Episode 11

2013 Words
Sudah 3 hari ini Devan pergi ke luar negeri, tepatnya ke Bangkok, Thailand. Alasan Devan pergi ke sana karena dia ingin melihat lokasi yang akan di gunakan untuk membangun hotel milik Gunawan Group. Selama 3 hari itu, Devan mensurvey lokasi dan mengurus segala keperluan untuk hotel yang akan di bangun. Malam ini terakhir Devan berada di Bangkok, karena besok dia akan pulang ke Indonesia. Devan menyesap kopi hitamnya, dia duduk menyendiri di balkon apartemennya. Seketika Devan teringat dengan Vanya. Ada rasa bersalah karena dia sama sekali tidak memberitahu Vanya karena keberangkatannya terlalu mendadak. Entah apa yang Vanya pikirkan tentangnya, tapi yang pasti Vanya pasti kecewa padanya. Devan melihat ponselnya, bisa saja dia menghubungi Vanya sekarang tapi Devan pikir, berbicara secara langsung akan lebih jelas. Tak selang beberapa lama, ponselnya berbunyi. Leila meneleponnya. "Ya?" "Dev, kau jadi pulang besok kan?" "Ya." "Kalau gitu, hati-hati. Aku menunggumu." "Ya." Devan menutup teleponnya, dia tidak suka saat Leila meneleponnya, alias Devan malas berbicara dengan perempuan itu. Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi, tanpa melihat siapa yang menelepon Devan mengangkatnya karena ia pikir Leila yang meneleponnya lagi. "Kenapa lagi?!" "Devan?" Suara lembut itu membuat Devan langsung terdiam, kali ini bukan Leila yang meneleponnya, tapi seseorang yang sedang dia rindukan. "Va..nya?" "Kenapa kau tadi berkata seperti itu? Apa kau pikir aku seseorang yang sudah menelepon mu sebelum aku?" "Maaf, aku kira kau Leila." Vanya mengerti sekarang kenapa Devan tadi terlihat kesal saat mengangkat teleponnya. Pasti Leila yang menelepon Devan sebelum Vanya, pantesan. "Tidak apa-apa. Apa aku mengganggumu?" "Tidak sama sekali. Apa ada sesuatu?" Devan justru senang karena Vanya meneleponnya, setidaknya rasa rindunya sedikit terobati ketika mendengar suaranya. "Aku dengar dari karyawan lain kalau kau pergi ke Bangkok selama 3 hari, itu berarti besok kau akan pulang kan?" Berbeda saat Leila bertanya seperti itu Devan terlihat cuek, tapi saat Vanya yang bertanya, Devan tersenyum senang, "Ya, besok aku pulang. Ada lagi?" Di sana, Vanya terlihat ragu-ragu untuk mengatakan, "Aku menunggumu Devan." Devan menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil, "Kalau begitu, tunggu aku Vanya." Devan tidak menutup telepon, dia menunggu Vanya yang menutup telepon lebih dulu. Setelah sambungan terputus, Devan langsung menghubungi seseorang. "Saya mau ubah jadwal penerbangan untuk besok, saya ingin penerbangan ke Indonesia malam ini juga." Devan menutup teleponnya. Awalnya Devan akan mengambil penerbangan pagi, tapi saat Vanya berkata kalau dia sedang menunggunya, Devan sudah tidak sabar lagi. Devan ingin penerbangannya berangkat lebih awal agar dia cepat sampai di Indonesia. Setelah Vanya mengakhiri teleponnya dengan Devan, dia tersenyum miring. Vanya sengaja mengatakan kalau dia menunggu Devan agar laki-laki itu berpikir kalau Vanya merindukannya, padahal tidak sama sekali. ****** Kali ini Vanya tidak mau memakai Dress untuk bekerja, dia lebih memilih untuk memakai setelan kerja yang biasa dia pakai. Jujur, Vanya lebih nyaman memakai itu daripada dress yang Feli pilihkan untuknya. Satu hal lagi, untuk saat ini Vanya belum ingin ada masalah dengan Leila. Kalau Leila melihat Vanya memakai dress, dia pasti akan menghinanya lagi dan kali ini mungkin di depan Devan. Sudah 2 jam Vanya duduk di tempat kerjanya, mengerjakan semua pekerjaan yang semakin hari semakin menumpuk. Lelah, itu pasti, sejak kemarin matanya juga terasa pegal dan perih karena seharian menghadap komputer. Belum lagi Vanya harus memikirkan bagaimana caranya melunasi hutang orang tuanya. "Anastasia." Seketika jantung Vanya seperti berhenti sekejap. Suara itu memanggilnya lagi, Vanya kemudian berbalik, laki-laki yang memakai setelan jas berwarna abu-abu itu berdiri tepat di belakangnya, "Pak Devan?" "Ke ruangan saya sekarang." Perintah Devan, lalu dia meninggalkan ruangan Vanya. "Ve, bukannya kau bilang Devan baru mau pulang hari ini? Kenapa dia sudah berangkat kantor sekarang?" Vanya pun sama bingungnya, yang Vanya tau penerbangan Devan baru take off pagi ini, apa secepat itu dari Bangkok ke Indonesia? Apa Devan tidak mengalami jetlag? "Ya sudah sana, kenapa masih diam Ve!" Vanya mengangguk, dia kemudian pergi ke ruangan Devan. Sesampainya di depan ruangan Devan, Vanya mengetuk pintu. Mendengar suara Devan yang memerintahkan untuk masuk, Vanya mendorong pintu lalu masuk ke dalam. Vanya berjalan menuju meja kerja Devan, Devan lalu mempersilahkan Vanya untuk duduk. Vanya duduk, sudah 3 hari tidak bertemu dengan Devan, rasanya agak gimana gitu. "Saya minta maaf." Vanya tertegun, baru kali ini dia mendengar atasan meminta maaf pada bawahannya. "Maaf buat apa ya pak?" "Maaf karena saya tidak memberitahumu kalau saya pergi ke Bangkok." Sudah Vanya duga, Devan pasti meminta maaf untuk itu. Baguslah kalau Devan meminta maaf, Vanya pikir atasan seperti Devan tidak mudah untuk meminta maaf pada bawahan walaupun dia salah. "Bapak tidak perlu meminta maaf karena bapak juga tidak salah. Saya mengerti pak." Ya. Vanya seharusnya tidak perduli. Mau Devan memberitahunya atau tidak. Terserah Devan mau apa, Vanya seharusnya tidak memikirkan itu. Eh tapi kenapa saat Devan tidak memberitahunya pergi ke Bangkok, Vanya jadi kesal ya? "Saya akan menjelaskan kenapa waktu itu saya tidak memberitahumu waktu akan pergi ke Bangkok." Sebenarnya Devan tidak perlu menjelaskannya. Vanya juga sudah melupakan itu, "Saya sudah mengerti pak. Bapak tidak memberitahu saya karena mendadak kan?" "Ya. Aku benar-benar minta maaf. Lain kali aku akan memberitahumu jika aku pergi ke manapun." Eh? Dua kali Devan meminta maaf pada Vanya, apa Devan merasa sebersalah itu padanya? Dan apa tadi katanya? Devan akan memberitahunya kalau mau pergi kemanapun? Devan berkata seakan-akan Vanya kekasihnya yang ingin Devan meminta izin jika mau pergi. Bukankah itu berlebihan untuk atasan pada bawahannya? "Tapi pak, bapak tidak perlu melakukan itu. Saya kan cuma bawahan, kalau bapak mau pergi ke manapun sebaiknya bapak meminta ijin pada tunangan bapak, bukan saya pak." Devan langsung terdiam, apa tadi dia salah bicara? Ya. Devan sadar kalau Vanya bukan siapa-siapanya, Vanya hanya bekerja untuknya tapi kenapa Devan bertindak seolah-olah Vanya adalah kekasihnya? "Maksud saya, sebentar lagi kau akan menjadi sekretaris saya, itu berarti kalau saya pergi ke manapun saya harus memberitahumu. Jadi kalau ada yang mencari saya, kau akan tau. Ya.. itu maksud saya." Vanya ingin sekali tertawa mendengar nada bicara Devan. Entah laki-laki itu gugup atau gimana, tapi kata-kata Devan barusan seperti seorang murid yang mencari alasan pada gurunya karena ketahuan bolos sekolah. "Iya pak. Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan?" "Tidak ada, kau bisa keluar sekarang." Vanya mengangguk lalu berdiri dan pergi dari ruangan Devan. Devan menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal, tapi dia terlihat salah tingkah entah apa sebabnya. Berbeda saat terakhir kali Vanya kembali dari ruangan Devan, Vanya tampak kesal karena kata-kata Leila, tapi kali ini dia justru senyum-senyum saat kembali dari ruangan Devan. "Kenapa senyum-senyum?" Tanya Feli begitu Vanya duduk di kursinya. "Ah? Tidak apa-apa." Feli memicing menatap Vanya, sahabatnya itu sedikit aneh menurutnya. Devan? Apa mungkin Vanya tersenyum karena Devan? Vanya baru saja kembali dari ruangannya, itu berarti memang Devan. "Apa yang Devan katakan padamu, sampai kau senyum-senyum begini, hah?" Otomatis Vanya berhenti tersenyum, dia kembali bersikap biasa, "Memangnya kau pikir aku tersenyum karena Devan?" "Ya, karena kau baru saja kembali dari ruangannya." "Tidak ada apa-apa, tidak penting juga." Ya. Untuk apa Vanya terus memikirkan Devan? Fokus Ve! Kau tidak boleh memikirkan laki-laki itu seolah-olah kau menyukainya. Ujar Vanya dari hati. ****** Devan mendongakkan kepalanya saat dia melihat Leila mendorong pintu ruangan Devan tanpa permisi. Dalam hati, Devan mengeluh sebal karena perempuan itu selalu seenaknya sendiri. Leila tersenyum saat melihat Devan sudah kembali ke Indonesia, Leila lantas berjalan cepat dan mendekati calon suaminya itu. Leila merangkul leher Devan dari belakang, "Dev, kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau sudah pulang?" "Lepaskan tanganmu." Ucap Devan dengan tegas, dia merasa risih. Namanya juga Leila, dia tidak akan mau melepaskan begitu saja. Leila justru semakin gencar membuat Devan tergoda dengannya. Perempuan itu mengelus d**a tunangannya itu dan mencium belakang telinganya, "Aku merindukanmu Dev. Begitu aku tau kau sudah pulang, aku langsung kesini untuk menemui mu." Devan sudah tidak tahan dengan sikap Leila, dia lantas melepaskan tangan Leila secara kasar, "Apa kau tidak malu dengan sikapmu tadi hah?" "Untuk apa aku malu? Kita sudah bertunangan Dev. Kalau kau mau, aku akan menyerahkan tubuhku sekarang juga." Devan menarik salah satu sudut bibirnya, Devan tidak akan pernah melakukan itu. Kalau mau, sudah dari dulu Devan melakukan itu, tapi nyatanya Devan tidak pernah sedikitpun tergoda dengan tubuh Leila. "Kau gila!" Leila tersenyum, dia kembali mendekati Devan. Kali ini dia sedikit membungkuk, dan membisikan sesuatu dia telinganya, "Ya, aku gila karena terlalu mencintaimu Dev." Entah terbuat dari apa wajah Leila sampai dia tidak tahu malu seperti ini. Kalau begini, Devan yakin kalau dialah yang akan menjadi gila karena terus berdekatan dengan perempuan itu. "Katakan, untuk apa kau kesini?" Tanya Devan. "Aku mau mengajakmu makan siang, dan kali ini kau tidak boleh menolak." Devan akhirnya pasrah, "Oke, sekarang kau bisa pergi. Aku masih ada pekerjaan." Leila mengangguk, karena Devan mau menerima ajakannya, Leila akan dengan mudah pergi. Tapi jika Devan terus menolaknya, Leila jamin kalau dia akan terus di ruangan Devan sampai Devan pulang. "Sampai jumpa nanti siang sayang." Leila memberikan ciuman jarak jauh untuk Devan sebelum dia benar-benar keluar dari ruangan. Devan menghembuskan nafas berat, sampai kapan dia dihantui bayang-bayang Leila yang selalu mengganggunya. Tepat jam 12, Devan keluar dari ruangan. Di depan pintu, dia melihat Vanya dan temannya, sepertinya mereka juga akan makan siang. Saat Devan ingin mengejarnya, Leila datang lebih dulu, "Dev. Kita makan sekarang?" "Kau ingin makan siang denganku kan?" "Memang begitu kan?" "Kalau kau ingin makan denganku, aku yang akan milih tempat kita makan." Leila mengangguk, kemanapun dia mau asal bersama Devan. Devan tersenyum dalam hati, tapi Devan yakin kalau Leila pasti akan mengeluh karena Devan yang memilih tempat. ****** "Kantin?!" Tepat di depan kantin, Leila merasa risih karena banyak sekali karyawan yang makan di sana. Leila tidak suka makan di kantin, apalagi makanan di sana sama sekali bukan levelnya. Leila pikir, Devan akan memilih tempat yang romantis untuk mereka berdua, tapi nyatanya dia justru bergabung dengan bawahan-bawahannya. "Kau tidak suka?" Pertanyaan macam apa itu! Jelas Leila tidak suka. Leila mengeluh kesal, "Tapi kenapa disini Dev? Kau tidak lihat? Disini isinya semua karyawan rendahan, kita tidak selevel dengan mereka." Kantin disini memang dibuat khusus untuk karyawan biasa seperti Vanya, sedangkan karyawan yang mempunyai jabatan tinggi, mereka rata-rata pergi ke restoran untuk sekedar makan siang. "Kalau kau tidak mau, kau bisa makan siang sendirian. Aku akan makan disini." Devan tau Leila akan cerewet seperti ini, kalau bisa Leila pergi saja karena Devan juga tidak ingin makan siang dengannya. Leila tidak punya pilihan lain selain menuruti mau Devan. "Ve, bukankah dia Devan?" "Mana?" "Di samping kanan." Vanya memutar kepalanya ke sebelah kanan, benar juga. Devan dan tunangannya, kenapa mereka bisa ada sana? "Untuk apa mereka makan disini?" "Ya. Baru kali ini aku melihat bos makan disini, disini kan tempat makan untuk karyawan biasa seperti kita." Ujar Feli. Vanya juga tidak tahu, apalagi Devan bersama Leila. Vanya sangat tau kalau perempuan seperti Leila pasti tidak akan pernah mau makan di tempat ini. Bukan hanya Vanya dan Feli yang heran kenapa bos bisa makan di tempat itu, tapi karyawan lain pun sama. Mereka terlihat berdesas-desus membicarakan Devan dan tunangannya. "Terserah mereka mau makan dimana Fel, lebih baik kita makan." Jujur Vanya juga masih heran, dia kemudian melirik ke samping kanannya. Tak di sangka-sangka, Devan juga tengah menatapnya. Vanya kaget, dia kembali memakan makanannya. "Devan! Kau yakin kita makan disini?" "Hm." Pelayan kemudian membawakan mereka makanan. Dua mangkuk mie ayam. Leila terlihat ragu-ragu untuk memakannya, dia berpikir apa makanan ini bersih atau tidak, enak atau tidak. "Makanan disini tidak akan membuatmu keracunan, kau tenang saja." Ucap Devan. Leila mengerucutkan bibirnya, dia lantas memakan mie ayam yang di pesan. Lumayan juga. "Lumayan, bagaimana menurutmu Dev?" Leila menatap Devan, dia justru melihat tunangannya itu melihat ke arah lain. Leila mengikuti arah pandang Devan. Perempuan itu lagi? Leila jadi curiga, sebenarnya apa yang Devan pikirkan tentang perempuan itu? Setiap kali Devan bertemu dengan dia, Devan selalu menatapnya. "Kau terus menatap perempuan itu." Ujar Leila. Devan kemudian tersadar, dia kembali fokus ke makanannya, "Tidak, aku hanya tidak sengaja melihatnya." Leila menatap datar perempuan yang membuat Devan mengabaikannya, lain kali dia akan melakukan sesuatu agar perempuan itu sadar, siapa dia. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD