Tante?

1151 Words
TUMPUKAN map berwarna coklat dipegang erat di tangan mungil seorang wanita yang sedang berjalan dengan pakaian rapinya. Raut wajahnya terlihat sangat bertekad dan langkah kaki yang sangat ringan menuju suatu tempat. Iren Nasya Biratha, nama itu terpampang di atas map coklat yang dia pegang. Setelah pagi tadi sibuk menyiapkan semua berkas lamaran ke beberapa perusahaan agensi hiburan, sekarang dia tinggal menyerahkan lamaran itu ke sepuluh agensi yang dia pilih. Sebagai lulusan tata busana di salah satu universitas ternama membuat Iren melamar sebagai salah satu stylists artis, dia memiliki cita-cita yang sangat sederhana yaitu menjadi stylists artis bernama Luca. “Oh ya ampun Lucaku ganteng banget!” pekiknya sambil melihat layar kunci ponselnya sambil berjalan. Cita-cita yang sederhana itu tetap tidak mudah dicapai, Iren harus memiliki berbagai macam cara agar bisa menggapai apa yang dia inginkan. Hari ini dia akan menyerahkan semuanya, dengan harapan akan ada perusahaan yang menerimanya sesuai dengan kemampuan yang Iren miliki. “Sayang tunggulah aku akan datang,” ucapnya penuh takjub melihat Perusahaan M entertainment sudah ada di depannya, hanya beberapa langkah sebelum Iren menyerahkan map terakhir. Sebelumnya dia menyerahkan ke beberapa perusahaan lain, sebagai cadangan kalau saja dia tidak diterima di perusahaan impiannya ini, M Entertainment. Langkahnya terhenti setelah melihat banyaknya orang yang berdiri memegang beberapa spanduk dan meneriakan kata-kata tidak pantas. Iren mendekati kerumunan itu untuk mendengar dan melihat apa yang mereka lakukan. “Ada apaan sih di sini? Apakah aku ketinggalan berita?” Iren mencoba mendongak kepalanya sambil loncat-loncat kecil. “Jangan-jangan ada Luca.” Iren cukup terkejut setelah menyadari kalau mereka adalah penggemar Luca, tapi Iren juga bingung kenapa mereka meminta untuk menghentikan aktivitas Millo. Iren yang sedari pagi sibuk belum melihat berita mengenai perfandoman hari ini, dia segera mengeluarkan ponselnya dan mencari berita mengenai Millo. Alisnya mengernyit tidak percaya mengenai berita yang dia lihat, tapi Iren tersenyum karena dia tidak perlu mengkhawatirkan Luca yang akan jadian dengan artris baru itu. “Syukurlah kalau bukan ayangku.” Dengan santai dia berusaha menerobos kerumunan untuk menyerahkan surat lamaran. Tapi, karena mereka tidak mau mengalah membuat Iren terpental kembali sampai membuatnya merasa kesal. “Kenapa kalian bodoh sekali sih, seharusnya kita bersyukur wanita itu tidak dekat dengan Luca,” gumam Iren sambil merapikan map yang lecet karena desakan dari orang-orang yang ada di sana. “Ini nih kalau jadi fans itu seharusnya jangan hanya makan bucinnya aja, tapi harus pandai juga kalau idola kalian itu harus tenang dan bahagia tanpa masalah. Ini malah mereka mendukung yang tidak-tidak!” Iren tidak tahan lagi dengan teriakan-teriakan tidak penting itu sudah menghambat jalannya. “Tante kenapa sih? teriak-teriak tidak jelas,” sahut gadis berbaju SMA dengan wajah menor dan seragam ketat memalingkan wajahnya ke arah Iren. “Tante? Kamu bilang tante?” beo Iren. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. “Hahaha ... kamu bilang tante? Teriak-teriak tidak jelas?! Kalian aja tuh yang teriak-teriak tidak jelas. Orang masih muda begini dibilang tante.” “Kok tante jadi marah sih?” ketus gadis itu. “Ya jelaslah marah. Seharusnya kamu ngaca yang terlihat seperti tante siapa?” sahut Iren dengan geramnya. “Bukannya sekolah malah ikut demo di sini, mana seragam anak kecil lagi dipakai. Bajunya ketuker ya sama adeknya?” tanya Lani dengan wajah polosnya dibuat-buat. Gadis itu mulai geram dan memalingkan wajahnya mengabaikan Iren. Saat ingin menerobos kembali, Iren melihat seseorang mencurigakan dari arah lain berusaha masuk lewat belakang. ‘Jangan-jangan itu penggemar yang tidak waras,’ pikir Iren sambil mencoba mendekati orang itu. Tiba-tiba laki-laki itu berlari setelah melihat ke arah Iren, tanpa pikir panjang Iren berlari mengejar laki-laki itu. Pakaiannya yang sangat menonjol membuat dia terlihat jelas sangat mencurigakan. Pakaian serba hitam dari topi sampai sepatunya membuat Iren hanya bisa curiga dengannya, ditambah ketika menatap ke arah Iren, dia terlihat ketakutan. Iren terus mengejar mengikuti laki-laki itu sampai jarak mereka sudah lumayan dekat, Iren dengan sigap mengaitkan kakinya sampai membuat laki-laki itu terjatuh. Iren yang sudah sangat kelelahan menaiki anak tangga membuatnya sejenak terhenti sambil menunjuk ke arah orang itu. Saat ingin meraihnya, laki-laki itu berlari lagi dengan kaki yang terkilir. Iren hanya bisa memandang karena dia sudah tidak dapat berlari lagi. “WOY JANGAN PERGI!” panggil Iren. Tapi punggung orang itu sudah tidak terlihat lagi. “Cepat banget tuh orang, huft ..." sambil memandang map yang sudah lecek. Dengan pasrah Iren hanya bisa mendengus dan berjalan untuk menyerahkan map itu. Sampai di bagian administrasi Iren menyerahkan surat lamarannya dan memberitahu kalau ada orang aneh yang menyelinap masuk, Iren menjelaskan kejadian yang membuat mapnya menjadi seperti ini. “Iya letakkan saja,” ujar orang itu sambil melihat Iren dari atas sampai bawah dengan ekspresi seolah-olah melihat Iren seperti orang aneh. ‘Ini nih kebiasaan memandang rendah orang, terlihat banget gerak-geriknya memandang orang lain seperti itu,’ pikir Iren sambil menatap tajam orang itu dan langsung pergi. Iren kembali pulang untuk beristirahat, karena kejadian hari ini yang membuatnya sangat lelah dari pagi sampai siang, ditambah kejadian yang membuatnya harus berlari. Iren merebahkan dirinya di atas sofa dan menyalakan televisi. "Sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak agensi Millo,” ujar suara berita dari televisi. Kepala Iren langsung berbalik melihat berita yang ditayangkan, dia segera mencari berita lebih lanjut mengenai Luca dan apa yang terjadi dengan Millo. Sebagai penggemar berat Luca, Iren tidak pernah meninggalkan satu berita pun mengenai artis kesayangannya itu. Sampai mengetahui kejadiannya, Iren hanya bisa tersenyum senang karena pada akhirnya Luca tidak mendekati siapapun dan hanya peduli dengan penggemarnya. “Muach ... makin sayang deh sama Luca.” Iren mencium bantal kecil sofanya yang bersablon foto Luca dan kemudian memeluknya erat. Di tengah kesenangannya Iren penasaran dengan Millo, apa yang membuatnya menjadi seperti ini dan kenapa dia mendekati wanita itu. Iren melihat media sosial milik Millo, melihat foto dan rekaman video tentang aktifitas Millo di media sosial miliknya. Hampir lebih dua belas jam dia tidak melihat aktivitas apapun setelah skandal yang menimpanya. “Emang skandal itu benar ya?” tanya Iren sambil menggulingkan foto-foto Millo di sana. “Tapi kok tidak ada tanda-tanda kayak artis lain yang suka kasih tanda-tanda gitu kalau punya pasangan. Tapi ini tidak ada,” sambungnya. Gambar merah berbentuk hati terlihat di atas gambar Millo, tanpa Iren sadari dia menyukai gambar Millo sampai membuatnya panik. “Ya ampun tangan laknat ini, apa yang telah kau lakukan?” tanya Iren dengan dramatis menatap tangannya. Dia berusaha menekan kembali tombol suka di postingan Millo agar tanda merah berbentuk hati itu tidak muncul lagi. “Tapi ... meskipun diurungkan, pemberitahuannya tetap masuk di akunnya. Gimana nih? mungkin dia nggak liat kali ya, soalnya kan dia punya banyak pengikut dan pemberitahuan tentangku mungkin sudah tenggelam,” ujar Iren berusaha berpikir positif. Dia merebahkan kepala di ujung sofa sambil memandang atap ruangannya. “Meskipun begitu, pasti masukkan? Bagaimana kalau dia melihatnya?” tanyanya sediri. “Aduh Iren kok kamu bodoh banget sih,” sambil memukul pelan kepalanya hingga melemparkan ponselnya di meja dan menutupi wajahnya dengan bantal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD