Episode 10

1896 Words
"Ve, aku tau tempat untuk kerja tambahan mu dimana." Vanya yang tengah melamun menyesap es teh hangatnya seketika bersemangat, "Oh ya? Dimana?" Karena malam ini Ibu Vanya tidak memasak makan malam, jadi mereka memutuskan untuk makan mie di warung pinggir jalan langganannya. "Di bar, di sana ada lowongan untuk waiters, kau bisa mencobanya." "Bar?" Tanya Vanya ragu-ragu. Feli mengangguk, kemarin Feli sempat bertanya pada temannya kalau di tempat kerja temannya itu ada lowongan pekerjaan. Kebetulan temannya bekerja di bar sebagai waiters juga. "Kemarin ada salah satu waiters yang mengundurkan diri karena hamil, jadi bar itu membutuhkan waiters baru Ve, kau mau bekerja di sana?" Vanya termenung, kata orang bekerja di bar di cap sebagai pekerjaan yang tidak baik, Vanya takut kalau orang tuanya tau, pasti mereka akan marah. Secara Bar bukan tempat yang cocok untuk Vanya, di sana sangat ramai dan banyak orang mabuk, sedangkan Vanya tidak terlalu suka dengan keramaian dan tidak suka mencium aroma alkohol. Feli menatap Vanya yang terlihat berpikir keras, "Bagaimana Ve?" "Aku bingung." Ada banyak pertimbangan yang harus Vanya pikirkan, bekerja di Bar mungkin terlalu berbahaya karena di sana mungkin banyak laki-laki hidung belang yang menggodanya. Sedangkan Vanya tidak ingin bergaul dengan yang namanya laki-laki. "Kau takut bekerja di sana ya?" Feli tau kalau bekerja di Bar pasti tidak akan senyaman bekerja di kantor, tapi hanya itu yang bisa Feli bantu. Kalau bisa Feli ingin membantu mencari pekerjaan yang lain, tapi mungkin butuh waktu lama lagi. "Aku hanya memikirkan kedua orang tuaku, mereka pasti tidak akan suka kalau aku bekerja sebagai pelayan Bar Fel." Pernah saat Vanya masih tinggal di kampungnya, ada tetangganya yang bekerja di Bar namanya Clara. Clara yang awalnya anak baik-baik, semenjak dia bekerja di Bar, dia menjadi perempuan yang nakal. Sampai akhirnya dia hamil di luar nikah, itu sebabnya orang tua Vanya melarang keras Vanya untuk bekerja di Bar suatu hari nanti. Vanya boleh bekerja asal di tempat yang baik-baik, karena orang tua Vanya tidak ingin anaknya mengalami nasib yang sama dengan anak tetangganya. "Kalau begitu, aku akan berusaha untuk menanyakan pada teman-temanku lagi, barangkali mereka tau lowongan pekerjaan lain." Feli pun tidak ingin mengambil resiko, kalau sampai terjadi sesuatu dengan Vanya, Feli pasti akan merasa bersalah karena dialah yang menawarkan pekerjaan tersebut pada Vanya. "Sepertinya aku akan memikirkan itu lebih dulu, kalau memang tidak ada pekerjaan yang lain, aku akan mencobanya." "Kau yakin?" "Ya." "Baiklah, sembari kau berpikir aku pun akan berusaha untuk mencari lowongan pekerjaan yang lain untukmu." Vanya mengangguk, dia senang sekali mempunyai Feli di hidupnya. Feli selalu membantunya, kalau tidak ada Feli, tidak tau apa jadinya hidup di Jakarta sendirian. "Sebaiknya kita bayar makanannya, udah malam." Ucap Vanya. Feli mengeluarkan uang di dompetnya, namun Vanya menahannya, "Kau tidak perlu bayar, aku yang traktir. Sebagai ucapan terima kasih kau sudah membantuku mencarikan pekerjaan." "Kau yang terbaik Ve." Ujar Feli. Mereka lalu membayar, dan kemudian pergi dari sana. Di sisi lain, Devan dan Leila masih dalam acara makan malam. Yang pasti mereka pergi ke restoran mahal sekelas mereka. Mereka makan tanpa suara, tanpa obrolan, sebut saja Devan malas mengobrol dengan Leila. "Dev, aku-" "Aku selesai, sebaiknya kita pulang sekarang." Devan mengelap bibirnya dengan tisu. "Tapi, kita baru sebentar disini. Kita juga belum mengobrol sama sekali." Leila jelas kelas karena sedari tadi Devan hanya diam saja. Mereka hanya diam, Devan juga terkesan cuek padanya. "Baiklah, apa yang mau kau bicarakan?" Devan akhirnya mengalah, dia malas bertengkar dengan Leila. Leila tersenyum, moodnya kembali baik saat Devan mau mengobrol dengannya, "Aku ingin membicarakan soal pernikahan kita. Gimana kalau besok kita ke pergi ke butik? Kita cari gaun pengantin sama-sama." Pernikahan. Devan bosan membahas soal pernikahan, dia ingin sekali melupakan masalah yang selama ini mengganggu pikirannya itu, "Kau pergi saja sendiri, besok aku ada banyak pekerjaan." "Tapi kau pengantin pria nya, kalau kau tidak ikut, bagaimana bisa memilih gaun yang pas dengan tubuhmu Dev." "Kalau begitu, kita cari hari lain saja. Perusahaan akan ada proyek besar, ada banyak hal yang harus aku urus. Aku tidak bisa jika harus meninggalkan pekerjaanku demi memilih gaun pengantin." Leila menautkan kedua alisnya, memangnya apa yang lebih penting dari pernikahan mereka? Leila tidak suka Devan lebih memilih pekerjaannya dari pada mengurusi pernikahannya, "Dev, pernikahan kita juga penting, kau juga tidak boleh menyepelekan itu." "Aku tau. Tapi bukan sekarang kita membahasnya. Bagaimanapun juga pekerjaanku sangat penting. Kau tau sendiri kalau di perusahaan ini, ayahmu adalah pemegang saham terbesar, kalau aku tidak bisa mengurusnya, ayahmu pasti akan kecewa padaku. Mungkin ayahmu juga akan memecat ku." Leila terdiam, Leila memang tidak tau menahu soal perusahaan, tapi apa yang Devan katakan memang benar. Kalau Devan sampai di keluarkan dari perusahaan, Devan pasti akan menggunakan alasan itu untuk membatalkan pernikahan mereka. "Oke, aku tidak akan memaksamu lagi." "Ayo pulang, sudah malam." Devan mengambil beberapa uang ratusan ribu dan meletakkannya di meja. Kemudian dia berjalan lebih dulu, membuat Leila berdecak sebal. ****** Vanya sudah siap menggunakan setelan kerjanya, seperti biasa Vanya memakai setelan yang terlihat biasa-biasa saja. Tidak perlu dandan terlalu menor karena pada dasarnya Vanya sudah cantik walaupun tanpa make up. Feli melihat penampilan sahabatnya itu, dia lantas geleng-geleng kepala melihat Vanya, "Ve, kenapa kau pakai pakaian seperti itu hah? Mulai hari ini kau adalah sekretaris, bukan karyawan biasa lagi." Sekretaris seorang Devan Gunawan memang harus terlihat cantik dan juga elegan. Dan menurut Feli, Vanya sudah cantik tapi pakaian yang dia pakai tentunya kurang sesuai karena terlihat biasa-biasa saja. "Sekretaris pun sama seperti karyawan biasa Ve, hanya saja pekerjaan dia lebih banyak dan ruangannya pun dekat dengan ruangan CEO." "Ayolah Ve, kau tidak boleh berpikir seperti itu. Bagaimanapun juga Devan harus melihat penampilanmu yang baru, dan aku yakin, Devan akan semakin terpesona." Vanya tampak berfikir, kalau dia mengubah penampilan nya, semua karyawan pasti akan berpikir kalau Vanya sengaja menggoda Devan, "Aku berpenampilan seperti ini saja." Vanya selalu saja keras kepala kalau Feli memberinya saran. Bagaimanapun juga cara ini bisa membuat Devan semakin terpesona dan semakin cepat untuk jatuh cinta pada Vanya, "Kita masih ada waktu untuk merubah penampilan mu, kau harus berubah." "Tapi-" "Kau tidak boleh menolaknya." Feli langsung mencarikan pakaiannya yang beberapa minggu lalu di belinya. Walaupun tidak mahal, tapi pakaian itu cukup cantik apalagi kalau Vanya yang memakainya. "Ini, kau pakai ini saja." Feli menyerahkan pakaiannya untuk Vanya. Vanya menuruti saja, dia lantas melepaskan pakaiannya dan berganti memakai pakaian yang di pilihkan Feli. Feli ternganga menatap Vanya dari atas sampai bawah. Kata sempurna, cocok untuk penampilan Vanya saat ini. "Bagaimana Fel?" Feli takjub dengan sahabatnya kali ini, benar-benar cantik. Feli membawa Vanya untuk berdiri di depan kaca besar, "Lihatlah dirimu sendiri, kau cantik sekali bukan?" Vanya menatap dirinya sendiri di kaca tersebut. Dress berwarna biru muda di atas lutut yang mengekspos bagian d**a dan bahu nya. Dress itu terlihat sangat cocok walaupun agak ketat tapi masih sopan. "Ayo kita berangkat." Vanya menahan lengan Feli, dia masih ragu untuk memakainya ke kantor, "Tapi aku pikir, ini terlalu berlebihan." "Berlebihan apanya? Ini sama sekali tidak berlebihan. Ingat Ve, bukan cuma kau yang memakai dress seperti ini ke kantor." Feli menyentuh dagu Vanya, "Kau harus lebih percaya diri, oke?" Vanya akhirnya mengangguk. Seperti biasa, mereka sudah memesan taksi untuk berangkat ke kantor. Vanya bingung apa yang harus dia lakukan sekarang, antara pergi ke ruangan Devan atau ke ruangannya yang dulu. Devan juga belum berangkat. Karena tidak tau harus kemana, Vanya akhirnya pergi ke ruangannya yang dulu. Feli mengernyit melihat Vanya justru datang ke ruangannya, "Kenapa kau kesini? Bukannya ruangan mu bersama dengan ruangan Devan?" "Aku disini saja dulu, Devan belum berangkat." Vanya tidak mungkin menunggu Devan di depan ruangannya Devan, karyawan lain yang melihatnya pasti terus menatapnya, apalagi menunggu Devan di dalam, itu sangat tidak sopan. Di sini lebih baik, di tempat biasa dia kerja dan menunggu sampai Devan memanggilnya. Satu jam berlalu, tapi Devan belum juga memanggilnya. Vanya penasaran, sebenarnya dia menjadi sekretaris sekarang atau tidak? "Fel, sepertinya aku harus ke ruangan Devan dulu, aku mau menemuinya." "Semoga beruntung." Vanya berjalan menuju ruangan Devan, sebenarnya dia agak kesusahan untuk berjalan karena memakai heels yang cukup tinggi, juga pakaian yang agak ketat. Saat Vanya sudah berada di depan ruangan Devan, tiba-tiba Leila baru saja keluar dari ruangan tersebut. Vanya kaget, apalagi saat Leila menatapnya sinis seperti itu. Leila meneliti penampilan Vanya, yang terlihat berbeda dari biasanya. "Mau apa kau ke ruangan Devan?" "Saya ingin menemui pak Devan." Jawab Vanya. "Devan tidak ada, dia tidak berangkat." "Tapi kenapa-" "Kau ini banyak bertanya ya! Aku bilang Devan tidak ada berarti dia memang tidak ada. Apa kau tuli hah!" Leila memarahinya, seharusnya Vanya tadi tidak bertanya saja. Padahal Vanya bertanya baik-baik, tapi perempuan itu malah membentaknya. "Maaf." Vanya menundukkan kepalanya, dia lantas pergi dari sana. Namun langkahnya terhenti saat Leila mencegahnya, "Tunggu!" Vanya berbalik, dahinya mengernyit saat Leila memutari dirinya untuk melihat penampilannya, "Kau mau menemui Devan dengan berdandan seperti ini?" Pertanyaan Leila membuat Vanya diam seribu bahasa. Vanya lupa kalau ada Leila yang selalu mengikuti Devan, Vanya yakin perempuan itu pasti akan menghinanya habis-habisan. "Untuk apa? Kau mau menggoda Devan? Iya kan!" Leila menaikkan nada suaranya. Leila jelas curiga kalau Vanya sengaja berpenampilan seksi seperti ini untuk menggoda calon suaminya. Apalagi saat Leila ingat saat Devan tidak berhenti menatap Vanya malam itu, Leila semakin tidak menyukai Vanya. "Tolong jangan salah faham, Saya tidak berusaha untuk menggoda pak Devan." Leila tersenyum miring, dia tidak akan percaya dengan perempuan seperti Vanya. Pura-pura polos tapi ternyata dia lebih berbahaya dari ular berbisa. "Camkan ini baik-baik! Devan tidak akan pernah tergoda denganmu walaupun kau berdandan seperti ini. Kau tau? Kau berada jauh dari level seorang Devan Gunawan. Jadi, jangan berharap kalau Devan akan mengalihkan perhatiannya padamu. Ingat itu!" Leila berkata dengan penuh penekanan dan ancaman. Setelah itu dia pergi dari sana. Vanya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Leila sudah sangat menghinanya, dia pikir Devan mau menikahinya? Vanya jamin seratus persen, dia tidak akan membiarkan orang yang menghinanya hidup bahagia. Vanya memang orang dari level rendah, tapi dia siapapun tidak berhak menghinanya seperti ini. Leila dan Devan! Vanya pastikan mereka tidak akan pernah hidup bahagia. Vanya lalu kembali ke ruangannya. "Kau kesini lagi? Bagaimana Devan, apa dia tertarik dengan penampilanmu Ve?" "Devan tidak berangkat, tapi tunangannya itu yang datang kesini." "Aw, terus apa yang dia lakukan padamu?" Vanya tidak ingin mengingat itu lagi, tapi rasa kesal di hatinya membuat Vanya ingin sekali balik ke perempuan itu dan menampar mulutnya. Rasanya tangan Vanya sudah sangat gatal sekali. "Nanti aku ceritakan." Vanya sudah lelah berdandan dan memakai pakaian yang sangat cantik tapi Devan malah tidak berangkat. Devan juga tidak memberitahunya sama sekali. Vanya menyesal, harusnya dia tolak saja tawaran Devan untuk menjadi sekretaris. Jam makan siang, seperti biasa mereka makan di kantin kantor. Bukannya makan, Vanya justru mengaduk-aduk makannya sendiri, moodnya sangat buruk hari ini. "Kau kesal karena Devan tidak berangkat?" Vanya tidak menjawabnya, dia juga tidak tau kenapa dia merasa kesal. Di tambah perkataan Leila yang menghinanya. "Kau merindukannya?" Vanya melebarkan matanya, dia langsung menggelengkan kepalanya, dia tidak perduli Devan berangkat atau tidak. Hanya saja... Vanya tidak bisa mengungkapkan perasaanya sekarang. "Tidak.. aku sama sekali tidak merindukannya Fel." "Lalu, kenapa kau terlihat kesal begitu hah?" "Biasa saja." Feli tersenyum kecil melihat sikap Vanya. Katanya tidak kesal tapi sikapnya saat ini berbanding terbalik dengan ucapannya. "Harusnya aku menolak untuk menjadi sekretarisnya saja." Vanya bergumam kesal kembali mengacak-acak makannya dengan garpu. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD