tidak nyata. Sejujurnya aku masih merasa tidak nyaman setelah mengetahui bahwa Della menyukai Jujung. Bagaimanapun aku adalah perempuan dan aku tahu pasti bagaimana rasanya mencintai seorang laki-laki, apalagi saat laki-laki tersebut sudah menjadi milik orang lain. "Kamu lapar, nggak?" tanyanya yang langsung menyadarkanku pada pikiran-pikiranku. Aku mengangguk. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sedang tidak lapar. Tetapi mendengar bahwa laki-laki itu sedang lapar, membuatku tidak masalah jika diriku harus ikutan makan. Aku suka melihat Jujung makan, itulah alasanku selalu sumringah jika laki-laki itu mengajakku makan. Setelah berdebat ringan tentang makanan apa yang akan kami santap, karena Jujung sedang ingin jika aku yang memilih menunya. Kami memutuskan untuk makan di kantin FKIP. Kantin ini lain dari pada yang lain. Jika biasanya kantin berada di belakang gedung dengan atap bangunan lantai dua dan beralaskan paving, kantin FKIP sangat jauh berbeda. Atapnya langit, alasnya tanah. Kanan dan kirinya banyak pepohonan. Sangat asyik berlama-lama di kantin ini apalagi kalau sedang musim kemarau dimana udara tidak lembab. Ditambah harga menu makanan yang murah meriah dan lengkap, membuat kantin ini menjadi kantin teramai nomor satu di Universitas Matahaya. Aku dan Jujung memilih menu yang sama. Kita memesan gado-gado dengan telur rebus setengah matang dan tanpa daun bawang. Dua piring gado-gado sudah berada di tangan Jujung. Sedangkan kedua tanganku sibuk membawa sebotol air mineral dan beberapa buah jambu air sebagai pencuci mulut. Di kantin FKIP, meja kursi tidak ditata rapi seperti kantin-kantin pada umumnya. Tetapi ditata dengan model meja taman, dimana setiap meja ada payung yang dijadikan tameng agar guguran daun jati tidak masuk ke dalam piring makanan. Belum jam makan siang tetapi meja-meja sudah penuh. Seberapapun kami mengedarkan pandangan, sepertinya tidak ada meja yang kosong. Jika bergini, biasanya kita memilih untuk meminjam tikar dan menggelarnya di bawah pohon jati, walau ancaman debu dan dedaunan akan masuk ke dalam piring makanan, tetapi tidak ada pilihan daripada kami makan sambil berdiri. "Mau pinjam tikar aja?" tawar Jujung padaku. Tetapi aku masih terus mencari meja kosong. "Ah. Di sana ada yang kosong!" Aku menunjuk meja kosong yang baru saja ditinggalkan penghuninya. "Aku langsung ke sana, ya. Biar nggak ditempatin orang. Kamu jalan hati-hati aja." Tidak sulit bagiku untuk berlari dengan sebotol air mineral dan beberapa buah jambu air, dari pada Jujung yang harus ekstra hati-hati karena membawa dua piring penuh berisi gado-gado. Aku berlari terbirit dan berdoa setiap langkah agar meja itu tetap kosong sesampainya aku di sana. Bisa kupastikan bahwa saat ini Jujung sedang tertawa melihatku berlarian. Berhasil. Aku hampir sampai di sana. Kupelankan larianku agar aku tidak kebablasan. Tapi sayang sekali. Langkahku justru terhenti saat kulihat seorang perempuan menempati meja tersebut seorang diri tanpa tahu sejak tadi aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan meja tersebut. Ada empat kursi dalam satu meja. Aku memang bisa meminta izin untuk bergabung dan makan bersama. Tetapi saat kuketahui bahwa perempuan itu adalah Della, aku jadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Aku melangkah mundur, berjalan perlahan dan memastikan bahwa Della tidak melihatku. "Kok balik?" tanya Jujung sesampainya aku di depannya. "Udah dipakai. Kita terlambat satu detik," jawabku berusaha tidak menampakkan wajah gusar karena melihat Della. "Kamu nggak papa?" Sial. Jujung memang pandai membaca ekspresi wajahku. Seberapakalipun aku menyembunyikan perasaanku, pasti Jujung akan dengan mudah menebak apa yang sedang aku rasakan. Aku bergeming sebentar, memikirkan sebuah alasan. Aku tidak mungkin berkata bahwa meja itu telah ditempati oleh Della. Aku sedang tidak ingin kembali merasakan kerenggangan yang tadi sempat terjadi diantara kita. Aku juga tidak paham, Della itu tidak suka makan di kantin sendirian. Tetapi hari ini aku justru melihatnya di kantin FKIP yang bukanlah tipe kantin Della si ratu kebersihan. "Kok bengong?" "Eh, hah. Enggak!" Pada akhirnya kami harus meminjam tikar ke ibu kantin. Kami menggelar tikar yang tidak terlalu lebar, setidaknya cukup untuk kami berdua dan tidak ada yang akan bisa menumpang makan bersama. "Daunnya dimakan!" seruku ketika melihat dedaunan di gado-gado Jujung belum juga berkurang. "Aku bukan kambing. Nggak makan daun." "Jadi ... aku kambing?" Jelas saja aku tersindir. Pasalnya Jujung melihat ke dalam piringku terlebih dahulu sebelum berkata seperti itu. Iya, gado-gado di atas piringku sudah habis kulahap. Bagaimana tidak habis kulahap, gado-gado di kantin FKIP memang begitu nikmat. Jujung bergeming dan tidak menjawab pertanyaan protesku. Ia senyum-senyum sembari berusaha memakan dedaunan rebus tersebut sedikit demi sedikit. Walau kutahu Jujung sedang bekerja ekstra keras untuk menelan sayuran hijau itu, ia tetap saja menampilkan senyumnya di depan wajahku. "Nggak usah dihabisin daunnya. Jangan dipaksa," ucapku akhirnya. Lama-lama aku jadi tidak tega melihat Jujung yang seharusnya bisa menikmati makanannya, kini malah merasa eneg dengan dedaunan itu. Jujung kemudian menurunkan piringnya. Ia meringis lebar-lebar di depanku. Lalu menegak sebotol air mineral sampai habis. "Aku habisin, ya?" ucapku. Aku menawarkan diri untuk menghabiskan sisa sayuran yang ada di piring Jujung. "Aku nggak mau kamu makan sisa makanan aku. Aku nggak enak." Aku tidak peduli. Saat ini piring Jujung sudah berada di tanganku. Sekalipun terlihat aneh dan kurang etis, aku tetap tidak mau peduli. Namanya makanan itu harus dihabiskan. Kami sudah memesan. Kami tidak ingin membuat ibu kantin merasa tidak dihargai karena makanan yang tersisa di piring. "Eh ...." Spontan saja piring Jujung kembali ia rebut. "Aku suapin aja, ya? Aaa ...." Jujung sudah mengarahkan sendok berisi sayuran di depan mulutku. "Jujung. Malu!" ucapku berbisik sambil mengedarkan pandangan. Jujur saja, beberapa orang sedang memperhatikan kami. Jujung malah terkekeh. "Kenapa malu? Aaa ...." Satu sendok sayuran itu berhasil memenuhi mulutku. Praktis saja Jujung terkekeh ketika melihat pipiku yang menggembung. "Kamu lucu." Aku berusaha mati-matian untuk mengunyahnya. Ditambah sedang menjadi perhatian banyak orang, rasanya pipiku sudah memerah sekarang. "Hai. Boleh gabung, nggak?" Okai. Saat ini aku dan Jujung berhasil membeku, dan mulutku masih dalam keadaan penuh dengan sayuran. Aku sebal, sedih juga. Kenapa Della harus melihat kami di sini? Kenapa juga Della ingin bergabung bersama kami? Okelah. Aku bukan tipe perempuan yang tidak ingin diganggu. Sebenarnya kehadiran siapapun itu juga tidak akan mengganggu. Tetapi kali ini Della yang datang, setelah beberapa menit yang lalu perempuan itu mengatakan kalau mencintai Jujung. Tidak bisa dipungkiri jika aku sangat cemburu dan takut jika nantinya Jujung akan oleng pada Della. "Kok diem, sih?" Della sudah duduk saja. Padahal diantara kami belum ada yang mempersilakan perempuan itu untuk duduk. Sekonyong-konyong Della mengambil satu jambu air yang berada di depanku. Tanpa izin, perempuan itu langsung menggigitnya pun tanpa ia lap terlebih dahulu bagian luarnya. "Soal yang tadi, sorry. Gue cuma ngeprank!" Della terbahak sambil mengunyah jambu air. Aku tidak tergelak sama sekali. Aku tidak terkejut ataupun merasa lega. Aku masih diam, tidak tahu harus bagaimana. "Maaf, deh. Gue nggak nyangka ternyata sebegitu syoknya kaliam pas gue bilang gue suka sama lo, Jung." Bagaimana tidak syok! Della yang adalah teman baikku tiba-tiba saja mengucapkan cinta pada kekasihku sendiri. Lha mbok ya kalau cinta, ucapin kalau kalian sedang berdua saja! Ah, tapi kata perempuan itu, dia sedang ngeprank kami berdua. Menyebalkan. "Soalnya kalian itu cocok banget. Nggak pernah berantem. Kan gue jadi iri!" Della memasang wajah manyun. Kami masih tidak melakukan apa-apa. "Kok masih diam, sih?" Della berdiri. "Yaudah. Gue mau baik aja deh kalau gitu. Langgeng ya, kalian!" ucapnya sebelum berbalik dan melangkah pergi. Langgeng, ya. Ucapan itu terngiang-ngiang di otakku. Ucapan itu juga adalah ucapan baik yang pertama kali Della ucapkan semenjak kami jadian. Aku jadi ragu. Sepertinya perempuan itu tidak hanya sekadar ngeprank kami. Tetapi sepertinya Della memang benar-benar cinta dengan Jujung. Aku bisa melihat dari gelagat dan sorot matanya saat candaannya tidak nampak seperti biasanya. "Ayo. Aaa lagi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD